
Newsletter
Suka Tidak Suka, Trump Masih Jadi Market Mover Dunia
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
23 April 2018 06:28

Dari pasar komoditas, harga minyak cenderung dalam posisi stabil meski ada ancaman dari Trump. Mantan taipan properti itu tiba-tiba melemparkan kritikan pada Organisasi Negara-negara Penghasil Minyak (OPEC) atas tindakan pengurangan produksi minyak yang membuat harga minyak dunia melonjak tajam.
"Sepertinya OPEC melakukannya lagi. Dengan jumlah produksi minyak yang mencapai rekor di mana-mana, termasuk kapal-kapal penuh minyak di lautan, harga minyak yang sangat tinggi saat ini dibuat-buat! Tidak bagus dan tidak akan bisa diterima," tulis Trump di akun media sosial, Twitter-nya.
Menyusul cuitan Trump tersebut, harga minyak dunia langsung anjlok hingga 1%, di mana pelaku pasar menangkap bahwa hal itu menjadi indikasi bahwa Trump mampu melakukan intervensi pada kebijakan minyak dunia.
Namun, ternyata jatuhnya harga sang emas hitam tak berlangsung lama. Harga brent dan light sweet sama-sama mampu menguat di akhir sesi, dan akhirnya menutup perdagangan akhir pekan dengan tumbuh tipis di kisaran 0,3%.
Sentimen yang datang dari Arab Saudi masih lebih kuat dibanding aksi Trump. Seperti diketahui, Saudi berekspektasi kenaikan harga minyak hingga di atas US$80/barel untuk mendukung pencatatan perdana raksasa perminyakan Saudi Aramco di pasar saham. Hal itu menjadi indikasi bahwa Negeri Padang Pasir, sebagai pemimpin OPEC, akan mengarahkan kebijakan pemangkasan produksi lebih ketat, meskipun saat ini stok minyak di negara-negara maju mulai terbatas.
Terlebih, kemarin Menteri Energi Arab Saudi Khalid-Al Falih menyatakan tidak terlena pada kenaikan harga minyak beberapa waktu terakhir, dan menyangkal bahwa OPEC sudah mencapai misinya. Hal ini semakin memperkuat masih akan berlanjutnya ikhtiar OPEC untuk mengetatkan produksi hingga akhir 2018.
"Kita harus bersabar. Kita tidak seharusnya bertindak terburu-buru, kita tidak boleh berpuas diri dan mendengarkan suara bahwa misi sudah tercapai,"tegas Al Falih pada CNBC International.
Harga minyak yang stabil menguat dapat menjadi energi positif bagi emiten-emiten dalam negeri, khususnya di sektor pertambangan. Namun, perlu dicatat bahwa bukan berarti risiko pelemahan harga minyak tidak menghantui.
Meski intervensi Trump terhadap kebijakan minyak dunia dinilai cenderung minim oleh para analis, tapi faktanya AS memang punya cadangan minyak melimpah yang bisa dipakai untuk mengguyur pasar kapan saja. Hanya perlu kebijakan frontal dari pemimpin impulsif seperti Trump untuk mengubah keadaan itu.
Sebagai catatan, produksi minyak mentah negeri Paman Sam saat ini kembali mencatatkan rekor di angka 10,54 juta bph. Padahal, di akhir tahun 2017, produksi minyak AS masih di bawah angka 10 juta bph.
Bahkan, dari perkembangan terbaru, Baker Hughes melaporkan bahwa kilang minyak aktif AS bertambah sebanyak 5 unit pekan lalu menjadi 820 unit, naik drastis dibandingkan 688 unit di periode yang sama tahun lalu.
Selain itu, secara geopolitik, hubungan Saudi dan AS sebenarnya cukup dekat. Peluang Arab Saudi untuk melonggarkan skema pengetatan produksi minyaknya masih terbuka lebar, untuk menjaga hubungan baik dengan Negeri Paman Sam.
OPEC akan mengadakan pertemuan pada akhir Juni, untuk menentukan langkah selanjutnya dari kesepakatan pemangkasan produksi minyak, berdasarkan kondisi pasar global. (ags/ags)
"Sepertinya OPEC melakukannya lagi. Dengan jumlah produksi minyak yang mencapai rekor di mana-mana, termasuk kapal-kapal penuh minyak di lautan, harga minyak yang sangat tinggi saat ini dibuat-buat! Tidak bagus dan tidak akan bisa diterima," tulis Trump di akun media sosial, Twitter-nya.
Menyusul cuitan Trump tersebut, harga minyak dunia langsung anjlok hingga 1%, di mana pelaku pasar menangkap bahwa hal itu menjadi indikasi bahwa Trump mampu melakukan intervensi pada kebijakan minyak dunia.
Namun, ternyata jatuhnya harga sang emas hitam tak berlangsung lama. Harga brent dan light sweet sama-sama mampu menguat di akhir sesi, dan akhirnya menutup perdagangan akhir pekan dengan tumbuh tipis di kisaran 0,3%.
Sentimen yang datang dari Arab Saudi masih lebih kuat dibanding aksi Trump. Seperti diketahui, Saudi berekspektasi kenaikan harga minyak hingga di atas US$80/barel untuk mendukung pencatatan perdana raksasa perminyakan Saudi Aramco di pasar saham. Hal itu menjadi indikasi bahwa Negeri Padang Pasir, sebagai pemimpin OPEC, akan mengarahkan kebijakan pemangkasan produksi lebih ketat, meskipun saat ini stok minyak di negara-negara maju mulai terbatas.
Terlebih, kemarin Menteri Energi Arab Saudi Khalid-Al Falih menyatakan tidak terlena pada kenaikan harga minyak beberapa waktu terakhir, dan menyangkal bahwa OPEC sudah mencapai misinya. Hal ini semakin memperkuat masih akan berlanjutnya ikhtiar OPEC untuk mengetatkan produksi hingga akhir 2018.
"Kita harus bersabar. Kita tidak seharusnya bertindak terburu-buru, kita tidak boleh berpuas diri dan mendengarkan suara bahwa misi sudah tercapai,"tegas Al Falih pada CNBC International.
Harga minyak yang stabil menguat dapat menjadi energi positif bagi emiten-emiten dalam negeri, khususnya di sektor pertambangan. Namun, perlu dicatat bahwa bukan berarti risiko pelemahan harga minyak tidak menghantui.
Meski intervensi Trump terhadap kebijakan minyak dunia dinilai cenderung minim oleh para analis, tapi faktanya AS memang punya cadangan minyak melimpah yang bisa dipakai untuk mengguyur pasar kapan saja. Hanya perlu kebijakan frontal dari pemimpin impulsif seperti Trump untuk mengubah keadaan itu.
Sebagai catatan, produksi minyak mentah negeri Paman Sam saat ini kembali mencatatkan rekor di angka 10,54 juta bph. Padahal, di akhir tahun 2017, produksi minyak AS masih di bawah angka 10 juta bph.
Bahkan, dari perkembangan terbaru, Baker Hughes melaporkan bahwa kilang minyak aktif AS bertambah sebanyak 5 unit pekan lalu menjadi 820 unit, naik drastis dibandingkan 688 unit di periode yang sama tahun lalu.
Selain itu, secara geopolitik, hubungan Saudi dan AS sebenarnya cukup dekat. Peluang Arab Saudi untuk melonggarkan skema pengetatan produksi minyaknya masih terbuka lebar, untuk menjaga hubungan baik dengan Negeri Paman Sam.
OPEC akan mengadakan pertemuan pada akhir Juni, untuk menentukan langkah selanjutnya dari kesepakatan pemangkasan produksi minyak, berdasarkan kondisi pasar global. (ags/ags)
Next Page
Agenda-Agenda yang Perlu Diantisipasi
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular