
Newsletter
Pekan Berat Terlalui, Tantangan Belum Berhenti
Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
05 March 2018 05:33

Pekan lalu memang bukan saat yang indah bagi bursa saham, yang terkena hantaman dari berbagai sisi. Pertama adalah akibat pidato Jerome Powell, Gubernur The Federal Reserve/The Fed, di depan Kongres Amerika Serikat (AS) yang menyatakan bank sentral akan berupaya untuk mencegah ekonomi Negeri Paman Sam dari bahaya pertumbuhan yang terlalu cepat alias overheating.
Kata-kata ini dibaca oleh pasar sebagai pertanda bahwa The Fed akan cukup agresif dalam mengetatkan kebijakan moneter. Kenaikan suku bunga yang tahun ini diperkirakan terjadi tiga kali berpeluang untuk bertambah menjadi empat kali.
Namun tekanan ini sedikit mereda kala dalam pidato keduanya di depan Senat AS, Powell menegaskan bahwa pihaknya belum melihat tanda-tanda kenaikan tingkat gaji secara signifikan. Artinya, laju inflasi pun kemungkinan sedikit tertahan sehingga pasar melihat ini sebagai sinyal The Fed belum akan terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan.
Hal ini membuat Wall Street mampu rebound pada akhir pekan lalu, meski agak vatiatif. DJIA melemah 0,29%, tetapi S&P 500 naik 0,51% dan Nasdaq pun menguat 1,08%. Setidaknya kekhawatiran dari sisi The Fed sepertinya sudah sedikit mereda.
Namun, bursa saham juga terpukul akibat rencana pemerintah AS yang akan mengenakan bea masuk bagi impor baja dan alumunium sebesar masing-masing 25% dan 10%. Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa upaya ini dilakukan untuk melindungi kepentingan Negeri Paman Sam.
"Jika sebuah negara (AS) kehilangan miliaran dolar dari perdagangan dengan negara-negara lain, maka perang dagang itu bagus, dan mudah dimenangkan. Contohnya, saat kami kehilangan US$ 100 miliar terhadap negara tertentu dan mereka senang, jangan berdagang lagi-kita menang besar. Mudah saja!" tegas Trump dalam cuitannya di Twitter akhir pekan lalu.
Kebijakan ini dikhawatirkan dapat memicu perang dagang dalam skala global, karena negara-negara lain mungkin saja akan melakukan "pembalasan". Akibatnya, harga bahan baku baja dan aluminium akan naik dan membebani kinerja banyak perusahaan.
Langkah teranyar Trump pun menuai kritik dari berbagai pihak. Bahkan Dana Moneter Internasional (IMF) juga turut melancarkan kritik dengan menyebut kebijakan AS yang cenderung proteksionis akan berdampak buruk bagi AS sendiri dan negara-negara lain. Apalagi jika negara-negara lain juga melakukan kebijakan serupa dengan dalih yang sama, yaitu melindungi kepentingan industri domestik.
Nampaknya dunia masih mencemaskan potensi perang dagang. Risiko ini kemungkinan masih akan membayangi perekonomian global dalam beberapa waktu ke depan. (aji/aji)
Kata-kata ini dibaca oleh pasar sebagai pertanda bahwa The Fed akan cukup agresif dalam mengetatkan kebijakan moneter. Kenaikan suku bunga yang tahun ini diperkirakan terjadi tiga kali berpeluang untuk bertambah menjadi empat kali.
Namun tekanan ini sedikit mereda kala dalam pidato keduanya di depan Senat AS, Powell menegaskan bahwa pihaknya belum melihat tanda-tanda kenaikan tingkat gaji secara signifikan. Artinya, laju inflasi pun kemungkinan sedikit tertahan sehingga pasar melihat ini sebagai sinyal The Fed belum akan terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan.
Hal ini membuat Wall Street mampu rebound pada akhir pekan lalu, meski agak vatiatif. DJIA melemah 0,29%, tetapi S&P 500 naik 0,51% dan Nasdaq pun menguat 1,08%. Setidaknya kekhawatiran dari sisi The Fed sepertinya sudah sedikit mereda.
Namun, bursa saham juga terpukul akibat rencana pemerintah AS yang akan mengenakan bea masuk bagi impor baja dan alumunium sebesar masing-masing 25% dan 10%. Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa upaya ini dilakukan untuk melindungi kepentingan Negeri Paman Sam.
"Jika sebuah negara (AS) kehilangan miliaran dolar dari perdagangan dengan negara-negara lain, maka perang dagang itu bagus, dan mudah dimenangkan. Contohnya, saat kami kehilangan US$ 100 miliar terhadap negara tertentu dan mereka senang, jangan berdagang lagi-kita menang besar. Mudah saja!" tegas Trump dalam cuitannya di Twitter akhir pekan lalu.
Kebijakan ini dikhawatirkan dapat memicu perang dagang dalam skala global, karena negara-negara lain mungkin saja akan melakukan "pembalasan". Akibatnya, harga bahan baku baja dan aluminium akan naik dan membebani kinerja banyak perusahaan.
Langkah teranyar Trump pun menuai kritik dari berbagai pihak. Bahkan Dana Moneter Internasional (IMF) juga turut melancarkan kritik dengan menyebut kebijakan AS yang cenderung proteksionis akan berdampak buruk bagi AS sendiri dan negara-negara lain. Apalagi jika negara-negara lain juga melakukan kebijakan serupa dengan dalih yang sama, yaitu melindungi kepentingan industri domestik.
Nampaknya dunia masih mencemaskan potensi perang dagang. Risiko ini kemungkinan masih akan membayangi perekonomian global dalam beberapa waktu ke depan. (aji/aji)
Next Page
Cermati Potensi dan Risiko Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular