Polling CNBC Indonesia

Konsensus Pasar: BI Bakal Naikkan Bunga Acuan ke 5,75%

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 September 2018 15:39
Konsensus Pasar: BI Bakal Naikkan Bunga Acuan ke 5,75%
Bank Indonesia (CNBC Indonesia)
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diperkirakan kembali menaikkan suku bunga acuan pada bulan ini. Dengan mengusung mantra pre-emtif, front loading, dan ahead the curve, sulit untuk melihat BI tidak menaikkan 7 Day Reverse Repo Rate. 

BI akan menggelar RDG bulanan pada 26-27 September. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 5,75%. 

InstitusiBI 7 Day reverse Repo Rate (%)
ING5.75
Danareksa5.75
UOB6
Mirae Asset5.75
Maybank Indonesia5.75
Moody's Analytics5.75
Bank Danamon5.75
Bahana Sekuritas5.5
BCA6
MEDIAN5.75
 
Sejak dipimpin oleh Gubernur Perry Warjiyo, posisi (stance) BI memang cenderung hawkish. Perry sudah menaikkan suku bunga 100 basis poin sejak menjadi BI-1 pada Mei lalu. 

Pre-emtif, front loading, dan ahead the curve adalah kata-kata andalan BI beberapa waktu terakhir. Sikap ini paling mudah diterjemahkan dengan kenaikan BI 7 Days Reverse Repo Rate setiap kali The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga acuan. 

Pengumuman suku bunga acuan Federal Funds Rate adalah pada 26 September. Dalam rapat ini, The Fed kemungkinan besar menaikkan suku bunga acuan setidaknya 25 bps. 

Menurut CME Fedwatch, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) adalah 93,8%. Sedangkan untuk kenaikan 50 bps, probabilitasnya 6,2%. Sudah tidak ada ruang untuk mempertahankan suku bunga acuan di 1,75-2%. 

BI memang perlu pre-emtif, front loading, dan ahead the curve mengantisipasi setiap langkah The Fed. Sebab, prioritas BI dalam jangka pendek adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. 

Setiap kali The Fed menaikkan suku bunga acuan, arus modal akan tersedot ke Negeri Paman Sam. Agar Indonesia masih kebagian capital inflows, maka suku bunga acuan di dalam negeri juga harus menaikkan agar pasar keuangan Indonesia kompetitif dan menarik di mata investor. 

Untuk menyokong rupiah, Indonesia memang murni mengandalkan arus modal portofolio di sektor keuangan. Pasalnya, aliran devisa dari ekspor-impor barang dan jasa (yang dicerminkan di transaksi berjalan/current account) tekor alias defisit. 

Saat The Fed menaikkan suku bunga pada rapat bulan ini, maka pilihan BI sangat terbatas. Bila memang tiga mantra itu yang dikedepankan, maka pilihan BI akan mengerucut kepada kenaikan 7 Day Reverse Repo Rate. 

Moody's Analytics dalam risetnya memperkirakan BI masih akan mengambil langkah pre-emtif dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan ini. Langkah itu diwujudkan dengan menaikkan suku bunga acuan. 

"Pada 5 September lalu, Gubernur Perry Warjiyo memberi sinyal bank sentral akan terus mengambil langkah pre-emtif untuk mengatasi pelemahan nilai tukar. Retorika ini digunakan dalam beberapa waktu terakhir untuk menaikkan suku bunga," sebut kajian Moody's. 

Namun suara pelaku pasar tidak bulat. Masih ada yang memperkirakan BI akan menahan suku bunga acuan di 5,5%. 

Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, menilai sebenarnya minim alasan BI harus menaikkan suku bunga. Perkembangan pasar keuangan dan ekonomi domestik masih baik, dan belum perlu pengetatan moneter lebih lanjut. 

Selama kurun waktu 3-24 September, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun bergerak turun dari 8,23% menjadi 8,175%. Bahkan yield obligasi pemerintah Indonesia berbanding terbalik dengan AS yang justru naik dari 2,902% menjadi 3,078%. 

Artinya, arus modal justru lebih memihak Indonesia dibandingkan AS sekalipun, karena penurunan yield berarti harga obligasi sedang naik karena tingginya permintaan. Tanpa kenaikan suku bunga acuan, arus modal sudah masuk ke Indonesia dan membuat rupiah relatif stabil. 

Dalam rentang 3-24 September, rupiah terdepresiasi 0,34%. Mata uang lain melemah lebih dalam, misalnya peso Filipina (-1,48%), yen Jepang (-1,55%), yuan China (-0,53%), won Korea Selatan (-0,72%), sampai rupee India (-2,04%). 

Dari dalam negeri, laju inflasi juga belum menunjukkan percepatan sehingga harus direm melalui kenaikan suku bunga. Hingga Agustus, laju inflasi masih 3,2% atau berada di batas tengah perkiraan BI yang sebesar 2,5-4,5%. 

"Bank sentral sudah ahead the curve (dengan kenaikan suku bunga sebelumnya). Dengan menahan suku bunga, Gubernur Perry Warjiyo akan mengirimkan sinyal yang kuat bahwa fundamental ekonomi Indonesia kuat. Tekanan jual yang dialami aset-aset keuangan Indonesia tidak bisa diselesaikan hanya dengan menaikkan suku bunga," tegas Satria.

Satria menambahkan, Indonesia sebenarnya masih masuk di radar investor bahkan tanpa pengetatan moneter ekstra. Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih cukup kencang di kisaran 5%, sesuatu yang disukai oleh pelaku pasar. Kenaikan suku bunga acuan justru akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi yang tentunya tidak disukai investor. 

"Kebijakan moneter yang terlalu ketat akan menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia dan dalan jangka menengah akan membuat aset-aset di Indonesia kurang menarik. Oleh karena itu, kami berpendapat BI perlu menerapkan sikap wait and see sebelum melakukan pengetatan moneter lebih lanjut," paparnya.



TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular