
Menjawab Ancaman Trump, Tunggu Kabar dari Bogor

Akhir pekan lalu, IHSG melemah 0,77%. Koreksi ini menambah duka IHSG yang sepanjang pekan anjlok 1,79%.
Dari dalam negeri, sentimen negatif bagi IHSG datang dari pelemahan rupiah. Selama pekan lalu, rupiah melemah 0,27% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Saat rupiah melemah, berinvestasi dalam aset berbasis mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun. Oleh karena itu, investor asing cenderung keluar dari pasar keuangan Indonesia kala rupiah terdeprediasi karena tidak ingin mengalami rugi kurs.
Sepanjang pekan lalu, investor asing membukukan jual bersih Rp 1,32 triliun. Ini membuat nilai jual bersih investor asing sejak awal tahun menjadi Rp 50,72 triliun.
Salah satu penyebab depresiasi rupiah dari sisi domestik adalah fondasi yang relatif rentan karena seretnya pasokan devisa dari ekspor barang dan jasa. Bank Indonesia (BI) memperkirakan transaksi berjalan pada kuartal II-2018 bakal defisit sekitar 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu 2,15% PDB atau periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 1,96% PDB.
Sementara faktor eksternal yang menjadi pemberat IHSG utamanya adalah dinamika perang dagang. Presiden AS Donald Trump terus menunjukkan kebijakan yang proteksionistik, sehingga memantik balas dendam dari negara-negara lain.
Uni Eropa mengancam akan menerapkan bea masuk baru bagi sejumlah produk asal Amerika Serikat (AS) senilai US$ 294 miliar, jika Negeri Paman Sam bersikeras menaikkan bea masuk bagi mobil-mobil asal Eropa. Sebagai catatan, bea masuk yang menyasar produk senilai hampir US$ 300 miliar tersebut merupakan yang terbesar yang pernah diumumkan oleh negara mana pun sejak perang dagang mulai berkecamuk pada Maret 2018.
Hal ini lantas memperparah kekhawatiran investor karena pada 6 Juli baik AS dan China akan menerapkan tarif bea masuk baru. AS akan mengenakan bea masuk 25% bagi 818 produk China. Sementara China membebani bea masuk 25% bagi 659 produk China.
Bahkan Trump tidak ingin berhenti sampai di situ. Ke depan, dia berencana mengenakan bea masuk bagi impor produk-produk China senilai lebih dari US$ 500 miliar.
Perang dagang juga sudah mulai merambah Indonesia. Sofjan Wanandi, Ketua Tim Ahli Wakil Presiden, mengungkapkan Trump akan mencabut sejumlah perlakukan khusus yang saat ini diberikan ke Indonesia.
"Trump sudah kasih warning ke kita karena kita surplus. Beberapa special treatment yang dia beri ke kita mau dia cabut, terutama untuk tekstil," katanya.
Sebagai catatan, berdasarkan data United Nations International Trade Statistics Database, Indonesia menikmati surplus dagang hingga US$ 9,59 miliar dengan AS sepanjang 2017. Kini, pemerintahan Trump tengah mengevaluasi kelayakan Indonesia untuk memperoleh manfaat skema Generalized System of Preferences (GSP).
GSP merupakan kebijakan perdagangan fasilitas pemotongan bea masuk impor terhadap produk ekspor dari negara lain, khususnya untuk membantu perekonomian negara berkembang. Sampai hari ini, Indonesia masih termasuk di dalam GSP kategori A, yang diberikan pemotongan tarif bea masuk di AS untuk sekitar 3.500 produk, termasuk sebagian produk agrikultur, tekstil, garmen, dan perkayuan. Apabila hasil dari evaluasi merekomendasikan Indonesia tidak lagi berhak atas fasilitas GSP, maka akan dikenakan bea masuk normal oleh AS.
Api perang dagang yang masih membara membuat investor tidak nyaman. Akibatnya, pelaku pasar memilih bermain aman dan melepas aset-aset berisiko seperti saham. IHSG pun jadi korban.
Tidak hanya IHSG, bursa saham Asia lainnya pun melemah karena terhempas isu perang dagang. Sepanjang pekan lalu, indeks Nikkei 225 anjlok 1,98%, Shanghai Composite amblas 3,5%, Hang Seng turun 0,8%, dan Straits Times terkoreksi 1,45%.
Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir hijau pada perdagangan akhir pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,41%, S&P 500 menguat 0,8%, dan Nasdaq bertambah 1,3%.
Berbeda dengan di Benua Kuning, Wall Street bergerak positif selama seminggu lalu di mana DJIA naik 0,7%, S&P 500 tumbuh 1,5%, dan Nasdaq surplus naik 2,4%.
Positifnya Wall Street disebabkan oleh rilis data ekonomi AS yang tidak sebaik perkiraan. Akhir pekan lalu, Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan angka pengangguran AS periode Juni 2018 sebesar 4%. Naik dibandingkan bulan sebelumnya maupun konsensus pasar yaitu 3,8%.
Sementara itu, upah per jam rata-rata AS tercatat meningkat 2,7% secara tahunan (year-on-year/YoY). Juga di bawah konsensus yang memperkirakan peningkatan sebesar 2,8% YoY.
Data ini sepertinya menjadi blessing in disguise. Sebab, pasar tenaga kerja AS belum sepenuhnya pulih dan masih membutuhkan kebijakan moneter akomodatif.
Akhirnya, muncul persepsi bahwa the Federal Reserve/The Fed tidak akan agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Apalagi ada risiko besar yaitu perang dagang.
Untuk perdagangan hari ini, investor nampaknya masih akan mewaspadai perkembangan perang dagang, setelah AS dan China resmi saling ‘tembak’. Bila situasi masih panas, maka kemungkinan investor lagi-lagi akan menahan diri. Sikap wait and see ini bisa merugikan IHSG, karena menghambat potensi penguatan.
Kekhawatiran investor juga bisa bertambah karena perundingan tingkat tinggi antara AS dan Korea Utara (Korut) yang sepertinya menemui jalan buntu. Akhir pekan lalu, Pyongyang mengatakan kunjungan oleh Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo telah 'disesalkan'. Pernyataan dari Korut itu terjadi hanya beberapa jam setelah Pompeo mengakhiri pembicaraan dua hari dengan para pejabat senior Korut, tanpa bertemu dengan Pemimpin Korut Kim Jong Un.
Sebagai informasi, Pompeo terbang ke Pyongyang untuk mendiskusikan kejelasan tentang parameter kesepakatan denuklirisasi Semenanjung Korea yang disetujui oleh Trump dan Kim di Singapura sebulan lalu. Meski Pompeo sempat menyampaikan penilaian yang relatif positif sebelum beranjak pulang, Kementerian Luar Negeri Korut mengatakan AS mengkhianati semangat pertemuan bulan lalu dengan membuat tuntutan ‘sepihak dan seperti gangster’.
Korut mengatakan hasil dari pembicaraan lanjutan itu 'sangat memprihatinkan' karena telah menyebabkan "fase berbahaya yang mungkin mengacaukan kesediaan kami untuk denuklirisasi yang sebelumnya telah bulat."
“Kami mengharapkan pihak AS akan menawarkan langkah-langkah konstruktif yang akan membantu membangun kepercayaan berdasarkan semangat pertemuan para pemimpin. Kami juga berpikir tentang memberikan tindakan timbal balik," kata pernyataan itu, yang dirilis oleh seorang juru bicara yang tidak disebutkan namanya dan diberitakan oleh Kantor Berita Resmi Korea Utara.
Perkembangan ini lantas mengaburkan aura perdamaian antara Washington dan Pyongyang, dan berpeluang menambah parah sentimen negatif yang saat ini sudah diciptakan oleh perang dagang global.
Dari dalam negeri, pelaku pasar juga akan mencermati pernyataan resmi Presiden Joko Widodo, dalam merespons rencana AS untuk mengenakan tarif terhadap beberapa produk Indonesia. Presiden dan para menteri Kabinet Kerja akan mengadakan sidang kabinet untuk merumuskan respons menghadapi perang dagang maupun kenaikan suku bunga acuan di AS.
Patut dicermati bagaimana Indonesia mengambil posisi dalam perang dagang. Apakah pemerintah akan menerapkan kebijakan antisipatif? Lebih jauh lagi, apakah Indonesia akan mulai berpihak kepada salah satu kubu atau tetap netral? Kita tunggu saja kabar dari Bogor...
Pasar domestik juga perlu menantikan rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) edisi Juni 2018 yang akan dirilis pada hari ini. Mengutip Trading Economics, IKK bulan lalu diprediksikan menguat 125,5 dibandingkan dengan posisi Mei pada 125,1.
Pemulihan konsumsi masyarakat akan kembali dikonfirmasi melalui data ini. Sebelumnya, kencangnya impor barang konsumsi pada Mei 2018 serta inflasi Juni 2018 yang melebihi ekspektasi, mampu direspons positif oleh pasar sebagai membaiknya konsumsi masyarakat.
Kenaikan aktivitas konsumsi akan menjadi sentimen positif bagi saham-saham defensif di sektor konsumsi. Termasuk saham sektor lain yang rentan dipengaruhi daya beli seperti properti, otomotif, dan keuangan.
Namun, ada kemungkinan pasar akan merespons data cadangan devisa yang dirilis akhir pekan lalu. BI melaporkan cadangan devisa per akhir Juni sebesar US$ 119,8 miliar. Turun US$ 3,1 miliar dibandingkan sebulan sebelumnya.
Cadangan devisa dalam tren meningkat sejak akhir November 2015. Namun tren itu terhenti pada awal 2018, di mana sejak Februari cadangan devisa terus berkurang.
Data ini bisa menjadi sentimen negatif karena Indonesia dinilai rentan menghadapi gejolak eksternal. Sejak awal tahun, cadangan devisa sudah terkuras sampai US$ 12,14 miliar.
Cadangan devisa bisa semakin berkurang karena ke depan masih banyak ketidakpastian yang menghantui rupiah. Saat rupiah tertekan, BI tentunya akan menggunakan cadangan devisa untuk melakukan stabilisasi sehingga jumlahnya semakin berkurang. Ini bisa melahirkan persepsi negatif mengenai kekuatan ekonomi Indonesia.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Menko Perekonomian Darmin Nasution dan sejumlah menteri Kabinet Kerja meluncurkan sistem Onlie Single Submission (08:00 WIB).
- Presiden Joko Widodo dan para menteri Kabinet Kerja mengadakan sidang kabinet di Istana Bogor membahas respons perang dagang dan kenaikan suku bunga AS (10:30 WIB).
- Rilis data Indeks Keyakinan Konsumen Indonesia periode Juni (tentatif).
- Pidato Gubernur Bank of Japan Haruhiko Kuroda (07:30).
- Pidato Presiden European Central Bank Mario Draghi (20:00 dan 22:00).
Berikut perkembangan sejumlah bursa saham utama:
Indeks | Close | % Change | % YtD |
IHSG | 5,694.91 | (0.77) | (10.40) |
LQ45 | 895.38 | (1.13) | (17.05) |
DJIA | 24,456.48 | 0.41 | (1.06) |
CSI300 | 3,364.86 | 0.67 | (16.52) |
Hang Seng | 28,315.62 | 0.47 | (5.36) |
Nikkei 225 | 21,788.14 | 1.12 | (4.29) |
Straits Times | 3,191.82 | (1.99) | (6.20) |
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang:
Mata Uang | Close | % Change | % YoY |
USD/IDR | 14,365 | (0.10) | 7.19 |
EUR/USD | 1.17 | 0.03 | 3.02 |
GBP/USD | 1.33 | 0.22 | 3.29 |
USD/CHF | 0.99 | (0.33) | 2.51 |
USD/CAD | 1.31 | 0.10 | 1.59 |
USD/JPY | 110.41 | (0.03) | (3.17) |
AUD/USD | 0.74 | 0.04 | (2.24) |
Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:
Komoditas | Close | % Change | % YoY |
Minyak Light Sweet (US$/barel) | 73.87 | 0.09 | 66.05 |
Minyak Brent (US$/barel) | 76.59 | (0.66) | 63.54 |
Emas (US$/troy ons) | 1,254.20 | (0.25) | 3.32 |
CPO (MYR/ton) | 2,255.00 | (0.66) | (15.48) |
Batu bara (US$/ton) | 113.12 | (0.05) | 39.48 |
Tembaga (US$/pound) | 2.81 | (0.04) | 6.57 |
Nikel (US$/ton) | 13,850.50 | (1.79) | 54.56 |
Timah (US$/ton) | 19.325.00 | (0.51) | (1.23) |
Karet (JPY/kg) | 164.30 | (0.42) | (15.35) |
Kakao (US$/ton) | 2,459.00 | 0.53 | 27.34 |
Berikut perkembangan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara:
Tenor | Yield (%) |
5Y | 7.51 |
10Y | 7.63 |
15Y | 8.12 |
20Y | 8.09 |
30Y | 8.46 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY) | 5.06% |
Inflasi (Juni 2018 YoY) | 3.12% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
Transaksi berjalan (Q I-2018) | -2.15% PDB |
Neraca pembayaran (Q I-2018) | -US$ 3.85 miliar |
Cadangan devisa (Juni 2018) | US$ 119.8 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kalau Trump Saja Bisa Kena Covid, Apa Kabar Kita-kita?
