PDRB Aceh Rp1.000 T, Saatnya Mengubah Cara Kita Membaca Masa Depan

Kuntjoro Pinardi CNBC Indonesia
Jumat, 28/11/2025 19:52 WIB
Kuntjoro Pinardi
Kuntjoro Pinardi
Kuntjoro Pinardi merupakan pengajar di Institut Sains Teknologi Nasional. Ia adalah Ahli Manajerial dan Tata Kelola Sistem Kebijakan Energi ... Selengkapnya
Foto: Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh, Provinsi Aceh. (Antara Foto/Irwansyah Putra/ via REUTERS)

Bayangkan sebuah provinsi yang selama ini dipandang tertinggal, tiba-tiba muncul sebagai pusat energi hijau, pengolahan mineral berteknologi tinggi, dan produsen karbon premium terbesar di Asia Tenggara. Gambaran ini terdengar seperti fiksi. Namun bila melihat potensi Aceh secara utuh, skenario ini bukan mimpi, ini peluang yang selama ini belum disentuh.

Aceh memiliki tiga kunci yang jarang dimiliki wilayah lain: energi mandiri, mineral strategis tanah jarang (rare earth elements/REE), dan lahan luas yang dapat direstorasi menjadi hutan energi bernilai ekonomi tinggi. Bila ketiganya digabungkan dalam satu desain industri yang terintegrasi, Aceh dapat mengubah PDRB-nya dari sekitar Rp 70 triliun saat ini menjadi hampir Rp 1.000 triliun pada 2030.



Kuncinya ada pada energi. Tidak ada transformasi industri tanpa energi murah dan stabil. Aceh memiliki akses ke teknologi waste-to-energy, biomassa cepat tumbuh seperti kaliandra dan bambu, serta potensi produksi DME sebagai substitusi LPG. Dengan memanfaatkan sampah dan biomassa sebagai sumber utama steam dan listrik, Aceh dapat menciptakan struktur biaya energi yang jauh lebih rendah dibanding provinsi lain. Industri berat akan mengikuti energi murah, itu hukum ekonomi.

Begitu energi stabil, sektor mineral tanah jarang menjadi mesin pertumbuhan berikutnya. Potensi REE Aceh tidak akan berarti bila hanya ditambang sebagai bahan mentah. Tetapi bila diproses hingga NdPr oxide, magnet permanen, atau komponen motor kendaraan listrik, nilainya meningkat puluhan kali lipat.

Dengan teknologi leaching dan solvent extraction yang tersedia, pengolahan penuh REE dapat dilakukan di Aceh. Nilai tambah dari sektor ini saja dapat menyumbang ratusan triliun rupiah per tahun.

Sumber pertumbuhan ketiga adalah hutan energi. Lahan kritis Aceh dapat ditanami kaliandra dan bambu dalam skala 50-70 ribu hektare untuk menjadi sumber biomassa dan bahan baku charcoal berkualitas tinggi.

Produk seperti medical-grade charcoal, activated carbon, dan biochar premium memiliki pasar global dengan harga tinggi. Industri ini dapat memberikan kontribusi puluhan hingga ratusan triliun rupiah per tahun sekaligus memperbaiki ekologi wilayah.

Namun transformasi ekonomi Aceh tidak boleh hanya bertumpu pada industri besar. Keterlibatan masyarakat menjadi syarat penting agar pertumbuhan inklusif.

Model blok keluarga 5-8 hektare, yang menggabungkan hutan energi, ayam petelur free-range, jagung pakan, sayuran, dan pupuk alami, mampu menumbuhkan ribuan rumah tangga produktif.

Sistem ini tidak hanya memberi pendapatan stabil, tetapi juga menyuplai biomassa, pangan, dan pakan bagi industri. Semua ini tidak membutuhkan terobosan yang mustahil.


Energi biomassa sudah terbukti, teknologi REE sudah tersedia, model agroforestry sudah mapan, dan desain kawasan industri hijau dapat dibuat dalam waktu singkat. Yang dibutuhkan adalah keberanian memulai dengan satu klaster, di Aceh Timur, sebagai pusat energi, mineral, dan hutan produktif.

Dari sana, Aceh dapat mengembangkan koridor industri ke Langsa dan Aceh Tamiang, sebelum ekspansi ke wilayah lainnya. Aceh tidak kekurangan potensi, yang kurang selama ini adalah cara melihat masa depan.

Dengan desain yang tepat, Aceh dapat melompat bukan lima tahun, tetapi lima dekade ke depan. PDRB Rp 1.000 triliun bukan mimpi; itu rencana yang sedang menunggu untuk diwujudkan.


(miq/miq)