Newsletter

Rupiah dan Harga Minyak Jadi Risiko Buat IHSG

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 July 2018 05:14
Rupiah dan Harga Minyak Jadi Risiko Buat IHSG
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indoesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali melemah pada perdagangan kemarin. Sentimen negatif eksternal mewarnai jalannya perdagangan. 

Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,74%. Nilai transaksi tercatat Rp 7,71 triliun dengan volume 8,79 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 356.775 kali. 

Dari sisi eksternal, risiko perang dagang menyelimuti jalannya perdagangan. Tak kunjung meredanya saling balas bea masuk antara Amerika Serikat (AS) dengan para mitra dagangnya membuat Dana Moneter Internasional (IMF) angkat bicara.

Dalam laporan World Economic Outlook, IMF memperingatkan bahwa perang dagang antara AS dengan mitra dagangnya dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi global sebanyak 0,5% pada tahun 2020. Secara nominal, nilainya mencapai sekitar US$ 430 miliar.
 

Lembaga yang berbasis di Washington tersebut menyatakan AS merupakan pihak yang paling rentan terhadap perang tarif yang kini sedang terjadi. Tidak heran, karena AS akan sulit mendatangkan produk-produk dari berbagai negara seiring penerapan bea masuk balasan. 

Sementara itu, rilis data pertumbuhan ekonomi China kuartal-II 2018 yang mengecewakan pada awal pekan ini juga masih membuat investor memasang posisi defensif. Perekonomian Negeri Tirai Bambu tercatat tumbuh sebesar 6,7% YoY, sama dengan konsensus yang dihimpun oleh Reuters.  

Namun, nilai itu lebih rendah dari pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu, yakni sebesar 6,9% YoY. Juga lebih rendah dari pertumbuhan pada kuartal I-2018 sebesar 6,8% YoY. 

Dari dalam negeri, potensi ambil untung (profit taking) suit dinafikan. Sepanjang pekan lalu, IHSG melonjak 4,38%. Angka ini sepertinya cukup menggoda investor untuk mencairkan keuntungan. Perilaku ini tampaknya sudah terlihat sejak kemarin. 

Saham-saham perbankan menjadi target utama, karena kapitalisasinya besar. Akibatnya, saham-saham perbankan melemah cukup signifikan pada perdagangan kemarin, seperti BMRI (-3,44%), BBRI (-3,37%), BDMN (-2,26%), BBCA (-1,73%), dan BBTN (-1,61%). 

Aksi jual atas saham-saham emiten perbankan menyebabkan sektor jasa keuangan anjlok hingga 1,53%. Dengan bobot yang paling besar dalam pembentukan IHSG, koreksi di sektor keuangan membuat Indeks secara keseluruhan terseret ke zona merah. 

Dari Wall Street, tiga indeks utama berhasil bangkit dari koreksi. Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup naik 0,22%, S&P 500 menguat 0,4%, dan Nasdaq bertambah 0,63%. 

Positifnya kinerja Wall Street disebabkan oleh pemaparan Jerome Powell, Gubernur The Federal Reserve/The Fed, di depan Senat AS. Powell tidak memberikan banyak kejutan, dia hanya mengulangi hal-hal yang pernah disampaikannya dalam beberapa kesempatan. 

"Dengan kebijakan moneter yang tepat, pasar tenaga kerja akan tetap kuat dan inflasi terkendali di kisaran 2% dalam beberapa tahun ke depan. Kami percaya bahwa saat ini kebijakan yang terbaik adalah menaikkan suku bunga acuan secara gradual," kata Powell dalam paparannya, dikutip dari Reuters. 

Bagi pelaku pasar, pernyataan Powell tidak menawarkan hal yang baru. The Fed tetap diperkirakan menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi, atau empat kali sepanjang 2018. Pembacaan ini sudah terjadi sejak pertengahan Juni. 

"Pernyataannya bahwa pasar tenaga kerja kuat, inflasi berada dekat di 2%, bagi saya itu berarti dua kali kenaikan (suku bunga acuan) lagi untuk tahun ini. Tidak ada kejutan," ujar Peter Cecchini, Chief Market Strategist di Cantor Fitzgerald yang berbasis di New York, mengutip Reuters. 

Tidak hanya bagi pelaku pasar, para senator pun sepertinya bosan mendengar penjelasan Powell yang terus-menerus sama. Bahkan salah satu senator menegaskan bahwa kehadiran Powell membuat The Fed menjadi membosankan. 

Namun bagi pasar saham, pidato Powell yang membosankan justru menjadi stimulus. Andai saja Powell memberi petunjuk bahwa bank sentral bakal lebih agresif dalam menaikkan suku bunga, maka Wall Street kemungkinan besar ditutup merah.

Sebab, saham adalah instrumen yang bekerja optimal dalam lingkungan suku bunga rendah. Berbeda dengan instrumen berpendapatan tetap (fixed income) seperti obligasi, yang semakin seksi dalam situasi suku bunga tinggi. 

Selain itu, kinerja Wall Street juga didukung oleh laporan keuangan emiten yang solid. Johnson & Johnson melaporkan laba pada kuartal II-2018 sebesar US$ 3,95 miliar. Naik 3,13% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yaitu US$ 3,83 miliar. Saham emiten farmasi dan produk-produk kesehatan ini naik 3,54%.

Namun saham Goldman Sachs turun tipis 0,18% meski laporan keuangan mereka kinclong. Pada kuartal II-2018, laba perusahaan keuangan ini mencapai US$ 2,3 miliar atau tumbuh signifikan 44% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. 


Untuk perdagangan hari ini, beberapa sentimen negatif bisa mempengaruhi pergerakan pasar. Dari dalam negeri, pemerintah memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan cenderung melemah. Proyeksi pemerintah adalah rata-rata dolar AS pada semester II-2018 ada di Rp 14.200. 

"Proyeksi semester II, kurs rupiah Rp 14.200/US$. Keseluruhan tahun rata-rata kurs Rp 13.973/US$," kata Sri Mulyani, Menteri Keuangan. 

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) juga memperkirakan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sampai akhir 2018 masih akan terus diperdagangkan di level Rp 14.000. Pengetatan likuiditas dan ketidakpastian global masih menjadi alasannya. 

Proyeksi nilai tukar rupiah ini sangat jauh dari asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar Rp 13.400/US$. Hal ini dapat menyuntikkan energi negatif bagi rupiah.  

Dari sisi eksternal, tekanan terhadap rupiah juga akan muncul dari kebangkitan dolar AS. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat sampai 0,5% pada pukul 04:17 WIB. 

Pernyataan Powell di Senat meski tanpa kejutan tetapi menegaskan bahwa The Fed kemungkinan besar akan mengeksekusi dua kali kenaikan suku bunga lagi, sehingga menjadi empat kali sepanjang 2018. Lebih banyak dari perkiraan awal yaitu tiga kali. 

"Data-data terkini sangat mengesankan. Lapangan kerja tumbuh cepat, pendapatan masyarakat meningkat, optimisme di level rumah tangga telah mengangkat konsumsi dalam beberapa bulan terakhir. Investasi oleh dunia usaha juga tumbuh sehat," papar Powell. 

Data teranyar adalah produksi industri AS yang naik 0,6% secara bulanan pada Juni 2018. Jauh membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang terkontraksi (minus) 0,5%. Data ini semakin memberi konfirmasi bahwa perekonomian AS berjalan di jalur yang benar. 

Jika peluang kenaikan suku bunga yang lebih agresif semakin besar, maka itu akan menjadi sentimen positif bagi dolar AS. Kenaikan suku bunga akan membuat investor semakin tertarik dengan instrumen berbasis dolar AS karena menjanjikan keuntungan lebih. Greenback pun akan mendapat pijakan untuk menguat. 

Kemudian, sikap Powell yang menolak khawatir dengan perang dagang juga menjadi pendorong penguatan dolar AS. Powell menyebutkan bahwa penerapan kenaikan bea masuk mungkin bukan pendekatan yang tepat dan perekonomian AS bisa terkena dampak negatif jika itu dilakukan terlalu lama.  

Namun pada akhirnya, Powell menyatakan bahwa hasil dari kebijakan ini bisa positif bila posisi tawar AS membuat negara-negara lain menurunkan bea masuknya. Nantinya akan tercipta perdagangan global yang lebih sehat dengan bea masuk yang rendah. 

"Powell menyingkirkan kekhawatiran soal perang dagang. Investor menantikan apakah Powell akan menyinggung soal itu, dan ketika hasilnya demikian maka menjadi lampu hijau untuk membeli dolar AS," kata Boris Schlossberg, Director of FX STrategy di BK Aset Management yang berbasis di New York, seperti dikutip Reuters. 

Apabila sentimen domestik dan eksternal itu sampai membuat rupiah melemah, maka berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi kurang menguntungkan. Akibatnya, investor asing berpotensi melanjutkan aksi jual bersihnya dan bisa mengancam IHSG. 


Harga komoditas juga berpotensi memberi tekanan kepada IHSG. Harga minyak dunia masih bergerak turun, meski tidak separah kemarin.

Faktor kemungkinan kenaikan produksi dan ekspor Libya masih membebani harga si emas hitam. Pada 11 Juli lalu, pihak separatis National Libyan Army menyerahkan empat pelabuhan utama yaitu Ras Lanuf, Es Sider, Zueitina, dan Hariga. Sebelumnya, produksi Libya sempat terpotong sampai 850.000 barel/hari saat empat terminal ini tidak beroperasi. 

Kini, pasokan minyak dari Libya siap masuk ke pasar. Kenaikan pasokan tentu menyebabkan harga terseret ke bawah. 

Perlambatan ekonomi di China juga menjadi sentimen yang menyebabkan penurunan harga minyak. Negeri Tirai Bambu adalah salah satu 'pemakan' minyak terbesar dunia, dengan konsumsi mencapai lebih dari 9 juta barel/hari.  

Saat ekonomi melambat, maka konsumsi energi pun berkurang. Akibatnya, permintaan sumber energi seperti minyak pun bakal turun. Persepsi penurunan permintaan dari China menyebabkan harga minyak ikut turun. 

Penurunan harga minyak bukan berita baik untuk IHSG. Emiten migas dan pertambangan cenderung kurang diapresiasi saat harga minyak turun. 


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data inflasi inggris periode Juni 2018 (15:30 WIB).
  • Rilis data pembacaan akhir inflasi zona Eropa periode Juni 2018 (16:00 WIB).
  • Rilis data izin bangunan AS peridoe Juni 2018 (19:30 WIB).
  • Pemaparan Gubernur The Fed Jerome Powell (21:00 WIB).
  • Rilis data cadangan minyak mentah AS dalam sepekan hingga tanggal 13 Juli (21:30 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Modern Internasional Tbk (MDRN)RUPSLB10:00
PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA)RUPSLB14:00
PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB)RUPSLB14:00
PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI)Analyst Meeting dan rilis laporan keuangan semester I-201814:00

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY)5.06%
Inflasi (Juni 2018 YoY)3.12%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q I-2018)-2.15% PDB
Neraca pembayaran (Q I-2018)-US$ 3.85 miliar
Cadangan devisa (Juni 2018)US$ 119.8 miliar

Untuk data-data pasar, silakan klik di sini

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular