
Newsletter
Lagu Perang Dagang Kembali Berkumandang
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
03 May 2018 06:01

Untuk perdagangan hari ini, pelemahan Wall Street bisa menjadi alarm bagi IHSG. Biasanya koreksi Wall Street akan menular dan menjangkiti bursa saham Asia, termasuk Indonesia.
Pelaku pasar juga perlu memperhatikan penyataan The Fed. Meski sudah jelas suku bunga ditahan, tetapi biasanya kemudian pasar mencerna kata demi kata yang disampaikan oleh Jerome Powell, Gubernur The Fed, untuk kemudian menginterpretasikannya. Setiap kata bisa saja mengandung makna tertentu bagi pelaku pasar, sehingga dampak dari hasil pertemuan The Fed sepertinya masih akan berlanjut.
Selain itu, investor juga perlu mencermati perkembangan isu perang dagang yang kembali menghangat. Jika bursa saham Asia merespons negatif atas rencana AS melarang perusahaan China untuk berjualan alat telekomunikasi, maka IHSG mungkin perlu siap-siap untuk ikut terkoreksi.
Perkembangan nilai tukar rupiah juga patut diwaspadai oleh pelaku pasar. Sebab, kemungkinan dolar AS masih akan melanjutkan keperkasaannya. Dollar Index, yang mengukur dolar AS dibandingkan enam mata uang utama, menguat sampai 0,29% pagi ini.
Penguatan dolar AS dipicu oleh langkah The Fed yang meski masih menahan suku bunga acuan, tetapi menyebut bahwa inflasi sudah mendekati sasaran. Personal Consumption Expenditure (PCE), yang menjadi indikator The Fed untuk mengukur tingkat inflasi, sudah mencapai target 2%. Untuk core PCE sudah mendekati 2%, tepatnya 1,9%.
Artinya, peluang untuk kenaikan suku bunga acuan pada pertemuan Juni semakin besar, karena ada kebutuhan untuk menjangkar ekspektasi inflasi agar sesuai dengan target. Dalam pertemuan 13 Juni mendatang, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 1,75-2% mencapai 95%, menurut CME Fedderal Funds Futures.
Ketika peluang kenaikan suku bunga acuan masih terbuka lebar, maka ruang apresiasi mata uang pun demikian. Greenback siap kembali menguat dan mengancam mata uang global, termasuk rupiah.
Pelemahan rupiah akan membuat berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi kurang mengutungkan, karena nilainya turun. Oleh karena itu, tekanan jual akan membayangi saat rupiah terdepresiasi.
Investor juga perlu menyimak perkembangan harga minyak, yang saat ini masih variatif cenderung bergerak tipis. Namun ada hal-hal yang bisa mengubah arah harga si emas hitam.
Pertama adalah potensi diberlakukannya kembali sanksi bagi Iran, yang sempat dicabut pada 2015 setelah kesepakatan soal program nuklir dengan AS dan negara-negara barat. Trump nampaknya masih berkeras untuk keluar dari kesepakatan yang dibuat pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama itu. Pemerintahan Trump beberapa kali mempertanyakan keseriusan Teheran untuk mengentikan program pengayaan uranium.
Bila sanksi terhadap Iran kembali dikenakan, maka dalam jangka panjang harga minyak akan naik karena berkurangnya pasokan. Bagaimanapun Iran termasuk negara produsen dan eksportir minyak utama dunia dengan cadangan mencapai 157,2 miliar barel. Produksi minyak di Negeri Persia adalah 3,65 juta barel/hari dan ekspornya mencapai 1,92 juta barel/hari. Potensi itu bisa hilang kala Iran kembali dijatuhi sanksi pengucilan ekonomi.
Namun dalam jangka pendek selagi sanksi belum diterapkan, Iran bisa saja melepas minyaknya besar-besaran karena hal itu akan sulit dilakukan jika sudah ada embargo ekonomi. Ketika minyak Iran membludak di pasar, maka bisa menyeret harga turun karena pasokan yang melimpah.
Namun, harga minyak juga berpotensi turun karena peningkatan cadangan di AS. US Energy Information Administration (EIA) mencatat, cadangan minyak AS sepekan kemarin naik 6,22 juta barel menjadi 435,95 juta barel.
Dari dalam negeri, belum ada data kunci yang diumumkan hari ini. Namun investor bisa memantau kegiatan emiten baik itu penyampaian laporan keuangan maupun RUPS Tahunan. Bila kinerja emiten masih solid dan ada kabar gembira seperti dividen, maka bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. (aji/aji)
Pelaku pasar juga perlu memperhatikan penyataan The Fed. Meski sudah jelas suku bunga ditahan, tetapi biasanya kemudian pasar mencerna kata demi kata yang disampaikan oleh Jerome Powell, Gubernur The Fed, untuk kemudian menginterpretasikannya. Setiap kata bisa saja mengandung makna tertentu bagi pelaku pasar, sehingga dampak dari hasil pertemuan The Fed sepertinya masih akan berlanjut.
Selain itu, investor juga perlu mencermati perkembangan isu perang dagang yang kembali menghangat. Jika bursa saham Asia merespons negatif atas rencana AS melarang perusahaan China untuk berjualan alat telekomunikasi, maka IHSG mungkin perlu siap-siap untuk ikut terkoreksi.
Perkembangan nilai tukar rupiah juga patut diwaspadai oleh pelaku pasar. Sebab, kemungkinan dolar AS masih akan melanjutkan keperkasaannya. Dollar Index, yang mengukur dolar AS dibandingkan enam mata uang utama, menguat sampai 0,29% pagi ini.
Penguatan dolar AS dipicu oleh langkah The Fed yang meski masih menahan suku bunga acuan, tetapi menyebut bahwa inflasi sudah mendekati sasaran. Personal Consumption Expenditure (PCE), yang menjadi indikator The Fed untuk mengukur tingkat inflasi, sudah mencapai target 2%. Untuk core PCE sudah mendekati 2%, tepatnya 1,9%.
Artinya, peluang untuk kenaikan suku bunga acuan pada pertemuan Juni semakin besar, karena ada kebutuhan untuk menjangkar ekspektasi inflasi agar sesuai dengan target. Dalam pertemuan 13 Juni mendatang, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 1,75-2% mencapai 95%, menurut CME Fedderal Funds Futures.
Ketika peluang kenaikan suku bunga acuan masih terbuka lebar, maka ruang apresiasi mata uang pun demikian. Greenback siap kembali menguat dan mengancam mata uang global, termasuk rupiah.
Pelemahan rupiah akan membuat berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi kurang mengutungkan, karena nilainya turun. Oleh karena itu, tekanan jual akan membayangi saat rupiah terdepresiasi.
Investor juga perlu menyimak perkembangan harga minyak, yang saat ini masih variatif cenderung bergerak tipis. Namun ada hal-hal yang bisa mengubah arah harga si emas hitam.
Pertama adalah potensi diberlakukannya kembali sanksi bagi Iran, yang sempat dicabut pada 2015 setelah kesepakatan soal program nuklir dengan AS dan negara-negara barat. Trump nampaknya masih berkeras untuk keluar dari kesepakatan yang dibuat pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama itu. Pemerintahan Trump beberapa kali mempertanyakan keseriusan Teheran untuk mengentikan program pengayaan uranium.
Bila sanksi terhadap Iran kembali dikenakan, maka dalam jangka panjang harga minyak akan naik karena berkurangnya pasokan. Bagaimanapun Iran termasuk negara produsen dan eksportir minyak utama dunia dengan cadangan mencapai 157,2 miliar barel. Produksi minyak di Negeri Persia adalah 3,65 juta barel/hari dan ekspornya mencapai 1,92 juta barel/hari. Potensi itu bisa hilang kala Iran kembali dijatuhi sanksi pengucilan ekonomi.
Namun dalam jangka pendek selagi sanksi belum diterapkan, Iran bisa saja melepas minyaknya besar-besaran karena hal itu akan sulit dilakukan jika sudah ada embargo ekonomi. Ketika minyak Iran membludak di pasar, maka bisa menyeret harga turun karena pasokan yang melimpah.
Namun, harga minyak juga berpotensi turun karena peningkatan cadangan di AS. US Energy Information Administration (EIA) mencatat, cadangan minyak AS sepekan kemarin naik 6,22 juta barel menjadi 435,95 juta barel.
Dari dalam negeri, belum ada data kunci yang diumumkan hari ini. Namun investor bisa memantau kegiatan emiten baik itu penyampaian laporan keuangan maupun RUPS Tahunan. Bila kinerja emiten masih solid dan ada kabar gembira seperti dividen, maka bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. (aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular