
Newsletter
Rupiah dan Harga Minyak Jadi Risiko Buat IHSG
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 July 2018 05:14

Untuk perdagangan hari ini, beberapa sentimen negatif bisa mempengaruhi pergerakan pasar. Dari dalam negeri, pemerintah memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan cenderung melemah. Proyeksi pemerintah adalah rata-rata dolar AS pada semester II-2018 ada di Rp 14.200.
"Proyeksi semester II, kurs rupiah Rp 14.200/US$. Keseluruhan tahun rata-rata kurs Rp 13.973/US$," kata Sri Mulyani, Menteri Keuangan.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) juga memperkirakan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sampai akhir 2018 masih akan terus diperdagangkan di level Rp 14.000. Pengetatan likuiditas dan ketidakpastian global masih menjadi alasannya.
Proyeksi nilai tukar rupiah ini sangat jauh dari asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar Rp 13.400/US$. Hal ini dapat menyuntikkan energi negatif bagi rupiah.
Dari sisi eksternal, tekanan terhadap rupiah juga akan muncul dari kebangkitan dolar AS. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat sampai 0,5% pada pukul 04:17 WIB.
Pernyataan Powell di Senat meski tanpa kejutan tetapi menegaskan bahwa The Fed kemungkinan besar akan mengeksekusi dua kali kenaikan suku bunga lagi, sehingga menjadi empat kali sepanjang 2018. Lebih banyak dari perkiraan awal yaitu tiga kali.
"Data-data terkini sangat mengesankan. Lapangan kerja tumbuh cepat, pendapatan masyarakat meningkat, optimisme di level rumah tangga telah mengangkat konsumsi dalam beberapa bulan terakhir. Investasi oleh dunia usaha juga tumbuh sehat," papar Powell.
Data teranyar adalah produksi industri AS yang naik 0,6% secara bulanan pada Juni 2018. Jauh membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang terkontraksi (minus) 0,5%. Data ini semakin memberi konfirmasi bahwa perekonomian AS berjalan di jalur yang benar.
Jika peluang kenaikan suku bunga yang lebih agresif semakin besar, maka itu akan menjadi sentimen positif bagi dolar AS. Kenaikan suku bunga akan membuat investor semakin tertarik dengan instrumen berbasis dolar AS karena menjanjikan keuntungan lebih. Greenback pun akan mendapat pijakan untuk menguat.
Kemudian, sikap Powell yang menolak khawatir dengan perang dagang juga menjadi pendorong penguatan dolar AS. Powell menyebutkan bahwa penerapan kenaikan bea masuk mungkin bukan pendekatan yang tepat dan perekonomian AS bisa terkena dampak negatif jika itu dilakukan terlalu lama.
Namun pada akhirnya, Powell menyatakan bahwa hasil dari kebijakan ini bisa positif bila posisi tawar AS membuat negara-negara lain menurunkan bea masuknya. Nantinya akan tercipta perdagangan global yang lebih sehat dengan bea masuk yang rendah.
"Powell menyingkirkan kekhawatiran soal perang dagang. Investor menantikan apakah Powell akan menyinggung soal itu, dan ketika hasilnya demikian maka menjadi lampu hijau untuk membeli dolar AS," kata Boris Schlossberg, Director of FX STrategy di BK Aset Management yang berbasis di New York, seperti dikutip Reuters.
Apabila sentimen domestik dan eksternal itu sampai membuat rupiah melemah, maka berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi kurang menguntungkan. Akibatnya, investor asing berpotensi melanjutkan aksi jual bersihnya dan bisa mengancam IHSG.
(aji/aji)
"Proyeksi semester II, kurs rupiah Rp 14.200/US$. Keseluruhan tahun rata-rata kurs Rp 13.973/US$," kata Sri Mulyani, Menteri Keuangan.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) juga memperkirakan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sampai akhir 2018 masih akan terus diperdagangkan di level Rp 14.000. Pengetatan likuiditas dan ketidakpastian global masih menjadi alasannya.
Proyeksi nilai tukar rupiah ini sangat jauh dari asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar Rp 13.400/US$. Hal ini dapat menyuntikkan energi negatif bagi rupiah.
Dari sisi eksternal, tekanan terhadap rupiah juga akan muncul dari kebangkitan dolar AS. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat sampai 0,5% pada pukul 04:17 WIB.
Pernyataan Powell di Senat meski tanpa kejutan tetapi menegaskan bahwa The Fed kemungkinan besar akan mengeksekusi dua kali kenaikan suku bunga lagi, sehingga menjadi empat kali sepanjang 2018. Lebih banyak dari perkiraan awal yaitu tiga kali.
"Data-data terkini sangat mengesankan. Lapangan kerja tumbuh cepat, pendapatan masyarakat meningkat, optimisme di level rumah tangga telah mengangkat konsumsi dalam beberapa bulan terakhir. Investasi oleh dunia usaha juga tumbuh sehat," papar Powell.
Data teranyar adalah produksi industri AS yang naik 0,6% secara bulanan pada Juni 2018. Jauh membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang terkontraksi (minus) 0,5%. Data ini semakin memberi konfirmasi bahwa perekonomian AS berjalan di jalur yang benar.
Jika peluang kenaikan suku bunga yang lebih agresif semakin besar, maka itu akan menjadi sentimen positif bagi dolar AS. Kenaikan suku bunga akan membuat investor semakin tertarik dengan instrumen berbasis dolar AS karena menjanjikan keuntungan lebih. Greenback pun akan mendapat pijakan untuk menguat.
Kemudian, sikap Powell yang menolak khawatir dengan perang dagang juga menjadi pendorong penguatan dolar AS. Powell menyebutkan bahwa penerapan kenaikan bea masuk mungkin bukan pendekatan yang tepat dan perekonomian AS bisa terkena dampak negatif jika itu dilakukan terlalu lama.
Namun pada akhirnya, Powell menyatakan bahwa hasil dari kebijakan ini bisa positif bila posisi tawar AS membuat negara-negara lain menurunkan bea masuknya. Nantinya akan tercipta perdagangan global yang lebih sehat dengan bea masuk yang rendah.
"Powell menyingkirkan kekhawatiran soal perang dagang. Investor menantikan apakah Powell akan menyinggung soal itu, dan ketika hasilnya demikian maka menjadi lampu hijau untuk membeli dolar AS," kata Boris Schlossberg, Director of FX STrategy di BK Aset Management yang berbasis di New York, seperti dikutip Reuters.
Apabila sentimen domestik dan eksternal itu sampai membuat rupiah melemah, maka berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi kurang menguntungkan. Akibatnya, investor asing berpotensi melanjutkan aksi jual bersihnya dan bisa mengancam IHSG.
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular