
Newsletter
Prittt! Babak Baru Perang Dagang AS vs China Dimulai!
Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
24 September 2018 05:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia melaju pada perdagangan pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat, sementara rupiah terapresiasi terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Hal serupa juga terjadi di Asia, pertanda bahwa investor sedang tidak bermain aman dan cenderung abai terhadap risiko (risk-off).
Dalam 5 hari perdagangan terakhir, IHSG melesat 2,29%. Meski performa IHSG bisa dibilang impresif, ternyata tidak seberapa dibandingkan beberapa bursa saham Benua Kuning.
Selama periode yang sama, indeks Nikkei 225 lompat 3,68%, Hang Seng meroket 3,79%, Shanghai Composite terbang 5,49%, dan Straits Time naik 2,43%. Mungkin hanya Kospi yang penguatannya tidak lebih baik dari IHSG, karena 'hanya' 1,57%.
Sementara selama 5 hari perdagangan terakhir, rupiah menguat 0,36% di hadapan greenback. Tidak hanya rupiah, beberapa mata uang Asia pun menguat pada pekan lalu.
Won Korea Selatan menguat 1,01%, rupee India terapresiasi 0,41%, dolar Singapura menguat 0,56%, ringgit Malaysia terapresiasi 0,22%, dan baht Thailand menguat 0,46%. Namun yen Jepang dan yuan China malah melemah masing-masing 0,65% dan 0,03%.
Sentimen utama yang mewarnai pasar keuangan Asia pekan lalu adalah babak baru perang dagang AS vs China. Kini investor menilai dampak perang dagang tidak semenakutkan yang dikira.
Awal pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bakal menerapkan bea masuk 10% baru bagi US$ 200 miliar importasi dari China, berlaku mulai 24 September. China kemudian membalas dengan bea masuk 10% bagi impor produk-produk AS senilai US$ 60 miliar, juga berlaku 24 September.
Meski masih 'berbalas pantun', tetapi tarif yang dikenakan masing-masing negara lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. AS awalnya diperkirakan menerapkan bea masuk 25%, sementara China 20%.
Oleh karena itu, pelaku pasar membaca bahwa bea masuk ini hanya gertakan jelang pertemuan AS-China. Sebelumnya, Washington dan Beijing mengonfirmasi akan mengadakan perundingan dagang dalam waktu dekat.
Selain itu, isu perang dagang berbalik menjadi bumerang bagi dolar AS. Meski Trump selalu mengumandangkan slogan America First, tetapi Negeri Adidaya masih membutuhkan barang impor karena belum bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri.
Apabila impor dari China semakin mahal karena pengenaan bea masuk, maka hasilnya adalah ekonomi biaya tinggi. Inflasi akan terakselerasi, sementara pertumbuhan industri dan investasi akan terancam. Akibatnya, prospek pertumbuhan ekonomi AS menjadi penuh tanda tanya.
Sentimen ini yang membuat investor malah berani mengambil risiko, risk appetite pelaku pasar sudah kembali. Aliran dana mengalir deras ke berbagai penjuru mata angin, termasuk ke Asia. Hasilnya adalah bursa saham dan mata uang Benua Kuning menguat, termasuk di Indonesia.
Dari Wall Street, kinerja tiga indeks utama selama pekan lalu bervariasi dalam rentang yang cukup lebar. Sepekan kemarin, Dow Jones Industrial Average (DJIA) melesat 2,18%, S&P 500 menguat 0,83%, tetapi Nasdaq Composite terkoreksi 0,29%.
Penyikapan investor terhadap perang dagang AS-China yang berubah 180 derajat mendorong penguatan saham-saham industri di Negeri Paman Sam, yang banyak ditampung oleh DJIA. Dalam 5 hari perdagangan terakhir, saham Boeing melejit 4,57%, Caterpillar lompat 6,95%, dan 3M terdongkrak 3,24%.
Penguatan pekan ini membuat bursa saham Negeri Adidaya semakin jauh meninggalkan bursa-bursa utama dunia. Sejak awal tahun, DJIA sudah menguat 8,19% dengan valuasi yang dilihat dari Price to Earnings Ratio (P/E) 20,75 kali. Sedangkan S&P 500 melaju 9,58% sejak awal tahun dengan P/E 22,26 kali, dan Nasdaq meroket 17,74% dengan P/E 26,01%.
Bandingkan dengan negara-negara lainnya. Indeks FTSE 100 (Inggris) melemah 2,57% dengan P/E 12,44 kali, Euronext 100 menguat 3,02% dengan P/E 16,63 kali, Nikkei 225 menguat 4,85% dengan P/E 16,85 kali, Hang Seng anjlok 6,57% dengan P/E 10,73 kali, Shanghai Composite amblas 15,41% dengan P/E 11,83 kali, Kospi turun 5,2% dengan P/E 12,1 kali, Straits Times melemah 5,44% dengan P/E 11,34 kali, dan IHSG yang terkoreksi 6,26% dengan P/E 16,26 kali.
Oleh karena itu, sebenarnya bursa saham New York berdiri dalam lapisan es yang tipis. Investor bisa keluar kapan saja, karena penguatan Wall Street sudah sangat tajam dan valuasinya semakin mahal. Ini tentu menggoda pelaku pasar untuk merealisasikan keuntungan, dan kala itu terjadi maka aksi jual yang masif berpotensi membuat Wall Street terkoreksi.
“Tidak ada berita buruk dari dalam negeri AS yang bisa membuat laju Wall Street terganggu. Risiko yang dihadapi pasar saham AS adalah apa yang terjadi di luar,” kata Micahel Geraghty, Equity Strategist di Cornerstone Capital Group yang berbasis di New York, dikutip dari Reuters.
Apabila investor merasa valuasi bursa saham di negara lain lebih murah, maka Wall Street uang mahal bisa kehilangan konsumen. Arus modal akan keluar dari New York dan menyebar ke negara-negara lain. Sekarang, musuh Wall Street adalah dirinya sendiri karena sudah terlampau mahal. Untuk perdagangan hari ini, investor patut untuk mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu kinerja Wall Street yang ciamik pekan lalu. Diharapkan aura positif ini bisa kembali menular ke Asia, termasuk IHSG.
Kedua, masih dari Wall Street, mulai pekan ini akan ada perubahan indeks sektoral di S&P 500. Beberapa saham teknologi akan dipindahkan ke indeks sektor baru yaitu layanan komunikasi. Facebook, Twitter, dan Alphabet (induk usaha Google) akan masuk ke indeks sektoral baru ini, bersama perusahaan telekomunikasi konvensional seperti AT&T atau Verizon.
Sektor telekomunikasi awalnya cuma memiliki bobot 2% dalam pembentukan S&P 500. Namun dengan perluasan menjadi layanan komunikasi, bobotnya melonjak menjadi 11%.
Sementara Apple masih berada di indeks teknologi dan semakin menegaskan posisinya sebagai penguasa. Sebelumnya, kapitalisasi pasar Apple di indeks teknologi S&P 500 adalah 16%.
Namun setelah kepergian Facebook dan Alphabet, kapitalisasi pasar Apple mencapai 20% dari indeks tersebut. Artinya saham Apple akan sangat menentukan nasib indeks teknologi di S&P 500 karena nyaris tidak ada lawan.
Sementara Netflix dan Amazon akan menghuni sektor consumer discretionary. Di dalamnya ada perusahaan-perusahaan raksasa semacam Disney dan Comcast. ‘Kepergian’ Facebook, Alphabet, Netflix, dan Amazon membuat bobot indeks teknologi turun dari 26% menjadi 20%.
Perubahan formasi ini menyebabkan pamor beberapa saham ikut berubah. Misalnya Apple, yang tadi sudah disebutkan semakin menancapkan dominasi di indeks teknologi. Saham Apple akan jadi semakin seksi, karena terlihat semakin dominan.
Apa yang terjadi di Wall Street ini berpotensi mengubah posisi pelaku pasar. Ada kemungkinan investor ingin melakukan reposisi terhadap asetnya karena perubahan indeks sektoral di S&P 500 karena melihat beberapa saham menjadi semakin kinclong atau malah semakin suram.
Perubahan posisi ini bisa berakibat pada seretnya likuiditas di pasar saham Asia, karena pemilik modal fokus untuk menata asetnya di Wall Street. Apabila ini terjadi, maka bisa menjadi sentimen negatif bagi bursa saham Benua Kuning, termasuk IHSG. Sentimen ketiga adalah, pelaku pasar perlu diingatkan kembali bahwa 24 September adalah masa dimulainya perang dagang ronde kesekian antara AS vs China. Hari ini, China akan menerapkan bea masuk sebesar 10% kepada importasi produk AS senilai US$ 60 miliar. Disusul oleh AS yang akan menerapkan bea masuk 10% kepada importasi dari China senilai US$ 200 miliar. China lebih dulu menerapkan karena isu perbedaan zona waktu.
Pekan lalu, sentimen ini memang tidak terlalu direken oleh pelaku pasar. Namun itu karena mungkin baru sebatas pengumuman. Hari ini, kebijakan bea masuk sudah resmi berlaku dan perang dagang babak terbaru pun dimulai.
Investor perlu terus menyimak perkembangan di Washington maupun Beijing, utamanya seputar wacana perundingan dagang kedua negara. Apakah dengan pemberlakuan bea masuk baru perundingan ini dibatalkan? Apakah bea masuk menjadi alat bagi AS maupun China untuk ‘menginjak kaki’ lawan bicaranya di meja perundingan? Pelaku pasar perlu hirau dengan perkembangan isu ini.
Sentimen ketiga adalah kekhawatiran seputar perundingan persiapan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit). Akhir pekan lalu, muncul kekhawatiran perundingan Brexit tidak menghasilkan apa-apa alias no-deal.
Perdana Menteri Inggris Theresa May menyatakan bahwa perundingan Brexit antara London dan Brussel mungkin sudah mengarah ke jalan buntu. Uni Eropa menolak proposal yang diajukan Inggris dengan alasan May harus menyertakan alasan yang kuat dalam hal perdagangan dan kepabeanan di perbatasan Inggris-Irlandia.
Agak emosi, May pun menantang Uni Eropa untuk menawarkan proposal baru soal perceraian ini. Sebab, dia merasa Uni Eropa menolak tanpa alasan yang jelas.
“Selama proses ini, saya selalu memperlakukan Uni Eropa dengan penuh rasa hormat. Kami juga mengharapkan hal yang sama, hubungan yang baik setelah berakhirnya proses ini ditentukan dari sekarang,” tegas May dalam pidato di televisi, dikutip dari Reuters.
“Sulit diterima saat satu pihak menolak proposal pihak lain tanpa alasan dan solusi yang jelas. Kami perlu mendengar dari Uni Eropa, apa sebenarnya yang menjadi masalah dan apa alternatifnya. Sampai saat itu datang, kami tidak bisa mencapai kemajuan,” jelas May.
No-deal Brexit bukan hal sembarangan. Konsekuensi terbesarnya adalah gugurnya perdagangan bebas antara Inggris dengan Eropa Daratan. Selama ini, barang made in England tidak kena bea masuk di Uni Eropa, demikian pula sebaliknya. Bila Inggris dan Uni Eropa tidak bercerai secara baik-baik, maka kemungkinan tidak akan ada kesepakatan perdagangan bebas. Artinya produk Inggris yang masuk ke Uni Eropa akan kena bea masuk dan barang Eropa Kontinental yang masuk ke Inggris juga dibebankan bea masuk.
Salah satu industri yang paling merasakan dampaknya adalah otomotif. Society of Motor Manufacturers and Traders, (SMMT), asosiasi produsen dan penjual mobil di Inggris, menegaskan bahwa harga mobil buatan Eropa bisa naik sekitar 1.500 poundsterling (Rp 29,03 juta dengan kurs saat ini) saat masuk ke Negeri John Bull.
“Ketidakpastian ini jangan sampai berlarut-larut, dan menyeret industri dalam negeri Inggris. Kami menginginkan kejelasan, kesepakatan yang bisa menjadi pegangan bagi pelaku usaha. Kami butuh jaminan bahwa kami tidak akan menjadi korban saat Inggris meninggalkan Uni Eropa,” papar Mike Hawes, Ketua SMMT, dikutip dari Reuters.
Perkembangan di Inggris yang kurang kondusif membuat mata uang poundsterling melemah. Akhir pekan lalu, sterling melemah tajam di hadapan dolar AS, sampai 1,42%.
Jika belum ada kabar baik dari Inggris, maka dolar AS akan terus mendapat momentum penguatan karena menerima aliran dana yang keluar dari poundsteling. Greenback yang sepanjang pekan lalu tertekan, kini mendapat ruang untuk membalas dendam.
Dalam seminggu terakhir, Dollar Index (yang menggambarkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,74%. Bahkan dalam sebulan ke belakang pelemahannya mencapai 1,09%.
Ini semakin membuat dolar AS punya ruang untuk menguat. Dolar AS yang sudah relatif murah tentu membuat investor tertarik sehingga melakukan aksi borong. Permintaan yang meningkat akan membuat nilai dolar AS semakin mahal atau menguat.
Masih ada lagi faktor yang bisa menopang penguatan dolar AS, yaitu semakin dekatnya pelaksanaan rapat bulanan The Federal Reserve/The Fed yaitu 26 September. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) adalah 93,8%. Sementara peluang kenaikan 50 bps adalah 6,2%. Praktis tidak ada peluang untuk menahan suku bunga di 1,75-2%.
Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mendongkrak imbalan investasi, khususnya di instrumen berpendapatan tetap. Akibatnya, arus modal akan kembali berkerumun di dekat Negeri Paman Sam dan bila ini terjadi maka penguatan dolar AS adalah sebuah keniscayaan sejarah
Oleh karena itu, investor perlu mewaspadai perkembangan nilai tukar dolar AS. Sebab ada peluang dolar AS untuk bangkit. Kebangkitan dolar AS tentu akan menimbulkan tekanan terhadap mata uang lain, tidak terkecuali rupiah.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah nasib aturan wajib pencampuran bahan bakar nabati 20% ke minyak diesel/solar. Kebijakan yang akrab disebut B20 ini sekarang menjadi penuh tanda tanya.
Awalnya, B20 adalah mantra pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk menjawab masalah tingginya impor yang memperparah defisit transaksi berjalan (current account) sehingga membuat rupiah melemah. B20 diyakini mampu menekan impor Bahan Bakar Minyak (BBM) sehingga bisa menghemat devisa sampai US$ 2,3 miliar dalam setahun.
Namun kini nasib B20 nelangsa. Sebab, pelaksanaan di lapangan ternyata terkendala pasokan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) yang harus ada jika ingin membuat biodiesel.
Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, mengatakan dari 112 terminal BBM yang dimiliki perusahaan migas pelat merah ini, baru 69 yang sudah menerima penyaluran FAME. Sebagian besar daerah yang belum tersalurkan FAME berada di kawasan timur seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua, dan Sulawesi. Nasib B20 yang terkatung-katung ini bisa mengakibatkan dua hal. Satu, saham-saham sektor agrikultur (utamanya produsen minyak sawit mentah/CPO) bisa terdampak negatif. Dulu, saham-saham ini terimbas sentimen positif karena B20 akan membuat industri biodiesel bergairah sehingga permintaan CPO meningkat.
Namun kini harapan peningkatan permintaan sepertinya terlalu jauh panggang dari api. Belum jelasnya nasib B20 membuat permintaan CPO pun samar-samar. Akibatnya, investor bisa ‘menghukum’ saham-saham agrikultur dan berpotensi membebani IHSG secara keseluruhan.
Kedua, tujuan utama pemberlakuan B20 adalah menurunkan impor BBM sehingga membantu mengurangi defisit transaksi berjalan dan membuat rupiah lebih stabil. Kalau B20 tidak berjalan lancar, bisa ditebak dampaknya terhadap neraca perdagangan, transaksi berjalan, dan rupiah. Impian Indonesia untuk memiliki transaksi berjalan yang lebih sehat dan rupiah yang lebih stabil mungkin perlu ditunda dulu.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini. TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Dalam 5 hari perdagangan terakhir, IHSG melesat 2,29%. Meski performa IHSG bisa dibilang impresif, ternyata tidak seberapa dibandingkan beberapa bursa saham Benua Kuning.
Selama periode yang sama, indeks Nikkei 225 lompat 3,68%, Hang Seng meroket 3,79%, Shanghai Composite terbang 5,49%, dan Straits Time naik 2,43%. Mungkin hanya Kospi yang penguatannya tidak lebih baik dari IHSG, karena 'hanya' 1,57%.
Sementara selama 5 hari perdagangan terakhir, rupiah menguat 0,36% di hadapan greenback. Tidak hanya rupiah, beberapa mata uang Asia pun menguat pada pekan lalu.
Won Korea Selatan menguat 1,01%, rupee India terapresiasi 0,41%, dolar Singapura menguat 0,56%, ringgit Malaysia terapresiasi 0,22%, dan baht Thailand menguat 0,46%. Namun yen Jepang dan yuan China malah melemah masing-masing 0,65% dan 0,03%.
Sentimen utama yang mewarnai pasar keuangan Asia pekan lalu adalah babak baru perang dagang AS vs China. Kini investor menilai dampak perang dagang tidak semenakutkan yang dikira.
Awal pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bakal menerapkan bea masuk 10% baru bagi US$ 200 miliar importasi dari China, berlaku mulai 24 September. China kemudian membalas dengan bea masuk 10% bagi impor produk-produk AS senilai US$ 60 miliar, juga berlaku 24 September.
Meski masih 'berbalas pantun', tetapi tarif yang dikenakan masing-masing negara lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. AS awalnya diperkirakan menerapkan bea masuk 25%, sementara China 20%.
Oleh karena itu, pelaku pasar membaca bahwa bea masuk ini hanya gertakan jelang pertemuan AS-China. Sebelumnya, Washington dan Beijing mengonfirmasi akan mengadakan perundingan dagang dalam waktu dekat.
Selain itu, isu perang dagang berbalik menjadi bumerang bagi dolar AS. Meski Trump selalu mengumandangkan slogan America First, tetapi Negeri Adidaya masih membutuhkan barang impor karena belum bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri.
Apabila impor dari China semakin mahal karena pengenaan bea masuk, maka hasilnya adalah ekonomi biaya tinggi. Inflasi akan terakselerasi, sementara pertumbuhan industri dan investasi akan terancam. Akibatnya, prospek pertumbuhan ekonomi AS menjadi penuh tanda tanya.
Sentimen ini yang membuat investor malah berani mengambil risiko, risk appetite pelaku pasar sudah kembali. Aliran dana mengalir deras ke berbagai penjuru mata angin, termasuk ke Asia. Hasilnya adalah bursa saham dan mata uang Benua Kuning menguat, termasuk di Indonesia.
Dari Wall Street, kinerja tiga indeks utama selama pekan lalu bervariasi dalam rentang yang cukup lebar. Sepekan kemarin, Dow Jones Industrial Average (DJIA) melesat 2,18%, S&P 500 menguat 0,83%, tetapi Nasdaq Composite terkoreksi 0,29%.
Penyikapan investor terhadap perang dagang AS-China yang berubah 180 derajat mendorong penguatan saham-saham industri di Negeri Paman Sam, yang banyak ditampung oleh DJIA. Dalam 5 hari perdagangan terakhir, saham Boeing melejit 4,57%, Caterpillar lompat 6,95%, dan 3M terdongkrak 3,24%.
Penguatan pekan ini membuat bursa saham Negeri Adidaya semakin jauh meninggalkan bursa-bursa utama dunia. Sejak awal tahun, DJIA sudah menguat 8,19% dengan valuasi yang dilihat dari Price to Earnings Ratio (P/E) 20,75 kali. Sedangkan S&P 500 melaju 9,58% sejak awal tahun dengan P/E 22,26 kali, dan Nasdaq meroket 17,74% dengan P/E 26,01%.
Bandingkan dengan negara-negara lainnya. Indeks FTSE 100 (Inggris) melemah 2,57% dengan P/E 12,44 kali, Euronext 100 menguat 3,02% dengan P/E 16,63 kali, Nikkei 225 menguat 4,85% dengan P/E 16,85 kali, Hang Seng anjlok 6,57% dengan P/E 10,73 kali, Shanghai Composite amblas 15,41% dengan P/E 11,83 kali, Kospi turun 5,2% dengan P/E 12,1 kali, Straits Times melemah 5,44% dengan P/E 11,34 kali, dan IHSG yang terkoreksi 6,26% dengan P/E 16,26 kali.
Oleh karena itu, sebenarnya bursa saham New York berdiri dalam lapisan es yang tipis. Investor bisa keluar kapan saja, karena penguatan Wall Street sudah sangat tajam dan valuasinya semakin mahal. Ini tentu menggoda pelaku pasar untuk merealisasikan keuntungan, dan kala itu terjadi maka aksi jual yang masif berpotensi membuat Wall Street terkoreksi.
“Tidak ada berita buruk dari dalam negeri AS yang bisa membuat laju Wall Street terganggu. Risiko yang dihadapi pasar saham AS adalah apa yang terjadi di luar,” kata Micahel Geraghty, Equity Strategist di Cornerstone Capital Group yang berbasis di New York, dikutip dari Reuters.
Apabila investor merasa valuasi bursa saham di negara lain lebih murah, maka Wall Street uang mahal bisa kehilangan konsumen. Arus modal akan keluar dari New York dan menyebar ke negara-negara lain. Sekarang, musuh Wall Street adalah dirinya sendiri karena sudah terlampau mahal. Untuk perdagangan hari ini, investor patut untuk mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu kinerja Wall Street yang ciamik pekan lalu. Diharapkan aura positif ini bisa kembali menular ke Asia, termasuk IHSG.
Kedua, masih dari Wall Street, mulai pekan ini akan ada perubahan indeks sektoral di S&P 500. Beberapa saham teknologi akan dipindahkan ke indeks sektor baru yaitu layanan komunikasi. Facebook, Twitter, dan Alphabet (induk usaha Google) akan masuk ke indeks sektoral baru ini, bersama perusahaan telekomunikasi konvensional seperti AT&T atau Verizon.
Sektor telekomunikasi awalnya cuma memiliki bobot 2% dalam pembentukan S&P 500. Namun dengan perluasan menjadi layanan komunikasi, bobotnya melonjak menjadi 11%.
Sementara Apple masih berada di indeks teknologi dan semakin menegaskan posisinya sebagai penguasa. Sebelumnya, kapitalisasi pasar Apple di indeks teknologi S&P 500 adalah 16%.
Namun setelah kepergian Facebook dan Alphabet, kapitalisasi pasar Apple mencapai 20% dari indeks tersebut. Artinya saham Apple akan sangat menentukan nasib indeks teknologi di S&P 500 karena nyaris tidak ada lawan.
Sementara Netflix dan Amazon akan menghuni sektor consumer discretionary. Di dalamnya ada perusahaan-perusahaan raksasa semacam Disney dan Comcast. ‘Kepergian’ Facebook, Alphabet, Netflix, dan Amazon membuat bobot indeks teknologi turun dari 26% menjadi 20%.
Perubahan formasi ini menyebabkan pamor beberapa saham ikut berubah. Misalnya Apple, yang tadi sudah disebutkan semakin menancapkan dominasi di indeks teknologi. Saham Apple akan jadi semakin seksi, karena terlihat semakin dominan.
Apa yang terjadi di Wall Street ini berpotensi mengubah posisi pelaku pasar. Ada kemungkinan investor ingin melakukan reposisi terhadap asetnya karena perubahan indeks sektoral di S&P 500 karena melihat beberapa saham menjadi semakin kinclong atau malah semakin suram.
Perubahan posisi ini bisa berakibat pada seretnya likuiditas di pasar saham Asia, karena pemilik modal fokus untuk menata asetnya di Wall Street. Apabila ini terjadi, maka bisa menjadi sentimen negatif bagi bursa saham Benua Kuning, termasuk IHSG. Sentimen ketiga adalah, pelaku pasar perlu diingatkan kembali bahwa 24 September adalah masa dimulainya perang dagang ronde kesekian antara AS vs China. Hari ini, China akan menerapkan bea masuk sebesar 10% kepada importasi produk AS senilai US$ 60 miliar. Disusul oleh AS yang akan menerapkan bea masuk 10% kepada importasi dari China senilai US$ 200 miliar. China lebih dulu menerapkan karena isu perbedaan zona waktu.
Pekan lalu, sentimen ini memang tidak terlalu direken oleh pelaku pasar. Namun itu karena mungkin baru sebatas pengumuman. Hari ini, kebijakan bea masuk sudah resmi berlaku dan perang dagang babak terbaru pun dimulai.
Investor perlu terus menyimak perkembangan di Washington maupun Beijing, utamanya seputar wacana perundingan dagang kedua negara. Apakah dengan pemberlakuan bea masuk baru perundingan ini dibatalkan? Apakah bea masuk menjadi alat bagi AS maupun China untuk ‘menginjak kaki’ lawan bicaranya di meja perundingan? Pelaku pasar perlu hirau dengan perkembangan isu ini.
Sentimen ketiga adalah kekhawatiran seputar perundingan persiapan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit). Akhir pekan lalu, muncul kekhawatiran perundingan Brexit tidak menghasilkan apa-apa alias no-deal.
Perdana Menteri Inggris Theresa May menyatakan bahwa perundingan Brexit antara London dan Brussel mungkin sudah mengarah ke jalan buntu. Uni Eropa menolak proposal yang diajukan Inggris dengan alasan May harus menyertakan alasan yang kuat dalam hal perdagangan dan kepabeanan di perbatasan Inggris-Irlandia.
Agak emosi, May pun menantang Uni Eropa untuk menawarkan proposal baru soal perceraian ini. Sebab, dia merasa Uni Eropa menolak tanpa alasan yang jelas.
“Selama proses ini, saya selalu memperlakukan Uni Eropa dengan penuh rasa hormat. Kami juga mengharapkan hal yang sama, hubungan yang baik setelah berakhirnya proses ini ditentukan dari sekarang,” tegas May dalam pidato di televisi, dikutip dari Reuters.
“Sulit diterima saat satu pihak menolak proposal pihak lain tanpa alasan dan solusi yang jelas. Kami perlu mendengar dari Uni Eropa, apa sebenarnya yang menjadi masalah dan apa alternatifnya. Sampai saat itu datang, kami tidak bisa mencapai kemajuan,” jelas May.
No-deal Brexit bukan hal sembarangan. Konsekuensi terbesarnya adalah gugurnya perdagangan bebas antara Inggris dengan Eropa Daratan. Selama ini, barang made in England tidak kena bea masuk di Uni Eropa, demikian pula sebaliknya. Bila Inggris dan Uni Eropa tidak bercerai secara baik-baik, maka kemungkinan tidak akan ada kesepakatan perdagangan bebas. Artinya produk Inggris yang masuk ke Uni Eropa akan kena bea masuk dan barang Eropa Kontinental yang masuk ke Inggris juga dibebankan bea masuk.
Salah satu industri yang paling merasakan dampaknya adalah otomotif. Society of Motor Manufacturers and Traders, (SMMT), asosiasi produsen dan penjual mobil di Inggris, menegaskan bahwa harga mobil buatan Eropa bisa naik sekitar 1.500 poundsterling (Rp 29,03 juta dengan kurs saat ini) saat masuk ke Negeri John Bull.
“Ketidakpastian ini jangan sampai berlarut-larut, dan menyeret industri dalam negeri Inggris. Kami menginginkan kejelasan, kesepakatan yang bisa menjadi pegangan bagi pelaku usaha. Kami butuh jaminan bahwa kami tidak akan menjadi korban saat Inggris meninggalkan Uni Eropa,” papar Mike Hawes, Ketua SMMT, dikutip dari Reuters.
Perkembangan di Inggris yang kurang kondusif membuat mata uang poundsterling melemah. Akhir pekan lalu, sterling melemah tajam di hadapan dolar AS, sampai 1,42%.
Jika belum ada kabar baik dari Inggris, maka dolar AS akan terus mendapat momentum penguatan karena menerima aliran dana yang keluar dari poundsteling. Greenback yang sepanjang pekan lalu tertekan, kini mendapat ruang untuk membalas dendam.
Dalam seminggu terakhir, Dollar Index (yang menggambarkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,74%. Bahkan dalam sebulan ke belakang pelemahannya mencapai 1,09%.
Ini semakin membuat dolar AS punya ruang untuk menguat. Dolar AS yang sudah relatif murah tentu membuat investor tertarik sehingga melakukan aksi borong. Permintaan yang meningkat akan membuat nilai dolar AS semakin mahal atau menguat.
Masih ada lagi faktor yang bisa menopang penguatan dolar AS, yaitu semakin dekatnya pelaksanaan rapat bulanan The Federal Reserve/The Fed yaitu 26 September. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) adalah 93,8%. Sementara peluang kenaikan 50 bps adalah 6,2%. Praktis tidak ada peluang untuk menahan suku bunga di 1,75-2%.
Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mendongkrak imbalan investasi, khususnya di instrumen berpendapatan tetap. Akibatnya, arus modal akan kembali berkerumun di dekat Negeri Paman Sam dan bila ini terjadi maka penguatan dolar AS adalah sebuah keniscayaan sejarah
Oleh karena itu, investor perlu mewaspadai perkembangan nilai tukar dolar AS. Sebab ada peluang dolar AS untuk bangkit. Kebangkitan dolar AS tentu akan menimbulkan tekanan terhadap mata uang lain, tidak terkecuali rupiah.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah nasib aturan wajib pencampuran bahan bakar nabati 20% ke minyak diesel/solar. Kebijakan yang akrab disebut B20 ini sekarang menjadi penuh tanda tanya.
Awalnya, B20 adalah mantra pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk menjawab masalah tingginya impor yang memperparah defisit transaksi berjalan (current account) sehingga membuat rupiah melemah. B20 diyakini mampu menekan impor Bahan Bakar Minyak (BBM) sehingga bisa menghemat devisa sampai US$ 2,3 miliar dalam setahun.
Namun kini nasib B20 nelangsa. Sebab, pelaksanaan di lapangan ternyata terkendala pasokan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) yang harus ada jika ingin membuat biodiesel.
Namun kini harapan peningkatan permintaan sepertinya terlalu jauh panggang dari api. Belum jelasnya nasib B20 membuat permintaan CPO pun samar-samar. Akibatnya, investor bisa ‘menghukum’ saham-saham agrikultur dan berpotensi membebani IHSG secara keseluruhan.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data Iklim Bisnis Jerman versi Ifo (15:00 WIB).
- Pidato Gubernur European Central BankMario Draghi (20:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY) | 5.27% |
Inflasi (Agustus 2018 YoY) | 3.20% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
Transaksi berjalan (Q II-2018) | -3.04% PDB |
Neraca pembayaran (Q II-2018) | -US$ 4.31 miliar |
Cadangan devisa (Agustus 2018) | US$ 117.9 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini. TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular