Special Interview

Regulasi OJK adalah Dukungan Buat Fintech, Bukan Hambatan

Roy Franedya, CNBC Indonesia
09 August 2018 07:15
Untuk memayungi fintech yang belum diatur, OJK akan segera terbitkan aturan inovasi keuangan digital.
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam tiga tahun terakhir, startup financial technology (fintech) bertambah dengan cepat. Mereka hadir dengan berbagai solusi bagi masyarakat dan mengusung model bisnis yang berbeda-beda.

Pesatnya pertambahan fintech membuat banyak fintech yang belum diregulasi oleh regulator. Saat ini aturan fintech yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru aturan main untuk fintech peer to peer lending (P2P) lending.

Dalam waktu dekat, OJK akan meluncurkan aturan inovasi keuangan digital yang akan menjadi payung hukum bagi fintech-fintech yang selama ini belum diatur oleh fintech. Berikut petikan wawancara CNBC Indonesia dengan Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaidah mengenai aturan baru tersebut.

Adanya Regulasi Bentuk Dukungan OJK Buat FintechFoto: OJK

Dalam aturan fintech terbaru OJK sangat concern pada perlindungan konsumen. Kenapa?
Sebetulnya perlindungan konsumen ditekankan karena perlindungan konsumen akan menjadi sangat mendasar, karena kalau konsumen merasa tidak dilindungi Industri ini tidak akan tumbuh.

Kalau industri tidak tumbuh harapan kita bahwa melalui fintech akan ada perkembangan di financial inclusion (inklusi keuangan), perkembangan ekonomi kita, itu tidak akan terjadi.

Jadi, bisa saja di awal orang akan semangat di awal untuk masuk ke fintech, untuk melakukan transaksi di fintech, tetapi kalau konsumen yang ada, konsumen dalam hal ini lebih kepada investor misalnya, yang masuk kemudian merasa tidak terlindungi, nah tentu mereka tidak akan mau lagi melakukan kegiatan transaksi ini ke depan sehingga fintech itu tidak bisa berkembang. Itu sangat penting.

Dan, perlindungan konsumen hampir di semua sektor itu sangat krusial karena industrinya tidak akan tumbuh dan market confidence (kepercayaan pasar) tidak akan ada kalau konsumen tidak akan terlindungi.

Fokusnya bikin aturan fintech terbaru ini hanya itu saja?
Jadi ada dua sebenarnya dari kita, OJK itu, yaitu perlindungan konsumen dan pada ujungnya adalah menjaga stabilitas sistem keuangan kita. Namun yang terpenting pembuatan aturan ini bentuk dukungan OJK pada industri fintech.

OJK akan melihat fintech dalam 5-10 tahun ke depan seperti apa?
Kalau kita melihat lima hingga 10 tahun ke depan, itu market kita kan besar jadi untuk fintech ini bisa tumbuh dan berkembang kan perlu OJK ini perlu melakukan semacam dukungan.

Nah, kenapa kita anggap fintech ini penting dari sekarang hingga lima tahun ke depan itu karena market kita besar, kita berharap financial inclusion dan itu bisa tumbuh, bisa meningkat, dan financial inclusion hanya akan bisa mencapai ke pelosok-pelosok itu melalui fintech karena kalau kita harapkan lembaga jasa keuangan konvensional untuk bisa menjangkau atau katakanlah ke daerah-daerah remote area akan jadi costly (mahal) bagi mereka dan mungkin mereka tidak akan melakukan itu.

Kita bayangkan bank, perusahaan efek misalnya, yang harus menjangkau masyarakat di remote area yang barang kali potensinya ada tetapi tidak terlalu besar karena mereka perlu kehadirannya disitu, tentu itu sangat menimbulkan biaya. Oleh karena itu, fintech inikan yang memang mengutamakan teknologi informasi yang bisa out reach (jangkauannya) itu luar biasa jauh itu bisa diharapkan bisa menjadi financial inclusion kita meningkat.

Financial inclusion sebetulnya itu adalah suatu sarana atau fenomena yang pada dasarnya begitu ada financial inclusion kita harap masyarakat bisa punya akses ke sektor keuangan dan akses ke permodalan dan bisa punya akses kepada kegiatan-kegiatan di sektor jasa keuangan.

Pada ujungnya nanti bahwa kalau masyarakat itu punya akses kepada sektor keuangan kalau butuh permodalan, bisa mendapatkan permodalan, masyarakat yang ingin menabung, bisa menabung, masyarakat butuh berinvestasi, bisa berinvestasi sehingga ini nanti pada tataran ekonomi akan membuat ekonomi kita bergerak dan berkembang. Tentunya inilah yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat kita pada akhirnya, itu yang kita harap dan fintech ini sangat dibutuhkan di Indonesia.

Dari luar [negeri] itu mereka berharap fintech-fintech luar itu bisa masuk ke kita dengan menggarap pasar kita, tentu kita akan melihat bahwa harusnya market kita ini untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia sehingga manfaatnya itu dirasakan masyarakat Indonesia.

Apakah ini artinya akan ada poteksi pasar Indonesia. Apakah akan ada pembatasan untuk fintech asing masuk pasar Indonesia?
Kita akan melihat perkembangannya seperti apa karena memang kita sadari juga bahwa kalau fintech company bisa dikatakan borderless karena bisa saja diakses dari luar dan lain-lain. Tetapi pada dasarnya yang ingin kita jaga manfaatnya diperoleh masyarakat Indonesia.

Sebelumnya sudah keluar aturan fintech peer to peer (P2P) lending dimana syaratnya harus mendaftar dan berizin. Kenapa sampai sekarang yang dapat izin baru satu fintech?
Di peraturan P2P lending ada persyaratan-persyaratan, mungkin secara umum saya sampaikan persyaratannya harus dipenuhi jadi bila kemudian belum diberikan izin berarti persyaratannya belum bisa dipenuhi.

Adanya Regulasi Bentuk Dukungan OJK Buat FintechFoto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Aturan baru ini disebut sebagai payung hukum bagi fintech. Bocorannya seperti apa?
Pada dasarnya kenapa kita sebut payung hukum, peraturan ini secara garis besar saja, mengatur secara garis besar saja persyaratan-persyaratan dari tahap-tahap dari inovasi keuangan digital. Diantaranya adalah mengatur bagaimana dengan regulatory sandbox.

Nah, nanti kalau ada sebuah produk yang masuk regulatory sandbox, berarti itu ada inovasi baru, kemudian kita lihat bermanfaat untuk masyarakat dan perlu dikembangkan, tidak menutup kemungkinan akan muncul peraturan detilnya.

Contoh sudah muncul aturan P2P lending, kemudian dalam waktu dekat muncul aturan equity crowdfunding, kemudian mungkin ada invesment-investment lain yang peru diatur secara detil.

Tetapi pada dasarnya semua fintech yang beroperasi dan berkegiatan di perekonomian kita, mereka harus penuhi dulu basic standard tadi. Pertama, ada market conduct dan transparansi.


Kenapa transparansi di dorong dalam aturan terbaru ini?

Transparansi di dorong agar kedua belah pihak, contohnya peer to peer lending, lender dan borrower mengetahui persis bisnis ini. Misalnya lender penting mengetahui bisnis borrower yang akan dipinjaminya bisnisnya seperti apa. Kemudian risikonya seperti apa sehingga dia bisa mengukur risikonya akan ditanggung sehingga bisa menentukan return yang diharapkan.

Kita berharap dengan transparan dan terbukanya informasi mengenai borrower di satu sisi, bisa mengukur risiko sehingga dia tidak mengenakan return terlalu tinggi dan diharapkan semakin lama return ini akan semakin menurun ke depannya.

Ada aturan baru ada soal regulatory sandbox. Semua fintech harus masuk ke sana terlebih dahulu?
Tidak semua, kan perusahaan fintech banyak sekali. Sekarang saja sudah ada 160 lebih kemudian mereka diwajibkan untuk mendaftarkan diri, kemudian dari sana kita lihat mana yang ada inovasi-inovasi barunya yang perlu dimasukkan ke regulatory sandbox.

Regulatory sandbox ini lebih ke arah ujicoba diadakan analisa, apakah bermanfaat bagi masyarakat, kemungkinan berkembangnya ada dan lain-lain. Jadi tidak semua, berdasarkan aturan baru ini, akan masuk ke regulatory sandbox. Tentunya kami berharap ketika masuk regulatory sandbox dia bisa naik kelas lagi menjadi produk yang bisa diluncurkan secara formal atau secara resmi di masyarakat.

Adanya Regulasi Bentuk Dukungan OJK Buat FintechFoto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Ada regulatory sandbox kemudian fintech center. Apakah tidak tumpang tindih?
Fintech center ini di depannya regulatory sandbox. Jadi fintech center ini intinya mereka yang mendaftar dan terdaftar disitu mereka lebih ke arah diberikan pemahaman tentang peraturan, bagimana running business, mungkin juga sedikit tentang bagaimana susun laporan keuangan, kemudian bagaimana melihat bisnis mereka, mengembangkan dan lain-lain.

Di situ pada dasarnya mereka itu mendapat kesempatan berkolaborasi dan bekerja sama, berkolaborasi, semacam mendapatkan bimbingan seperti itu. Bisa saja nanti di fintech center ini kita datangkan misalnya, expert di bidang investment untuk fintech invesment. Tergantung apa yang menjadi inovasi baru di sana.


Aturan equity crowdfunding kisi-kisi aturannya seperti apa?

Mudah-mudahan bisa segera kita terbitkan tetapi yang jelas tidak dalam bulan Agustus ini.


Ada aturan fintech yang lain lagi?

Aturan yang lain mungkin tergantung perkembangan. Saya rasa mungkin regulatory sandbox ada peraturan pelaksanaannya lebih detil karena kita butuhkan itu. Nanti akan juga ada peraturan lain yang muncul dari produk baru yang perlu diatur lebih lanjut.

Soal asosiasi yang mengurusi fintech-fintech anggota. Apakah ini akan seperti Self Regulatory Organization (SRO) di bursa saham?
Bentuknya nanti kita cari bentuk terbaru. Kalau itu berupa SRO kita tidak legal basis untuk itu karena pasar modal memang Undang-Undang Pasar Modal disebutkan adanya beberapa seperti KPEI, KSEI dan BEI yang kemudian ikut mengawasi kegiatan pasar modal.

Kita berharap asosiasi fintech ikut mengawasi kegiatan-kegiatan dari anggotanya. Nah, tetapi secara formal, legal apakah disebut SRO kelihatannya tidak bisa karena tidak ada payung hukumnya buat itu.

Tetapi perannya kita perlukan. Nanti kita akan lihat apa bentuk formalnya untuk mendukung peran dari asosiasi untuk mengawasi dan ikut memonitor anggota-anggotanya.

Salah satunya yang kita harapkan adalah membuat kode etik karena market conduct dan kode etik bisa saling melengkapi. Sehingga nanti jika ada anggota yang langgar kode etik bisa bertndak.

Asosiasi memang tidak memiliki kewenangan untuk penegakan hukum, lebih ke arah hukuman moral, apakah dikeluarkan dari keanggotaan asosiasi sehingga berlanjut ke aturan OJK yang misalnya untuk terdaftar mereka harus menjadi anggota asosiasi, jika tidak jadi anggota asosiasi terdaftarnya mungkin bisa dicabut, disitu kita lihat tetapi tidak kita namakan itu SRO.



(roy) Next Article Gagal 8 Kali, Dokter Gigi Bisa Punya Startup Senilai Rp 14 T

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular