Mengapa Karakter Komunikasi Penguji Menentukan Mutu Layanan Kesehatan?
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Di balik aktivitas layanan kesehatan yang dilakukan setiap hari di puskesmas dan rumah sakit, terdapat sebuah proses penting yang sering terlewatkan publik: Uji Kompetensi Jabatan Fungsional Kesehatan. Pelaksanaan Uji Kompetensi Jabatan Fungsional Kesehatan (JFK) selama ini sering dipandang sebagai prosedur administratif tahunan. Berkas diperiksa, wawancara dilakukan, simulasi kerja dinilai, lalu hasilnya diumumkan dalam bentuk lulus atau tidak lulus.
Penulis berkesempatan menyampaikan pandangan dalam kegiatan Monitoring dan Evaluasi Uji Kompetensi JFK 2025 Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, melihat bahwa proses ini sesungguhnya menyimpan potensi strategis yang jauh lebih besar daripada sekadar seleksi. Uji Kompetensi dapat menjadi instrumen diagnosis sistem, alat membaca di mana ketidaksesuaian keterampilan terjadi, dan jendela yang mengungkap kultur kerja di lapangan.
Transformasi ini muncul dari gagasan penilaian tidak boleh berhenti pada angka. Uji Kompetensi harus menghasilkan pemahaman tentang kompetensi nyata, bukan sekadar menilai kertas kerja. Dari sinilah konsep assessment bermakna-penilaian yang mengarah pada pembinaan berdampak-menjadi fondasi baru.
Ketika penguji memaknai proses ini sebagai bagian dari peningkatan mutu layanan kesehatan, bukan sekadar memastikan kelulusan, Uji Kompetensi mendapatkan fungsi strategisnya.
Perubahan Peran Penguji: Dari Penilai ke Konsultan Mutu
Perubahan paling signifikan dalam Uji Kompetensi justru terjadi pada peran penguji. Selama bertahun-tahun penguji diposisikan sebagai pihak yang memberi vonis. Namun transformasi JFK menuntut penguji menjadi konsultan mutu: pihak yang membaca pola kelemahan, mengidentifikasi gap kompetensi, dan mengusulkan arah pembinaan.
Perubahan ini digambarkan melalui pergeseran dari judgmental mindset menuju developmental mindset. Penguji tidak lagi mencari kesalahan peserta, tetapi memahami konteks, menggali akar masalah, dan memfokuskan diri pada rekomendasi perbaikan. Agar peran ini berjalan efektif, penguji dituntut melakukan refleksi tiga dimensi: integritas pribadi (Aku Diri), konsistensi dan kolaborasi dalam tim penguji (Aku Sosial), serta visi ideal sebagai agen perubahan dalam peningkatan mutu layanan kesehatan (Aku Ideal).
Pendekatan ini selaras dengan prinsip asesmen kompetensi dalam literatur psikometri modern, seperti yang dijelaskan McDonald (2019), bahwa reliabilitas asesmen bergantung pada konsistensi standar dan kedewasaan penilai dalam mengelola bias.
Perubahan peran ini menuntut kapasitas baru, terutama dalam kemampuan membaca standar kompetensi secara konsisten, menyelaraskan interpretasi antar penguji, dan memosisikan diri sebagai bagian dari ekosistem peningkatan mutu layanan. Sejatinya penguji adalah penggerak transformasi JFK karena mereka berada langsung pada titik temu antara standar profesi dan realitas lapangan.
Karakter Komunikasi: Fondasi Dasar Kompetensi Penguji
Transformasi ini menempatkan karakter komunikasi sebagai inti profesionalisme penguji. Dalam banyak sesi Uji Kompetensi, terlihat jelas bahwa kualitas komunikasi penguji menentukan bagaimana peserta merespons umpan balik, bagaimana tim mengelola perbedaan interpretasi, hingga bagaimana temuan kompetensi diterjemahkan menjadi kebijakan pembinaan.
Kecerdasan komunikasi penguji bertumpu pada tiga aspek penting. Pertama, empati konstruktif-kemampuan memberikan umpan balik yang fokus pada perilaku dan proses, bukan pada pribadi peserta. Umpan balik seperti ini tidak hanya lebih diterima, tetapi juga lebih efektif dalam mendorong perbaikan.
Kedua, kemampuan mendengar aktif, yakni kesediaan memahami konteks dan tantangan peserta sehingga rekomendasi tidak bersifat generik melainkan spesifik. Ketiga, presisi dalam menyampaikan data dan rekomendasi kepada pimpinan, sehingga hasil asesmen tidak berhenti sebagai dokumentasi tetapi menjadi dasar pembinaan yang benar-benar dilaksanakan.
WHO dalam Patient Safety Curriculum (2021) menegaskan bahwa komunikasi efektif adalah bagian dari keselamatan pasien. Dalam konteks Uji Kompetensi JFK, komunikasi penguji bukan hanya memengaruhi peserta, tetapi mempengaruhi keseluruhan rantai layanan kesehatan. Uji Kompetensi yang tidak dibarengi komunikasi yang tepat akan menghasilkan rekomendasi yang baik tetapi tidak diimplementasikan dengan benar.
Uji Kompetensi sebagai Alat Diagnosis Sistem
Hasil Uji Kompetensi bukan lagi dianggap sebagai kekurangan individu, melainkan berfungsi sebagai alat diagnosis sistem, penulis menggunakan sebuah analogi yang menggambarkan dinamika umum di lapangan.
Bayangkan seorang penguji mendapati banyak peserta tidak sempurna saat melakukan prosedur sederhana-misalnya teknik kebersihan tangan atau langkah awal pemeriksaan pasien. Alih-alih menganggap hal itu sebagai kelemahan individu, penguji yang memiliki perspektif sistemik akan melihatnya sebagai gejala.
Seperti dokter yang memeriksa pasien, penguji tidak berhenti pada gejalanya, tetapi menelusuri mengapa pola yang sama muncul berkali-kali. Bisa jadi SOP di unit kerja kurang ditegakkan, pelatihan yang diberikan belum menyentuh aspek praktis, atau budaya kerja terlalu menekankan kecepatan sehingga prosedur dasar terabaikan.
Dengan cara pandang seperti ini, rekomendasi yang diberikan pun menjadi lebih tepat. Bukan sekadar meminta peserta "belajar lagi", tetapi mendorong adanya coaching langsung di unit kerja, penyegaran SOP, atau penyesuaian metode pelatihan.
Uji Kompetensi, dalam analogi ini, ibarat cermin yang tidak menyalahkan siapa pun, tetapi menunjukkan di mana sistem perlu dibersihkan dan diperbaiki. Itulah esensi Ujikom sebagai alat diagnostik: menangkap sinyal awal sebelum menjadi masalah besar bagi mutu layanan kesehatan.
Transformasi ini perlu diperkuat oleh tiga pengungkit mutu utama, yakni standardisasi rubrik penilaian, digitalisasi pencatatan, dan kalibrasi penguji. Ketiganya memastikan bahwa hasil penilaian tidak hanya valid tetapi juga dapat ditindaklanjuti secara berkelanjutan.
Pendekatan ini selaras dengan prinsip learning health system yang banyak dianjurkan dalam laporan OECD dan WHO: bahwa organisasi kesehatan harus secara rutin melihat data operasional sebagai dasar perbaikan berkelanjutan.
Menuju Mutu Layanan yang Lebih Manusiawi
Transformasi Uji Kompetensi JFK mengingatkan bahwa peningkatan mutu layanan kesehatan tidak selalu harus melalui proyek besar atau investasi teknologi tinggi. Kadang perubahan paling bermakna lahir dari cara lembaga memandang proses yang sudah lama berjalan.
Ketika penguji tidak lagi bekerja sebagai penentu vonis, tetapi sebagai mitra pembinaan; ketika asesmen tidak lagi dipahami sebagai formalitas, tetapi sebagai sumber pemahaman mendalam; dan ketika karakter komunikasi menjadi unsur utama profesionalisme penguji, di situlah perbaikan sistem kesehatan bergerak lebih cepat.
Pada akhirnya, masyarakatlah yang merasakan perubahan ini. Layanan kesehatan menjadi lebih aman, lebih cermat, dan lebih berlandaskan standar profesional. Para penguji, dalam posisi barunya sebagai penggerak transformasi, berada di jantung perubahan tersebut-dan dari tangan merekalah masa depan mutu layanan kesehatan Jakarta turut ditentukan.
Jakarta bergerak menuju layanan kesehatan yang lebih unggul dan lebih manusiawi. Dalam perjalanan ini, penguji bukan lagi figur yang bekerja di balik layar, melainkan aktor utama yang memastikan bahwa mutu layanan tidak hanya terjaga tetapi terus meningkat.
(miq/miq)