
Newsletter
Perang Dagang Mereda, Tapi Tetap Harus Waspada
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
06 April 2018 06:22

Untuk perdagangan hari ini, penguatan Wall Street bisa menjadi energi positif bagi bursa saham Asia termasuk Indonesia. Biasanya kenaikan maupun koreksi Wall Street akan mewarnai perjalanan bursa saham Benua Kuning.
Selain itu, harga minyak masih dapat berpotensi menjadi bahan bakar penguatan IHSG. Terbukanya pintu negosiasi Washington-Beijing untuk menghindari perang dagang membuat harga si emas hitam bisa melanjutkan penguatan.
Penurunan cadangan minyak AS sebesar 4,6 juta barel juga menjadi dorongan kenaikan harga minyak. Pasokan minyak juga kemungkinan masih ketat kala survei Reuters menunjukkan produksi OPEC pada Maret turun hingga ke titik terendah dalam 11 bulan terakhir. Ini disebabkan penurunan ekspor Angola, terganggunya produksi di Libya, dan penurunan produksi yang lebih parah di Venezuela.
Dari dalam negeri, beberapa emiten akan menggelar RUPS Tahunan pada hari ini yaitu SPDC, BNII, dan WSKT. Bila ada kabar baik dari sana, misalnya kenaikan dividen, maka bisa menjadi tambahan tenaga bagi IHSG.
Namun, sentimen negatif bagi IHSG bisa datang dari rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang kurang memuaskan. Bank Indonesia (BI) melaporkan IKK periode Maret 2018 di angka 121,6, atau melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 122,5. Meski angka di atas 100 masih menunjukkan optimisme konsumen.
Perlambatan IKK didorong oleh responden yang cenderung pesimistis terhadap ketersediaan lapangan kerja. Selain itu, BI mencatat bahwa sejalan dengan penurunan keyakinan konsumen, responden cenderung menahan pengeluaran dan menambah simpanan.
Hal ini terindikasikan dari stabilnya rata-rata rasio konsumsi terhadap pendapatan yang di angka 63,9%, dan penurunan rasio cicilan terhadap pendapatan menjadi 13,7% (vs 14,4% pada Februari). Sebaliknya, rata-rata rasio simpanan konsumen terhadap pendapatan meningkat menjadi 22,4% dari capaian bulan sebelumnya sebesar 21,7%.
Perkembangan nilai tukar dolar AS juga patut diwaspadai. Greenback cenderung menguat terhadap mata uang dunia seiring semakin meredanya isu perang dagang. Tanpa perang dagang, maka ekspor AS akan lancar dan pasokan devisa pun terus mengalir sehingga menjadi fondasi penguatan dolar AS.
Apresiasi dolar AS bisa berujung pada depresiasi rupiah. Pelemahan rupiah akan membuat investasi dalam mata uang ini menjadi kurang menarik, dan bisa berakibat pada aksi jual (terutama oleh investor asing).
Selain itu, sentimen negatif bisa datang dari perkembangan imbal hasil (yield) obligasi negara AS. Kemarin, yield instrumen tersebut naik ke 2,83% dari hari sebelumnya 2,79%.
Bila yield obligasi AS masih naik, maka instrumen ini menjadi menarik hati investor dan bisa memicu perpindahan dana ke Negeri Paman Sam. Apalagi yield obligasi pemerintah Indonesia masih dalam tren turun sehingga selisih (spread) antara dua instrumen ini semakin menyempit.
Masih dari AS, meski sentimen perang dagang mereda tetapi belum benar-benar hilang. Rilis data terbaru menunjukkan defisit perdagangan AS pada Februari mencapai US$ 57,6 miliar, tertinggi dalam 9,5 tahun terakhir.
Melebarnya defisit perdagangan AS bisa memunculkan kembali semangat proteksionisme di sana. Ditambah lagi defisit perdagangan AS dengan China naik 20,2% sepanjang tahun ini, yang bisa mengobarkan kembali semangat perang dagang.
Isu perang dagang masih perlu dicermati karena perkembangannya begitu dinamis... (aji/aji)
Selain itu, harga minyak masih dapat berpotensi menjadi bahan bakar penguatan IHSG. Terbukanya pintu negosiasi Washington-Beijing untuk menghindari perang dagang membuat harga si emas hitam bisa melanjutkan penguatan.
Penurunan cadangan minyak AS sebesar 4,6 juta barel juga menjadi dorongan kenaikan harga minyak. Pasokan minyak juga kemungkinan masih ketat kala survei Reuters menunjukkan produksi OPEC pada Maret turun hingga ke titik terendah dalam 11 bulan terakhir. Ini disebabkan penurunan ekspor Angola, terganggunya produksi di Libya, dan penurunan produksi yang lebih parah di Venezuela.
Dari dalam negeri, beberapa emiten akan menggelar RUPS Tahunan pada hari ini yaitu SPDC, BNII, dan WSKT. Bila ada kabar baik dari sana, misalnya kenaikan dividen, maka bisa menjadi tambahan tenaga bagi IHSG.
Namun, sentimen negatif bagi IHSG bisa datang dari rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang kurang memuaskan. Bank Indonesia (BI) melaporkan IKK periode Maret 2018 di angka 121,6, atau melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 122,5. Meski angka di atas 100 masih menunjukkan optimisme konsumen.
Perlambatan IKK didorong oleh responden yang cenderung pesimistis terhadap ketersediaan lapangan kerja. Selain itu, BI mencatat bahwa sejalan dengan penurunan keyakinan konsumen, responden cenderung menahan pengeluaran dan menambah simpanan.
Hal ini terindikasikan dari stabilnya rata-rata rasio konsumsi terhadap pendapatan yang di angka 63,9%, dan penurunan rasio cicilan terhadap pendapatan menjadi 13,7% (vs 14,4% pada Februari). Sebaliknya, rata-rata rasio simpanan konsumen terhadap pendapatan meningkat menjadi 22,4% dari capaian bulan sebelumnya sebesar 21,7%.
Perkembangan nilai tukar dolar AS juga patut diwaspadai. Greenback cenderung menguat terhadap mata uang dunia seiring semakin meredanya isu perang dagang. Tanpa perang dagang, maka ekspor AS akan lancar dan pasokan devisa pun terus mengalir sehingga menjadi fondasi penguatan dolar AS.
Apresiasi dolar AS bisa berujung pada depresiasi rupiah. Pelemahan rupiah akan membuat investasi dalam mata uang ini menjadi kurang menarik, dan bisa berakibat pada aksi jual (terutama oleh investor asing).
Selain itu, sentimen negatif bisa datang dari perkembangan imbal hasil (yield) obligasi negara AS. Kemarin, yield instrumen tersebut naik ke 2,83% dari hari sebelumnya 2,79%.
Bila yield obligasi AS masih naik, maka instrumen ini menjadi menarik hati investor dan bisa memicu perpindahan dana ke Negeri Paman Sam. Apalagi yield obligasi pemerintah Indonesia masih dalam tren turun sehingga selisih (spread) antara dua instrumen ini semakin menyempit.
Masih dari AS, meski sentimen perang dagang mereda tetapi belum benar-benar hilang. Rilis data terbaru menunjukkan defisit perdagangan AS pada Februari mencapai US$ 57,6 miliar, tertinggi dalam 9,5 tahun terakhir.
Melebarnya defisit perdagangan AS bisa memunculkan kembali semangat proteksionisme di sana. Ditambah lagi defisit perdagangan AS dengan China naik 20,2% sepanjang tahun ini, yang bisa mengobarkan kembali semangat perang dagang.
Isu perang dagang masih perlu dicermati karena perkembangannya begitu dinamis... (aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular