
Newsletter
Cermati Peringatan S&P
Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
14 March 2018 06:05

Untuk perdagangan hari ini, perkembangan di Wall Street bisa menjadi sentimen negatif bagi IHSG. Koreksi Wall Street bisa menular ke Asia, termasuk Indonesia.
Kabar bahwa AS akan memberlakukan bea masuk baru bagi produk-produk China juga bisa menjadi kabar kurang sedap bagi pasar keuangan Asia. Meski targetnya adalah produk-produk made in China, tetapi bahan baku pembuatan produk tersebut bisa berasal dari banyak negara, termasuk Indonesia.
Sentimen negatif lain adalah pernyataan Analis Standard and Poor's (S&P) Global Ratings, Xavier Jean, bahwa Indonesia perlu mewaspadai pelemahan nilai tukar rupiah yang bisa mengarah ke Rp 15.000/US$. Level tersebut adalah ambang psikologis yang jika tertembus maka akan menyulitkan dunia usaha untuk menjalankan aktivitasnya.
Jean juga menyebutkan kekhawatiran soal neraca Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang infrastruktur. BUMN karya dan energi banyak mengambil utang demi memenuhi target pembangunan yang dicanangkan pemerintah sehingga neraca mereka melemah cukup signifikan.
"Ada tren yang akan terus kami pantau. Kami menilai situasi ini akan terus berjalan sampai Pemilu 2019," ungkap Jean, dikutip dari Reuters.
Peringatan dari S&P tersebut menjadi faktor yang perlu dicermati. S&P merupakan lembaga yang cukup konservatif, sehingga ketika mereka menggaribawahi sesuatu berarti memang ada yang perlu mendapat perhatian.
Sentimen negatif lainnya bisa datang dari harga komoditas. Harga minyak masih mengalami tekanan. Investor khawatir pasokan minyak dari AS yang melimpah, setelah konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan cadangan minyak Negeri Paman Sam pada pekan ke-2 Maret akan bertambah 1,5 juta barel dari posisi 425,9 juta barel pada pekan sebelumnya.
Ambil untung alias profit taking juga masih menjadi risiko yang membayangi IHSG. Meski turun cukup dalam kemarin, IHSG masih surplus 0,9% sejak awal tahun. Masih ada sisa keuntungan yang bisa dicairkan investor.
Sementara faktor yang bisa mengembalikan IHSG ke zona hijau adalah koreksi signifikan yang terjadi kemarin membuat harga aset menjadi lebih murah. Ini bisa menyebabkan aksi borong yang mendukung penguatan IHSG.
Perkembangan dolar AS juga bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Greenback masih dalam mode defensif setelah rilis data inflasi AS yang sesuai ekspektasi pasar. Sepertinya keenaikan suku bunga acuan tidak akan terlalu agresif, yang membuat dolar AS sulit menguat signifikan.
Dolar AS masih melanjutkan pelemahannya, yang terjadi sejak akhir pekan lalu. Momentum ini bisa dimanfaatkan rupiah untuk terapresiasi, dan berpengaruh positif buat IHSG.
Sentimen positif juga berhembus dari pasar obligasi negara. Kemarin, pemerintah melelang enam seri Surat Berharga Negara (SBN) yang hasilnya cukup menggembirakan.
Penawaran yang masuk mencapai Rp 46,47 triliun, lebih tinggi dibandingkan lelang-lelang sebelumnya meski belum menyamai pencapaian awal tahun. Ini bisa menjadi pertanda bahwa risk appetite investor, terutama asing, sudah kembali, walau masih sangat dini. (aji/aji)
Kabar bahwa AS akan memberlakukan bea masuk baru bagi produk-produk China juga bisa menjadi kabar kurang sedap bagi pasar keuangan Asia. Meski targetnya adalah produk-produk made in China, tetapi bahan baku pembuatan produk tersebut bisa berasal dari banyak negara, termasuk Indonesia.
Sentimen negatif lain adalah pernyataan Analis Standard and Poor's (S&P) Global Ratings, Xavier Jean, bahwa Indonesia perlu mewaspadai pelemahan nilai tukar rupiah yang bisa mengarah ke Rp 15.000/US$. Level tersebut adalah ambang psikologis yang jika tertembus maka akan menyulitkan dunia usaha untuk menjalankan aktivitasnya.
Jean juga menyebutkan kekhawatiran soal neraca Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang infrastruktur. BUMN karya dan energi banyak mengambil utang demi memenuhi target pembangunan yang dicanangkan pemerintah sehingga neraca mereka melemah cukup signifikan.
"Ada tren yang akan terus kami pantau. Kami menilai situasi ini akan terus berjalan sampai Pemilu 2019," ungkap Jean, dikutip dari Reuters.
Peringatan dari S&P tersebut menjadi faktor yang perlu dicermati. S&P merupakan lembaga yang cukup konservatif, sehingga ketika mereka menggaribawahi sesuatu berarti memang ada yang perlu mendapat perhatian.
Sentimen negatif lainnya bisa datang dari harga komoditas. Harga minyak masih mengalami tekanan. Investor khawatir pasokan minyak dari AS yang melimpah, setelah konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan cadangan minyak Negeri Paman Sam pada pekan ke-2 Maret akan bertambah 1,5 juta barel dari posisi 425,9 juta barel pada pekan sebelumnya.
Ambil untung alias profit taking juga masih menjadi risiko yang membayangi IHSG. Meski turun cukup dalam kemarin, IHSG masih surplus 0,9% sejak awal tahun. Masih ada sisa keuntungan yang bisa dicairkan investor.
Sementara faktor yang bisa mengembalikan IHSG ke zona hijau adalah koreksi signifikan yang terjadi kemarin membuat harga aset menjadi lebih murah. Ini bisa menyebabkan aksi borong yang mendukung penguatan IHSG.
Perkembangan dolar AS juga bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Greenback masih dalam mode defensif setelah rilis data inflasi AS yang sesuai ekspektasi pasar. Sepertinya keenaikan suku bunga acuan tidak akan terlalu agresif, yang membuat dolar AS sulit menguat signifikan.
Dolar AS masih melanjutkan pelemahannya, yang terjadi sejak akhir pekan lalu. Momentum ini bisa dimanfaatkan rupiah untuk terapresiasi, dan berpengaruh positif buat IHSG.
Sentimen positif juga berhembus dari pasar obligasi negara. Kemarin, pemerintah melelang enam seri Surat Berharga Negara (SBN) yang hasilnya cukup menggembirakan.
Penawaran yang masuk mencapai Rp 46,47 triliun, lebih tinggi dibandingkan lelang-lelang sebelumnya meski belum menyamai pencapaian awal tahun. Ini bisa menjadi pertanda bahwa risk appetite investor, terutama asing, sudah kembali, walau masih sangat dini. (aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular