Newsletter

Waspada Bara di Ankara

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
13 August 2018 04:51
Waspada Bara di Ankara
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu menjadi periode yang cukup indah bagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Berkat dorongan sentimen domestik, IHSG mampu menguat lumayan signifikan. 

Sepanjang pekan lalu, IHSG menguat 1,16%. Sementara bursa saham regional bergerak variatif di mana Hang Seng melonjak 2,49%, Shanghai Composite naik 2%, dan Straits Time bertambah 0,58%. Namun Nikkei 225 melemah 1,01% dan Kospi berkurang 0,21%. 

Laju IHSG dimotori oleh rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal-II 2018 yang di atas ekspektasi. Sepanjang kuartal-II, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,27%, mengalahkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,125%. Capaian ini juga lebih baik ketimbang kuartal-I 2018 yang sebesar 5,06% dan kuartal-II 2017 yaitu 5,01%.

Positifnya angka pertumbuhan ekonomi menghapus kekhawatiran investor bahwa laju ekonomi tahun ini akan lesu seperti 2017, walaupun angka pertumbuhan ekonomi kuartal-III dan IV akan menjadi penentuan. Pasalnya, laju perekonomian pada kuartal-II ditopang oleh momentum Ramadan-Idul Fitri yang jatuh pada pertengahan Mei hingga pertengahan Juni.
 

Saham-saham perbankan pun menjadi buruan investor. BMRI naik 2,08%, BBCA 1,81%, BBRI naik 1,8%, dan BBNI naik 0,95%. Seiring dengan kenaikan harga saham emiten-emiten perbankan, indeks sektor jasa keuangan menguat hingga 1,7% sepanjang pekan lalu. Ketika ekonomi tumbuh kencang, perbankan memang menjadi salah satu pihak yang paling diuntungkan lantaran ada potensi meningkatnya penyaluran kredit.

Hal tersebut lantas mengobati kekecewaan investor terhadap penyaluran kredit yang relatif mengecewakan pada semester-I 2018. Sepanjang paruh pertama 2018, total penyaluran kredit BMRI tercatat sebesar Rp 762,5 triliun, naik 11,8% jika dibandingkan posisi periode yang sama tahun lalu. Sementara pada paruh pertama 2017, penyaluran kredit tumbuh sebesar 11,65% YoY. Ini artinya, pertumbuhan penyaluran kredit hanya naik tipis.

Penyaluran kredit BBTN tumbuh 19,14% YoY sepanjang paruh pertama 2018, tak banyak meningkat dari capaian di paruh pertama 2017 yang sebesar 18,81% YoY. Sementara itu, penyaluran kredit BBNI hanya mampu tumbuh 11,1% YoY sepanjang paruh pertama 2018, jauh lebih rendah dari capaian di paruh pertama 2017 yang sebesar 15,4% YoY.

Di sisi lain, risiko perang dagang menghantui jalannya perdagangan. Pekan lalu, China mengumumkan pengenaan bea masuk sebesar 25% bagi impor produk-produk Amerika Serikat (AS) senilai US$ 16 miliar. Beberapa produk yang akan terkena bea masuk tersebut adalah bahan bakar minyak (BBM), produk baja, kendaraan bermotor, dan peralatan kesehatan. Total ada 333 produk asal AS yang menjadi korban. 

Kementerian Perdagangan China menyebutkan bahwa bea masuk ini akan mulai berlaku pada 23 Agustus mendatang, hari yang sama dengan pengenaan bea masuk 25% terhadap US$ 16 miliar produk impor asal China oleh AS. Jadi, kebijakan China tersebut merupakan balasan atas serangan dari Negeri Paman Sam.
 

Dari Wall Street, tiga indeks saham utama berakhir variatif. Sepanjang pekan lalu, Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,6%, S&P 500 melemah 0,3%, tetapi Nasdaq Composite naik 0,3% karena bantuan saham-saham teknologi. Sedangkan pada akhir pekan lalu, DJIA ditutup turun 0,77%, S&P 500 melemah 0,71%, dan Nasdaq berkurang 0,79%. 

Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan Wall Street cenderung terkoreksi. Pertama adalah, seperti yang sudah disunggung sebelumnya, suhu perang dagang AS-China yang meninggi. Akibatnya, saham perusahaan-perusahaan (terutama dari sektor industri manufaktur) melemah karena banyak yang mengandalkan China sebagai pasar ekspor utama. 

Sepanjang pekan lalu, saham Boeing anjlok 2,59%. Kemudian saham Caterpillar amblas 1,87% dan 3M terpangkas 2,57%. 

Sementara faktor kedua adalah situasi di Turki yang sangat tidak kondusif. Turki terancam krisis setelah mata uang lira anjlok ke titik terlemah sepanjang sejarah. Sejak awal tahun, lira jatuh 31,7% di hadapan dolar AS. 

Penyebabnya adalah kebijakan AS kepada Turki. Akhir pekan lalu, Presiden AS Donald Trump menyetujui pengenaan bea masuk bagi impor baja asal Turki sebesar 50%. Aluminium juga kena bea masuk 20%. 

"Saya telah menyetujui penggandaan tarif bea masuk untuk baja dan aluminium kepada Turki, karena mata uang mereka melemah terhadap dolar AS kami yang begitu kuat! Hubungan kami dengan Turki tidak baik pada saat ini!" tegas Trump melalui cuitan di Twitter, akhir pekan lalu. 

Selain itu, pasar juga menghukum Turki karena campur tangan Presiden Recep Tayyip Erdogan yang dianggap terlalu dalam terhadap kebijakan ekonomi. Hal ini ditunjukkan dengan memilih menantunya, Berat Albayrak, sebagai Menteri Keuangan. 

Di luar faktor ekonomi, keretakan hubungan Washington-Ankara juga disebabkan seseorang bernama Andrew Brunson. Pemerintah Turki menuding pastur asal AS ini sebagai salah satu pendukung upaya kudeta pada 2016. Brunson menolak tuduhan tersebut, tetapi nasibnya masih terkatung-katung. 

Investor cemas gonjang-ganjing di Turki akan menyebar ke mana-mana. Akibatnya, saham-saham perbankan mengalami tekanan jual. Sektor keuangan adalah salah satu kontributor utama di Wall Street, sehingga koreksi di sektor ini akan membebani bursa secara keseluruhan. 

Selama pekan kemarin, saham JPMorgan Chase turun 1,16%. Kemudian saham Bank of America Merril Lynch amblas 1,27%, Wells Fargo jatuh 1,32%, dan Goldman Sachs berkurang 1,91%. 

Namun saham-saham teknologi masih mampu menyelamatkan Nasdaq dari kehancuran. Selama sepekan kemarin, saham Amazon melesat 3,45%, Alphabet (induk usaha Google) naik 1,16%, dan Microsoft surplus 0,89%. 


Untuk perdagangan hari ini, pelaku pasar patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street akhir pekan lalu yang kurang mengesankan. Biasanya, dinamika di Wall Street akan memberi warna signifikan bagi bursa saham Asia, termasuk Indonesia. 

Kedua adalah situasi di Turki yang masih tidak kondusif. Presiden Erdogan menyerukan agar rakyat Turki menjual dolar AS dan emas mereka untuk menguatkan nilai tukar lira. Sesuatu yang mengingatkan kita kepada gerakan Aku Cinta Rupiah di Indonesia pada 1998, karena annjloknya nilai tukar mata uang Tanah Air. 

"Kalau ada seseorang yang menyimpan dolar AS atau emas di bawah bantalnya, maka mereka seharusnya menukarkan itu dengan lira. Ini adalah pertempuran demi negara. Ada negara yang mencoba melindungi pelaku kudeta dan tidak mengerti hukum!" tegas Erdogan dalam pidato di Bayburt, mengutip Reuters. 

Kekhawatiran investor mengenai perkembangan di Turki membuat bursa saham dan mata uang global anjlok pada akhir pekan lalu. Sebab dalam situasi 'huru-hara' seperti ini, investor lebih memilih bermain aman dengan tidak mengambil risiko. Instrumen high risk seperti saham (apalagi di negara berkembang) dilepas untuk kemudian masuk ke mana lagi kalau bukan dolar AS. Inilah yang menyebabkan Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat sampai 0,8% pada akhir pekan lalu.

Penguatan dolar AS juga mendapat momentum dari rilis data inflasi. Pada Juli 2018, inflasi di Negeri Paman Sam tercatat 2,9% YoY. Tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya tetapi merupakan laju tercepat sejak Februari 2012. 

Laju inflasi yang semakin cepat akan menjadi pembenaran bagi The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga lebih agresif. Pasar kini berekspektasi The Fed akan menaikkan suku bunga acuan total empat kali sepanjang 2018. Lebih banyak ketimbang proyeksi awal yaitu tiga kali. Jika data-data ekonomi Negeri Adidaya terus positif, maka kemungkinan ke arah sana akan semakin tinggi. 

Ditopang potensi kenaikan suku bunga, laju dolar AS bisa kian tidak tertahankan. Kenaikan suku bunga akan membuat instrumen berbasis greenback menjadi menarik karena menawarkan imbalan lebih. Arus modal masuk ini kemudian akan memupuk kekuatan dolar AS. 

Keperkasaan dolar AS akan berdampak kepada tekanan terhadap mata uang lain, bukan tidak mungkin rupiah menjadi salah satunya. Potensi pelemahan rupiah akan membuat investor menjauh, sebab depresiasi kurs akan membuat nilai investasi menjadi turun pada masa depan. Jika sampai terjadi aksi jual (terutama oleh Investor asing), maka IHSG pun terancam. 


Sentimen ketiga adalah dari dalam negeri, yaitu reaksi pasar atas rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Akhir pekan lalu, Bank Indonesia (BI) merilis NPI mengalami defisit US$ 4,31 miliar pada kuartal II-2018. Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 3,85 miliar apalagi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang masih surplus US$ 739 juta. 

Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan (current account) masih tekor US$ 8,03 miliar atau 3,04% dari PDB. Lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu US$ 5,72 miliar (2,21% PDB) atau periode yang sama pada 2017 yang sebesar US$ 4,7 miliar (1,86% PDB). 

Sedangkan transaksi modal dan finansial juga mengalami defisit US$ 4,01 miliar. Memburuk dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar minus US$ 3,27 miliar apalagi periode yang sama pada 2017 yang surplus US$ 637 juta. 

NPI yang defisit menggambarkan devisa yang keluar lebih banyak ketimbang yang masuk, baik itu dari ekspor-impor barang dan jasa maupun investasi (sektor riil dan portofolio). Artinya, perekonomian Indonesia bisa dinilai rentan menghadapi gejolak eksternal karena minimya sokongan devisa. 

Hal ini bisa menjadi sentimen negatif bagi rupiah. Mata uang Tanah Air tidak punya pijakan yang kuat untuk terapresiasi.  

Saat rupiah melemah, IHSG pun akan terimbas dampak negatif. Aset-aset berbasis rupiah akan kurang seksi kala rupiah berpotensi melemah karena ke depannya nilai aset ini akan cenderung turun.


Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu: 

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Provident Agro Tbk PT (PALM)RUPSLB20:00
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)5.27%
Inflasi (Juli 2018 YoY)3.18%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2018)-3.04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2018)-US$ 4.31 miliar
Cadangan devisa (Juli 2018)US$ 118.3 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular