
Newsletter
Baik-baik, Sentimen Negatif Masih Berjubel
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
03 July 2018 05:08

Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mewaspadai beberapa sentimen. Pertama adalah perang dagang yang masih memanas. Sentimen ini berhasil merontokkan bursa saham Asia kemarin, dan bisa saja masih berlanjut jelang 6 Juli.
Apalagi Presiden AS Donald Trump terus menebar ancaman dan kali ini ditujukan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Menurut Trump, WTO telah memperlakukan AS dengan sangat buruk.
Beberapa waktu lalu, situ berita Axios melaporkan bahwa pemerintahan Trump tengah berencana membuat regulasi untuk bebas menaikkan bea masuk kapan saja dan menerapkan bea masuk khusus bagi negara tertentu. Dua aturan ini adalah pelanggaran mendasar di mata WTO.
"AS mendapatkan kerugian dari WTO. Kami belum merencanakan apa-apa untuk saat ini, tetapi jika mereka tidak memperlakukan kami dengan baik, maka kami akan melakukan sesuatu," tegas Trump, dikutip dari Reuters.
Pekan lalu, sempat beredar kabar bahwa Trump ingin AS keluar dari WTO. Namun hal ini sudah dibantah oleh pemerintah.
Dinamika perang dagang masih berlangsung dan perkembangannya begitu cepat. Pelaku pasar perlu memperhatikan isu ini karena menyangkut nasib pertumbuhan ekonomi dunia.
Kemudian, dolar AS sepertinya masih dalam jalur pendakian. Ini terlihat dari Dollar Index, yang mencerminkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama, pada pukul 03:47 WIB menguat 0,21%.
Penguatan dolar AS kali ini disebabkan oleh rilis data PMI manufaktur. Tidak seperti di China, indeks PMI manufaktur di AS melesat dan cukup jauh mengungguli konsensus.
Pada Juni, indeks PMI manufaktur AS versi Institute of Supply Management (ISM) tercatat 60,2. Jauh di atas konsensus pasar yang memperkirakan 58,4.
Ini menandakan pelaku usaha di Negeri Adidaya sangat optimistis dan ekspansif. Artinya, pemulihan ekonomi di AS pun semakin terlihat nyata.
Perkembangan ini kian mengonfirmasi bahwa The Fed kemungkinan besar akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali tahun ini, atau dua kali lagi. Berita ini tentu lagi-lagi menambah bensin bagi dolar AS untuk menguat terhadap mata uang dunia.
Rupiah harus tetap berhati-hati. Kemarin, terbukti bahwa arus penguatan greenback lebih deras ketimbang sentimen kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI) 7 day reverse repo rate. Rupiah pun akhirnya terseret arus gelombang penguatan dolar AS.
Sentimen negatif juga bisa datang dari harga minyak yang bergerak turun. Penurunan harga si emas hitam disebabkan oleh kenaikan pasokan.
Survei Reuters menunjukkan, produksi minyak di Arab Saudi pada Juni 2018 diperkirakan mencapai 10,72 juta barel/hari atau naik 700.000 barel/hari dibandingkan bulan sebelumnya. Bahkan pada Juli ini, Negeri Padang Pasir menargetkan produksi minyak bisa mencapai 11 juta barel/hari, menurut salah seorang sumber yang dikutip Reuters.
Sementara produksi minyak Asosiasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) secara keseluruhan diperkirakan sebesar 32,32 juta barel/hari pada Juni. Naik 320.000 barel/hari dibandingkan bulan sebelumnya.
Tidak hanya Arab Saudi dan OPEC, pasokan minyak dari Rusia pun bertambah. Kementerian Energi Rusia menyebutkan produksi minyak negara tuan rumah Piala Dunia 2018 itu adalah 11,06 juta barel/hari pada Juni. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 10,97 juta barel/hari.
Perang dagang yang masih berkecamuk juga menjadi pemberat bagi harga minyak. Sebab, perang dagang akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi global sehingga permintaan energi berkurang. Kajian JPMorgan menyebutkan, pernag dagang berpotensi mengurangi pertumbuhan ekonomi dunia sekurang-kurangnya 0,5%.
Berbagai sentimen ini menyebabkan harga minyak tertarik ke bawah. Penurunan harga minyak menjadi sentimen negatif bagi IHSG, karena membuat saham-saham migas dan pertambangan kurang diapresiasi investor.
Sentimen negatif yang masih berjubel membuat pelaku pasar perlu berhati-hati. Namun bila bursa Asia lebih memilih untuk merespons penguatan yang terjadi di Wall Street, maka IHSG punya peluang untuk menguat.
(aji/aji)
Apalagi Presiden AS Donald Trump terus menebar ancaman dan kali ini ditujukan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Menurut Trump, WTO telah memperlakukan AS dengan sangat buruk.
Beberapa waktu lalu, situ berita Axios melaporkan bahwa pemerintahan Trump tengah berencana membuat regulasi untuk bebas menaikkan bea masuk kapan saja dan menerapkan bea masuk khusus bagi negara tertentu. Dua aturan ini adalah pelanggaran mendasar di mata WTO.
"AS mendapatkan kerugian dari WTO. Kami belum merencanakan apa-apa untuk saat ini, tetapi jika mereka tidak memperlakukan kami dengan baik, maka kami akan melakukan sesuatu," tegas Trump, dikutip dari Reuters.
Pekan lalu, sempat beredar kabar bahwa Trump ingin AS keluar dari WTO. Namun hal ini sudah dibantah oleh pemerintah.
Dinamika perang dagang masih berlangsung dan perkembangannya begitu cepat. Pelaku pasar perlu memperhatikan isu ini karena menyangkut nasib pertumbuhan ekonomi dunia.
Kemudian, dolar AS sepertinya masih dalam jalur pendakian. Ini terlihat dari Dollar Index, yang mencerminkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama, pada pukul 03:47 WIB menguat 0,21%.
Penguatan dolar AS kali ini disebabkan oleh rilis data PMI manufaktur. Tidak seperti di China, indeks PMI manufaktur di AS melesat dan cukup jauh mengungguli konsensus.
Pada Juni, indeks PMI manufaktur AS versi Institute of Supply Management (ISM) tercatat 60,2. Jauh di atas konsensus pasar yang memperkirakan 58,4.
Ini menandakan pelaku usaha di Negeri Adidaya sangat optimistis dan ekspansif. Artinya, pemulihan ekonomi di AS pun semakin terlihat nyata.
Perkembangan ini kian mengonfirmasi bahwa The Fed kemungkinan besar akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali tahun ini, atau dua kali lagi. Berita ini tentu lagi-lagi menambah bensin bagi dolar AS untuk menguat terhadap mata uang dunia.
Rupiah harus tetap berhati-hati. Kemarin, terbukti bahwa arus penguatan greenback lebih deras ketimbang sentimen kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI) 7 day reverse repo rate. Rupiah pun akhirnya terseret arus gelombang penguatan dolar AS.
Sentimen negatif juga bisa datang dari harga minyak yang bergerak turun. Penurunan harga si emas hitam disebabkan oleh kenaikan pasokan.
Survei Reuters menunjukkan, produksi minyak di Arab Saudi pada Juni 2018 diperkirakan mencapai 10,72 juta barel/hari atau naik 700.000 barel/hari dibandingkan bulan sebelumnya. Bahkan pada Juli ini, Negeri Padang Pasir menargetkan produksi minyak bisa mencapai 11 juta barel/hari, menurut salah seorang sumber yang dikutip Reuters.
Sementara produksi minyak Asosiasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) secara keseluruhan diperkirakan sebesar 32,32 juta barel/hari pada Juni. Naik 320.000 barel/hari dibandingkan bulan sebelumnya.
Tidak hanya Arab Saudi dan OPEC, pasokan minyak dari Rusia pun bertambah. Kementerian Energi Rusia menyebutkan produksi minyak negara tuan rumah Piala Dunia 2018 itu adalah 11,06 juta barel/hari pada Juni. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 10,97 juta barel/hari.
Perang dagang yang masih berkecamuk juga menjadi pemberat bagi harga minyak. Sebab, perang dagang akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi global sehingga permintaan energi berkurang. Kajian JPMorgan menyebutkan, pernag dagang berpotensi mengurangi pertumbuhan ekonomi dunia sekurang-kurangnya 0,5%.
Berbagai sentimen ini menyebabkan harga minyak tertarik ke bawah. Penurunan harga minyak menjadi sentimen negatif bagi IHSG, karena membuat saham-saham migas dan pertambangan kurang diapresiasi investor.
Sentimen negatif yang masih berjubel membuat pelaku pasar perlu berhati-hati. Namun bila bursa Asia lebih memilih untuk merespons penguatan yang terjadi di Wall Street, maka IHSG punya peluang untuk menguat.
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular