
Newsletter
Sejenak Mencermati Arah Kebijakan Moneter
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
19 April 2018 07:24

Hari ini, pelaku pasar perlu mencermati kebijakan Bank Indonesia (BI) berupa suku bunga acuan, pasca melakukan Rapat Dewan Gubernur (RDG) selama 2 hari terakhir. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menyebutkan kemungkinan besar BI masih akan menahan suku bunga acuan 7 days reverse repo rate di 4,25%.
Permintaan domestik yang masih terbatas diyakini membuat BI masih bertahan dengan stance netral dalam kebijakan moneter. Eugenia Victorino Fabon, Ekonom ANZ, menilai sebenarnya permintaan domestik sudah mulai tumbuh. Ini terlihat dari impor yang tumbuh kencang, yang merupakan pertanda investasi akan tumbuh karena impor didominasi bahan baku dan barang modal.
Namun, lanjut Fabon, di sisi lain pertumbuhan permintaan masih relatif terbatas. Sinyal ini datang dari laju inflasi 2018 yang masih lambat, utamanya inflasi inti yang di bawah 3%. "Dengan perkembangan ini, BI punya ruang untuk mempertahankan stance netral. Suku bunga acuan pun kami perkirakan tetap sampai akhir 2018," sebutnya.
Sikap BI yang mempertahankan suku bunga acuan bisa diartikan positif maupun negatif. Positifnya adalah pasar bisa diyakinkan bahwa tidak akan terjadi lonjakan inflasi. Ekspektasi inflasi akan terjangkar sesuai target 2,5-4,5%.
Namun negatifnya, saat ini sedang terjadi tren pengetatan moneter global. Teranyar, Otoritas Moneter Singapura (MAS) melakukan pengetatan moneter pertama dalam enam tahun terakhir.
Perbedaan ini bisa membuat negara lain menjadi lebih menarik ketimbang Indonesia. Akibatnya adalah aliran modal keluar (capital outflows) untuk mencari keuntungan yang lebih besar. Nilai tukar rupiah bisa tertekan, dan BI terpaksa menggunakan cadangan devisa sebagai amunisi untuk stabilisasi kurs. Cadangan devisa akan terus berkurang.
Dari luar negeri, langkah People's Bank of China (PBoC) selaku bank sentral China yang secara mengejutkan melonggarkan kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) perlu dicermati. Tingkat GWM diturunkan sebanyak 100 basis poin (bp) dan mulai efektif per 25 April 2018.
Pelonggaran GWM ini diharapkan akan membantu perbankan memiliki sumber likuiditas lebih banyak untuk disalurkan dalam bentuk kredit kepada masyarakat, mengingat saat ini China menggenjot konsumsi rumah tangga untuk mendongkrak perekonomiannya.
Namun, kebijakan ini justru bertentangan dengan kenaikan suku bunga acuan sebesar 5 bp yang diambil pada bulan lalu. Investor kini dibuat bingung dengan kedua kebijakan yang berlawanan arah tersebut.
Dari AS, Federal Reserve dalam Beige Book terbarunya menyebutkan bahwa outlook perekonomian AS masih akan positif ke depannya, meski perlu antisipasi terhadap kenaikan harga baja menyusul kebijakan tarif yang baru diberlakukan baru-baru ini. (ags/ags)
Permintaan domestik yang masih terbatas diyakini membuat BI masih bertahan dengan stance netral dalam kebijakan moneter. Eugenia Victorino Fabon, Ekonom ANZ, menilai sebenarnya permintaan domestik sudah mulai tumbuh. Ini terlihat dari impor yang tumbuh kencang, yang merupakan pertanda investasi akan tumbuh karena impor didominasi bahan baku dan barang modal.
Namun, lanjut Fabon, di sisi lain pertumbuhan permintaan masih relatif terbatas. Sinyal ini datang dari laju inflasi 2018 yang masih lambat, utamanya inflasi inti yang di bawah 3%. "Dengan perkembangan ini, BI punya ruang untuk mempertahankan stance netral. Suku bunga acuan pun kami perkirakan tetap sampai akhir 2018," sebutnya.
Sikap BI yang mempertahankan suku bunga acuan bisa diartikan positif maupun negatif. Positifnya adalah pasar bisa diyakinkan bahwa tidak akan terjadi lonjakan inflasi. Ekspektasi inflasi akan terjangkar sesuai target 2,5-4,5%.
Namun negatifnya, saat ini sedang terjadi tren pengetatan moneter global. Teranyar, Otoritas Moneter Singapura (MAS) melakukan pengetatan moneter pertama dalam enam tahun terakhir.
Perbedaan ini bisa membuat negara lain menjadi lebih menarik ketimbang Indonesia. Akibatnya adalah aliran modal keluar (capital outflows) untuk mencari keuntungan yang lebih besar. Nilai tukar rupiah bisa tertekan, dan BI terpaksa menggunakan cadangan devisa sebagai amunisi untuk stabilisasi kurs. Cadangan devisa akan terus berkurang.
Dari luar negeri, langkah People's Bank of China (PBoC) selaku bank sentral China yang secara mengejutkan melonggarkan kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) perlu dicermati. Tingkat GWM diturunkan sebanyak 100 basis poin (bp) dan mulai efektif per 25 April 2018.
Pelonggaran GWM ini diharapkan akan membantu perbankan memiliki sumber likuiditas lebih banyak untuk disalurkan dalam bentuk kredit kepada masyarakat, mengingat saat ini China menggenjot konsumsi rumah tangga untuk mendongkrak perekonomiannya.
Namun, kebijakan ini justru bertentangan dengan kenaikan suku bunga acuan sebesar 5 bp yang diambil pada bulan lalu. Investor kini dibuat bingung dengan kedua kebijakan yang berlawanan arah tersebut.
Dari AS, Federal Reserve dalam Beige Book terbarunya menyebutkan bahwa outlook perekonomian AS masih akan positif ke depannya, meski perlu antisipasi terhadap kenaikan harga baja menyusul kebijakan tarif yang baru diberlakukan baru-baru ini. (ags/ags)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular