Pekan lalu memang bukan saat yang indah bagi bursa saham, yang terkena hantaman dari berbagai sisi. Pertama adalah akibat pidato Jerome Powell, Gubernur The Federal Reserve/The Fed, di depan Kongres Amerika Serikat (AS) yang menyatakan bank sentral akan berupaya untuk mencegah ekonomi Negeri Paman Sam dari bahaya pertumbuhan yang terlalu cepat alias
overheating.
Kata-kata ini dibaca oleh pasar sebagai pertanda bahwa The Fed akan cukup agresif dalam mengetatkan kebijakan moneter. Kenaikan suku bunga yang tahun ini diperkirakan terjadi tiga kali berpeluang untuk bertambah menjadi empat kali.
Namun tekanan ini sedikit mereda kala dalam pidato keduanya di depan Senat AS, Powell menegaskan bahwa pihaknya belum melihat tanda-tanda kenaikan tingkat gaji secara signifikan. Artinya, laju inflasi pun kemungkinan sedikit tertahan sehingga pasar melihat ini sebagai sinyal The Fed belum akan terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan.
Hal ini membuat Wall Street mampu
rebound pada akhir pekan lalu, meski agak vatiatif. DJIA melemah 0,29%, tetapi S&P 500 naik 0,51% dan Nasdaq pun menguat 1,08%. Setidaknya kekhawatiran dari sisi The Fed sepertinya sudah sedikit mereda.
Namun, bursa saham juga terpukul akibat rencana pemerintah AS yang akan mengenakan bea masuk bagi impor baja dan alumunium sebesar masing-masing 25% dan 10%. Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa upaya ini dilakukan untuk melindungi kepentingan Negeri Paman Sam.
"Jika sebuah negara (AS) kehilangan miliaran dolar dari perdagangan dengan negara-negara lain, maka perang dagang itu bagus, dan mudah dimenangkan. Contohnya, saat kami kehilangan US$ 100 miliar terhadap negara tertentu dan mereka senang, jangan berdagang lagi-kita menang besar. Mudah saja!" tegas Trump dalam cuitannya di Twitter akhir pekan lalu.
Kebijakan ini dikhawatirkan dapat memicu perang dagang dalam skala global, karena negara-negara lain mungkin saja akan melakukan "pembalasan". Akibatnya, harga bahan baku baja dan aluminium akan naik dan membebani kinerja banyak perusahaan.
Langkah teranyar Trump pun menuai kritik dari berbagai pihak. Bahkan Dana Moneter Internasional (IMF) juga turut melancarkan kritik dengan menyebut kebijakan AS yang cenderung proteksionis akan berdampak buruk bagi AS sendiri dan negara-negara lain. Apalagi jika negara-negara lain juga melakukan kebijakan serupa dengan dalih yang sama, yaitu melindungi kepentingan industri domestik.
Nampaknya dunia masih mencemaskan potensi perang dagang. Risiko ini kemungkinan masih akan membayangi perekonomian global dalam beberapa waktu ke depan. Untuk perdagangan awal pekan ini, hal-hal yang bisa membuat IHSG berbalik arah dan menguat adalah perkembangan di Wall Street. Meski secara mingguan ditutup minus, tetapi pada akhir pekan lalu Wall Street mampu menunjukkan penguatan sporadis. Diharapkan sentimen ini bisa berdampak positif kepada bursa saham Asia, termasuk Indonesia.
Meredanya kekhawatiran terhadap pengetatan moneter yang agresif di AS juga bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Investor sepertinya kembali berani mengambil risiko dan tidak lagi bermain aman. Ini memberi peluang bagi bursa saham Indonesia untuk menarik minat investor, terutama asing.
Kinerja saham-saham sektor keuangan, terutama perbankan, patut dicermati terkait dengan isu suku bunga global. Sektor keuangan merupakan penyumbang bobot terbesar dalam IHSG, sehingga pergerakannya akan mempengaruhi Indeks secara keseluruhan.
Seiring dengan hilangnya kecemasan kenaikan suku bunga acuan AS yang agresif, dolar AS pun lagi-lagi kehilangan pijakan dan bergerak melemah. Dollar Index, yang mencerminkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia, melemah 0,38% dan dalam tren menurun sejak akhir pekan lalu.
Greenback memang membutuhkan kenaikan suku bunga untuk meredam inflasi mata uang ini. Oleh karena itu, dolar AS sangat diuntungkan dengan isu kenaikan suku bunga tetapi demikian pula sebaliknya. Setiap pernyataan yang berkaitan dengan langkah The Fed yang lebih hati-hati akan menyebabkan dolar AS hilang keseimbangan.
Pelemahan dolar AS bisa mendorong penguatan rupiah, dan akan berdampak positif bagi IHSG. Emiten yang banyak banyak mengimpor bahan baku seperti otomotif, tekstil, sampai farmasi dan makanan-minuman akan diuntungkan karena biaya untuk impor bisa ditekan.
Pergerakan dolar AS biasanya berbanding terbalik dengan harga komoditas, utamanya minyak. Ini pula yang terjadi saat ini, di mana harga si emas hitam mulai beranjak naik meski dalam rentang relatif tipis.
Kenaikan harga minyak akan berdampak positif bagi IHSG, karena mendorong kinerja emiten migas dan pertambangan. Sektor ini merupakan salah satu primadona bursa saham Indonesia, dengan penguatan YtD yang mencapai 22,31%.
Namun, ada sejumlah risiko yang bisa menyebabkan IHSG melanjutkan pelemahan. Pertama tentu perkembangan dari AS, di mana kekhawatiran perang dagang masih membayangi benak investor.
Ketika faktor fundamental kurang mendukung, maka yang bisa menggairahkan pasar hanya tinggal kinerja korporasi. Dengan potensi perang dagang, yang menyebabkan harga bahan baku menjadi lebih mahal, maka kinerja korporasi akan tertekan. Ini yang dikhawatirkan oleh pelaku pasar.
Aksi ambil untung juga masih menjadi risiko yang membayangi IHSG. Dengan penguatan yang masih mencapai lebih dari 3% sepanjang 2018, plus P/E yang relatif tinggi, tentu ada godaan bagi investor untuk mencairkan keuntungannya.
Sebagai catatan, catatan surplus Hang Seng sepanjang 2018 adalah 2,22% dan P/E 13,01 kali. Sementara Nikkei 225 malah minus 6,95% dengan P/E 15,31 kali. Lalu Straits Time menguat 2,24% dengan P/E 11,75 kali dan KLCI tumbuh 3,3% dengan P/E 16,82 kali. IHSG memang nampaknya sudah sedikit terlalu mahal dibandingkan bursa saham kawasan.
Bursa saham telah melalui periode berat pekan lalu. Namun bukan berarti pekan ini akan mudah, karena tantangan belum berhenti. Berikut adalah peristiwa yang akan terjadi pada hari ini:
- Presiden Joko Widodo dan para pejabat negara menggelar sidang kabinet paripurna membahas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal 2019 (14.00 WIB).
- Menko Perekonomian Darmin Nasution dan sejumlah menteri Kabinet Kerja mengadakan rapat koordinasi membahas insentif untuk investasi (16.30 WIB).
- Rilis indeks sektor jasa PMI Inggris periode Februari 2018 (16.30).
- Rilis indeks sektor jasa Caixin Cina periode Februari 2018 (08.45).
- Rilis non-manufacturing PMI AS periode Februari 2018 (22.00).
Berikut perkembangan sejumlah bursa saham utama:
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang utama dunia:
Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:
Berikut perkembangan imbal hasil (
yield) Surat Berharga Negara:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: