Menilik Ketahanan Energi RI: Sustainable Aviation Fuel dan Peran KDKMP
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Ketergantungan Indonesia terhadap avtur impor tidak dapat dilihat semata sebagai persoalan perdagangan energi, melainkan mencerminkan kerentanan mendasar dalam sistem ketahanan energi nasional. Seiring dengan pertumbuhan mobilitas udara, sektor penerbangan menjadi penggerak utama konektivitas ekonomi sekaligus sektor yang paling rentan karena sangat dipengaruhi oleh volatilitas harga minyak dunia dan potensi gangguan pasokan.
Data proyeksi permintaan avtur pada tahun 2060, dalam Peta Jalan Pengembangan Industri SAF Indonesia (2024), akan mencapai 19 juta kiloliter. Maka, tanpa upaya pengurangan ketergantungan yang sistematis, stabilitas penerbangan nasional akan terus dipengaruhi oleh dinamika eksternal yang berada di luar kendali domestik.
Selain tantangan domestik, sektor penerbangan juga menghadapi tekanan global yang semakin kuat untuk menurunkan emisi karbon. Melalui skema Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA) yang diinisiasi oleh International Civil Aviation Organization (ICAO), industri penerbangan internasional diarahkan menuju jalur dekarbonisasi yang lebih ketat, terukur, dan berbasis standar keberlanjutan.
Dalam perubahan lanskap energi dan aviasi global tersebut, SAF menempati posisi strategis karena berada pada irisan antara kepentingan ketahanan energi, daya saing industri penerbangan, dan komitmen penurunan emisi.
Bagi Indonesia, SAF tidak lagi dapat dipandang sebagai isu sektoral, melainkan sebagai bagian dari kepentingan strategis nasional, terlebih dengan proyeksi emisi sektor penerbangan domestik yang berpotensi mencapai sekitar 21,2 gigaton COâ‚‚ pada tahun 2050 apabila tidak dilakukan intervensi kebijakan yang memadai (Peta Jalan Pengembangan Industri SAF Indonesia, 2024).
Pada tekanan global tersebut, respons Indonesia terhadap SAF menjadi krusial tidak hanya dari sisi kepatuhan, tetapi juga dari sudut pandang strategi ketahanan energi nasional. Oleh karena itu, pengembangan SAF tidak semestinya dibatasi sebagai inovasi teknologi semata atau sekadar bentuk pemenuhan komitmen internasional.
SAF perlu diposisikan sebagai instrumen strategis untuk memperkuat kemandirian energi di sektor penerbangan sekaligus mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor avtur. Tantangan utama ke depan terletak pada kemampuan menerjemahkan arah kebijakan tersebut ke dalam struktur industri dan sistem rantai pasok yang berfungsi secara nyata, terintegrasi, dan berkelanjutan dari hulu hingga hilir.
Dari berbagai opsi bahan baku SAF yang diakui secara internasional, used cooking oil (UCO) menjadi alternatif yang paling memungkinkan untuk dikembangkan di Indonesia. Hal ini didukung oleh kesiapan teknologi Hydroprocessed Esters and Fatty Acids (HEFA), yang saat ini merupakan jalur produksi SAF paling matang secara komersial dan kompatibel dengan infrastruktur bahan bakar eksisting.
Dengan tingkat konsumsi minyak goreng yang tinggi di sektor rumah tangga maupun usaha makanan, Indonesia sejatinya memiliki basis bahan baku domestik yang kuat untuk menopang pengembangan SAF.
Meskipun memiliki potensi yang besar, pemanfaatan UCO di Indonesia hingga saat ini belum berjalan secara optimal. Mekanisme pengumpulan UCO masih terfragmentasi dan belum terhubung dalam satu sistem yang terintegrasi, sehingga sebagian besar UCO yang dihasilkan oleh rumah tangga dan usaha makanan skala kecil belum tercatat dalam skema formal.
Bahkan, dari total potensi yang ada, baru sekitar 23 persen UCO yang berhasil dihimpun, dan sebagian besar dari volume tersebut masih dialirkan ke pasar ekspor dalam bentuk bahan mentah. Konsekuensinya, nilai tambah dari pengolahan UCO menjadi SAF justru dinikmati oleh negara lain yang telah memiliki kapasitas industri hilir yang lebih maju.
Situasi ini menunjukkan bahwa hambatan utama pengembangan SAF berbasis UCO di Indonesia bukan disebabkan oleh keterbatasan sumber daya, melainkan oleh lemahnya tata kelola dan integrasi rantai pasok.
Situasi tersebut menyoroti pentingnya peran kelembagaan lokal yang selama ini kurang mendapat perhatian dalam perumusan kebijakan energi. Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDKMP), sebagai institusi desa yang telah tersedia dan tersebar di seluruh wilayah desa dan kelurahan, memiliki potensi strategis untuk berperan sebagai simpul awal dalam rantai pasok SAF, khususnya dalam peran sebagai first-mile aggregator pengumpulan UCO.
Dengan beroperasi di tingkat desa, KDKMP dapat menghubungkan sumber UCO yang tersebar dengan kebutuhan industri SAF yang mensyaratkan pasokan dalam volume besar, kualitas yang konsisten, dan keberlanjutan jangka panjang. Mekanisme koperasi memungkinkan proses pengumpulan dilakukan secara kolektif, transparan, dan lebih mudah ditelusuri, sekaligus memperluas keterlibatan masyarakat dalam agenda transisi energi.
Namun, penguatan peran KDKMP tidak hanya berkaitan dengan peningkatan volume pasokan, tetapi juga menuntut penerapan standar kualitas yang ketat, mengingat skema CORSIA mensyaratkan keterlacakan dan pemenuhan standar keberlanjutan bahan baku SAF
Meski demikian, penguatan sisi hulu rantai pasok tidak serta-merta menjamin adopsi SAF secara luas. Tantangan krusial lainnya muncul dari aspek ekonomi, terutama kesenjangan harga antara SAF dan avtur konvensional.
Dengan harga SAF yang masih berada pada kisaran dua hingga tiga kali lebih tinggi, maskapai penerbangan menghadapi keterbatasan ruang untuk menyerap biaya tambahan tanpa dukungan kebijakan. Tanpa kejelasan skema insentif, mekanisme pembagian biaya, atau penerapan kewajiban pencampuran secara bertahap, SAF berpotensi tetap berada di luar arus utama pasar dan sulit mencapai skala ekonomi yang dibutuhkan.
Pada titik ini, kebijakan publik memainkan peran yang menentukan. Pengembangan SAF menuntut pendekatan yang terintegrasi dari hulu hingga hilir, mencakup penguatan kelembagaan pasokan bahan baku, penciptaan kepastian pasar bagi investor, serta perlindungan terhadap daya saing maskapai dan kepentingan konsumen.
Tanpa desain kebijakan yang konsisten dan berjangka panjang, SAF berisiko berhenti sebagai narasi transisi energi, bukan sebagai industri strategis yang tumbuh secara nyata.
Pada akhirnya, SAF menjadi indikator penting bagi kemampuan Indonesia dalam menyelaraskan agenda ketahanan energi, transisi iklim, dan pembangunan ekonomi secara simultan. Dengan memaksimalkan pemanfaatan UCO sebagai sumber daya domestik, memperkuat rantai pasok melalui kelembagaan desa seperti KDKMP, serta merumuskan kebijakan yang mampu menjembatani kepentingan industri dan sektor penerbangan, SAF berpeluang berkembang sebagai industri energi baru yang inklusif dan berdaya saing.
Jika dikelola secara konsisten, pengembangan SAF tidak hanya akan menurunkan ketergantungan pada impor avtur, tetapi juga menunjukkan bahwa transisi energi dapat dijalankan secara berdaulat dan menghasilkan nilai tambah nyata bagi perekonomian nasional.
(miq/miq)