
Newsletter
Baik-baik, Sentimen Negatif Masih Berjubel
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
03 July 2018 05:08

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah pada perdagangan kemarin. Sentimen negatif eksternal lagi-lagi lebih dominan dan berhasil menyeret Indeks ke zona merah.
Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,91%. Perdagangan berlangsung kurang semarak dengan nilai transaksi Rp 6,9 triliun dan volume 73 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 369.099 kali.
Faktor eksternal menjadi penyebab utama koreksi IHSG. Uni Eropa mengancam akan menerapkan bea masuk baru bagi sejumlah produk asal Amerika Serikat (AS) senilai US$ 294 miliar, jika Negeri Paman Sam bersikeras menaikkan bea masuk bagi mobil-mobil asal Benua Biru. Sebagai catatan, bea masuk yang menyasar produk senilai hampir US$ 300 miliar tersebut merupakan yang terbesar yang pernah diumumkan oleh negara mana pun sejak perang dagang mulai berkecamuk pada Maret 2018.
Hal ini lantas memperparah kekhawatiran investor menjelang berlakunya kebijakan bea masuk AS bagi sejumlah produk China senilai US$ 34 miliar, yakni pada 6 Juli 2018. Negeri Panda pun sudah menyiapkan rencana pembalasan dengan bea masuk pada produk-produk AS dengan nilai yang sama.
Selain itu, sentimen negatif dari sisi eksternal juga datang dari rilis data ekonomi China. Akhir pekan lalu, indeks PMI manufaktur periode Juni versi China Federation of Logistics and Purchasing diumumkan 51,5. Lebih rendah dari konsensus yang dihimpun oleh Reuters yaitu 51,6.
Kemudian kemarin, data yang sama versi Markit diumumkan sebesar di level 51. Lagi-lagi lebih rendah dari konsensus yang sebesar 51,1.
Sebagai catatan, angka di atas 50 menandakan adanya ekspansi sektor manufaktur dibandingkan periode sebelumnya. Namun, angka yang lebih rendah dari konsensus menunjukkan bahwa ekspansinya tak sekencang yang diharapkan pelaku pasar.
Bagi perekonomian seperti China yang sangat mengandalkan sektor manufaktur, lambatnya ekspansi di sektor ini tentu mengancam laju perekonomian yang juga tengah diterpa sentimen negatif dari aktivitas pemerintahnya dalam mengurangi tumpukan utang sektor swasta yang menggunung. Terlebih, risiko perang dagang juga terus mengintai, bahkan sudah meluas menjadi perang investasi.
Dua sentimen ini menyebabkan bursa saham Asia pun ditutup minus, bahkan cukup dalam. Indeks Nikkei 225 anjlok 2,21%, Shanghai Composite amblas turun 2,52%, Kospi terpangkas 2,35%, dan Straits Times berkurang 0,91%.
Penguatan dolar AS juga berimbas negatif bagi IHSG. Kemarin, rupiah melemah 0,35% terhadap greenback. Dolar AS memang sedang perkasa dan menguat terhadap berbagai mata uang.
Apresiasi dolar AS disebabkan oleh investor kini kembali melirik rilis data terbaru di Negeri Paman Sam yaitu indeks Personal Consumption Expenditure (PCE). Pada Mei 2018, PCE meningkat 2,3% secara year-on-year (YoY), tertinggi sejak Maret.
Kemudian indeks PCE inti (di luar komponen volatile food dan energi) naik 2% YoY, tertinggi sejak April 2012. Sebagai catatan, indeks PCE inti merupakan alat utama The Federal Reserve/The Fed untuk mengukur inflasi.
PCE inti kini telah menyentuh target The Fed yaitu 2%. Ini merupakan kali pertama PCE inti mencapai target dalam enam tahun terakhir.
Pelaku pasar pun kemudian semakin bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali sepanjang 2018, atau dua kali lagi. Lebih banyak ketimbang perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali. Ini menjadi bahan bakar baru bagi dolar AS untuk kembali menguat. Dengan data terbaru ini, perkiraan tersebut semakin terkonfirmasi.
Depresiasi rupiah membuat berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi kurang menguntungkan, karena nilainya turun. Oleh karena itu, investor asing pun memilih untuk melepas saham-saham di Bursa Efek Indonesia. Kemarin, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 130,44 miliar.
Sebenarnya IHSG sempat tertolong oleh rilis data inflasi periode Juni 2018. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi bulanan (month-to-month/MtM) sebesar 0,59%, sementara inflasi tahunan (year-on-year/YoY) sebesar 3,12%. Inflasi tersebut lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia (0,51% MtM/2,97% YoY).
Kuatnya data inflasi mengonfirmasi persepsi yang sempat timbul bahwa konsumsi masyarakat Indonesia sudah membaik. Sebelumnya, persepsi ini timbul seiring kencangnya impor barang konsumsi pada Mei.
Saham barang-barang konsumsi pun menjadi incaran investor. Sektor barang konsumsi menguat 0,24%, menjadikannya satu-satunya sektor yang bisa menguat pada perdagangan kemarin. Saham-saham sektor barang konsumsi yang diburu investor di antaranya HMSP (+2,23%), GGRM (+2,6%), KLBF (+2,46%), SIDO (+2,56%), dan ICBP (+0,28%).
Namun apa mau dikata. Derasnya tekanan dari sisi eksternal membuat IHSG tak bisa mengakhiri hari di zona hijau.
Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,91%. Perdagangan berlangsung kurang semarak dengan nilai transaksi Rp 6,9 triliun dan volume 73 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 369.099 kali.
Faktor eksternal menjadi penyebab utama koreksi IHSG. Uni Eropa mengancam akan menerapkan bea masuk baru bagi sejumlah produk asal Amerika Serikat (AS) senilai US$ 294 miliar, jika Negeri Paman Sam bersikeras menaikkan bea masuk bagi mobil-mobil asal Benua Biru. Sebagai catatan, bea masuk yang menyasar produk senilai hampir US$ 300 miliar tersebut merupakan yang terbesar yang pernah diumumkan oleh negara mana pun sejak perang dagang mulai berkecamuk pada Maret 2018.
Hal ini lantas memperparah kekhawatiran investor menjelang berlakunya kebijakan bea masuk AS bagi sejumlah produk China senilai US$ 34 miliar, yakni pada 6 Juli 2018. Negeri Panda pun sudah menyiapkan rencana pembalasan dengan bea masuk pada produk-produk AS dengan nilai yang sama.
Selain itu, sentimen negatif dari sisi eksternal juga datang dari rilis data ekonomi China. Akhir pekan lalu, indeks PMI manufaktur periode Juni versi China Federation of Logistics and Purchasing diumumkan 51,5. Lebih rendah dari konsensus yang dihimpun oleh Reuters yaitu 51,6.
Kemudian kemarin, data yang sama versi Markit diumumkan sebesar di level 51. Lagi-lagi lebih rendah dari konsensus yang sebesar 51,1.
Sebagai catatan, angka di atas 50 menandakan adanya ekspansi sektor manufaktur dibandingkan periode sebelumnya. Namun, angka yang lebih rendah dari konsensus menunjukkan bahwa ekspansinya tak sekencang yang diharapkan pelaku pasar.
Bagi perekonomian seperti China yang sangat mengandalkan sektor manufaktur, lambatnya ekspansi di sektor ini tentu mengancam laju perekonomian yang juga tengah diterpa sentimen negatif dari aktivitas pemerintahnya dalam mengurangi tumpukan utang sektor swasta yang menggunung. Terlebih, risiko perang dagang juga terus mengintai, bahkan sudah meluas menjadi perang investasi.
Dua sentimen ini menyebabkan bursa saham Asia pun ditutup minus, bahkan cukup dalam. Indeks Nikkei 225 anjlok 2,21%, Shanghai Composite amblas turun 2,52%, Kospi terpangkas 2,35%, dan Straits Times berkurang 0,91%.
Penguatan dolar AS juga berimbas negatif bagi IHSG. Kemarin, rupiah melemah 0,35% terhadap greenback. Dolar AS memang sedang perkasa dan menguat terhadap berbagai mata uang.
Apresiasi dolar AS disebabkan oleh investor kini kembali melirik rilis data terbaru di Negeri Paman Sam yaitu indeks Personal Consumption Expenditure (PCE). Pada Mei 2018, PCE meningkat 2,3% secara year-on-year (YoY), tertinggi sejak Maret.
Kemudian indeks PCE inti (di luar komponen volatile food dan energi) naik 2% YoY, tertinggi sejak April 2012. Sebagai catatan, indeks PCE inti merupakan alat utama The Federal Reserve/The Fed untuk mengukur inflasi.
PCE inti kini telah menyentuh target The Fed yaitu 2%. Ini merupakan kali pertama PCE inti mencapai target dalam enam tahun terakhir.
Pelaku pasar pun kemudian semakin bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali sepanjang 2018, atau dua kali lagi. Lebih banyak ketimbang perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali. Ini menjadi bahan bakar baru bagi dolar AS untuk kembali menguat. Dengan data terbaru ini, perkiraan tersebut semakin terkonfirmasi.
Depresiasi rupiah membuat berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi kurang menguntungkan, karena nilainya turun. Oleh karena itu, investor asing pun memilih untuk melepas saham-saham di Bursa Efek Indonesia. Kemarin, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 130,44 miliar.
Sebenarnya IHSG sempat tertolong oleh rilis data inflasi periode Juni 2018. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi bulanan (month-to-month/MtM) sebesar 0,59%, sementara inflasi tahunan (year-on-year/YoY) sebesar 3,12%. Inflasi tersebut lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia (0,51% MtM/2,97% YoY).
Kuatnya data inflasi mengonfirmasi persepsi yang sempat timbul bahwa konsumsi masyarakat Indonesia sudah membaik. Sebelumnya, persepsi ini timbul seiring kencangnya impor barang konsumsi pada Mei.
Saham barang-barang konsumsi pun menjadi incaran investor. Sektor barang konsumsi menguat 0,24%, menjadikannya satu-satunya sektor yang bisa menguat pada perdagangan kemarin. Saham-saham sektor barang konsumsi yang diburu investor di antaranya HMSP (+2,23%), GGRM (+2,6%), KLBF (+2,46%), SIDO (+2,56%), dan ICBP (+0,28%).
Namun apa mau dikata. Derasnya tekanan dari sisi eksternal membuat IHSG tak bisa mengakhiri hari di zona hijau.
Next Page
Saham Apple dkk Angkat Wall Street
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular