Newsletter

Risk Appetite Masih Tinggi, Bisakah IHSG Naik Lagi?

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
05 June 2018 05:31
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Berikut Ini
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu adalah penguatan Wall Street, yang bisa menjadi sentimen positif. Diharapkan performa Wall Street yang solid bisa menular ke bursa saham Benua Kuning, termasuk Indonesia. 

Namun, masih ada sejumlah risiko yang menghantui IHSG terutama yang berasal dari eksternal. Pertama adalah perkembangan di Eropa.  

Italia memang sudah memiliki pemerintahan baru sehingga kemungkinan pemilu ulang bisa terhindarkan. Namun pemerintahan ini berhaluan sayap kanan (ultra nasionalis) yang ingin menerapkan kebijakan populis seperti pemotongan tarif pajak dan kenaikan belanja subsidi. Pemerintahan ini juga agak berseberangan dengan Uni Eropa sehingga bisa saja nantinya Roma bercerai dari Brussels. 

Situasi di Spanyol juga patut mendapat perhatian. Seperti di Italia, Negeri Matador juga punya Perdana Menteri baru yaitu Pedro Sanchez menggantikan Mariano Rajoy yang mendapatkan mosi tidak percaya dari parlemen.  

Namun faksi pendukung Sanchez adalah minoritas di parlemen, sehingga kebijakannya mungkin tidak akan berjalan mulus. Selain itu, Sanchez juga masih dipusingkan dengan friksi dalam negeri seperti upaya Catalunya untuk memerdekakan diri.

Untuk saat ini, Eropa mungkin agak tenang. Namun Benua Biru masih menyimpan bara dalam sekam, situasi bisa memanas sewaktu-waktu dan menimbulkan kegugupan di pasar keuangan dunia.  

Kedua adalah perkembangan perang dagang. Keputusan AS yang menerapkan bea masuk untuk impor baja dan aluminium dari ketiga kawasan itu memantik aksi balas dendam.

Kanada memutuskan untuk balik mengenakan bea masuk bagi produk-produk AS seperti whiski, jus jeruk, baja, aluminium, dan sebagainya. Sementara Meksiko juga menerapkan bea masuk untuk daging babi, apel, anggur, keju, dan sebagainya yang berasal dari sang tetangga. 

"AS bisa dibilang sendirian melawan dunia, bahkan melawan sekutu mereka sendiri," tegas Bruno La Maire, Menteri Keuangan Prancis, seperti dikutip dari Reuters. 

Tidak hanya dengan para sekutunya, perselisihan dagang dengan China pun belum sepenuhnya selesai. Padahal kedua negara baru saja melakukan negosiasi dagang di Beijing, akhir pekan lalu. 

China mengecam tindakan AS yang masih menebar ancaman dengan menerapkan bea masuk bagi produk-produk impor. Bahkan jika AS terus melakukan hal itu, maka China mengancam kesepakatan yang terjadi bulan lalu bisa batal. Kesepakatan yang dimaksud China berkomitmen untuk menurunkan surplus perdagangan mereka dengan AS dan lebih banyak membeli produk-produk Negeri Paman Sam, terutama dari sektor pertanian dan energi. 

"Kesepakatan AS-China bisa terwujud dengan upaya kedua belah pihak. Jika AS terus mengenakan sanksi dagang, termasuk dengan menaikkan bea masuk, maka kesepakatan yang sudah dicapai bisa batal," tegas pernyataan di media pemerintah China, Xinhua. 

Perkembangan perang dagang AS vs dunia bisa menjadi sentimen negatif di pasar keuangan. Jika terus berlanjut, maka akan berdampak terhadap melemahnya perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global. Ini tentu bukan kabar gembira bagi pelaku pasar. 

Perang dagang menimbulkan risiko ketiga yang perlu diwaspadai, yaitu tekanan inflasi karena harga barang bisa naik akibat pengenaan bea masuk. Munculnya ekspektasi inflasi tergambar dari kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. 

Yield untuk tenor 10 tahun saat ini naik dari 2,895% menjadi 2,9442%. Yield kembali mengintip level 3%. 

Kenaikan yield obligasi AS bisa memicu perpindahan dana menuju Negeri Adidaya, untuk mendapatkan keuntungan yang lebih baik. Ketika ini terjadi, maka pasar negara berkembang (termasuk Indonesia) bisa ditinggalkan. Pembalikan modal ini tentu berdampak negatif bagi IHSG maupun rupiah. 

Risiko keempat adalah harga minyak, yang saat ini turun lebih dari 1%. Penurunan ini menyusul perkiraan bahwa Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) akan menaikkan produksi di karena kekhawatiran kekurangan pasokan dari Iran dan Venezuela. OPEC akan melakukan pertemuan di Wina pada 22 Juni, dan kemungkinan akan membahas kenaikan produksi ini. 

Penurunan harga minyak biasanya mendapat respons buruk dan menghambat penguatan IHSG. Emiten migas dan pertambangan akan kurang mendapat apresiasi kala harga minyak sedang turun. 

Namun sepertinya risk appetite pelaku pasar masih tinggi sehingga kemungkinan risiko-risiko tersebut bisa diabaikan. Ini terlihat dari harga emas yang turun, sementara nilai tukar yen Jepang dan franc Swiss melemah. Belum ada tanda-tanda arus modal menuju ke pelukan instrumen safe haven sehingga artinya investor masih nyaman bermain dengan aset-aset berisiko.

Apakah risk appetite ini bisa membawa IHSG kembali menanjak? Hanya waktu yang dapat memberi jawabnya... (aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular