Mengapa Indonesia Mengalami Kegagalan dalam Pelayanan Kesehatan?

zulfantri, CNBC Indonesia
24 October 2025 14:11
zulfantri
zulfantri
Dr. Zulfantri adalah seorang dokter umum yang saat ini bertugas di Puskesmas Buntok, Kabupaten Barito Selatan. Ia menempuh pendidikan kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU). Dalam praktiknya, Dr. Zulfantri aktif memberikan pe.. Selengkapnya
Ilustrasi rumah sakit yang penuh karena tingginya pasien yang terpapar Virus Corona di Sao Paulo, Brasil. (AP/Andre Penner)
Foto: Ilustrasi rumah sakit yang penuh karena tingginya pasien yang terpapar Virus Corona di Sao Paulo, Brasil. (AP/Andre Penner)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Saya akan menjelaskan mengapa Indonesia mengalami kegagalan dalam pelayanan kesehatan. Teori fokal infeksi dokter umum telah dihilangkan oleh oknum akademisi kedokteran di Indonesia dengan cara mengadopsi teori-teori baru yang ternyata belum layak menggantikan teori tersebut. Teori baru itu masih menyimpan banyak ketidakjelasan dan didasarkan pada pemahaman yang belum matang.

Padahal, penyakit fokal infeksi (infeksi bakteri menahun di mukosa) merupakan penyebab utama berbagai masalah kesehatan di Indonesia, termasuk kerusakan organ pada masyarakat secara luas. Akan tetapi, teori ini telah disingkirkan oleh sejumlah akademisi kedokteran (khususnya dokter spesialis) melalui kolegium IDI, dengan dalih kemunculan teori baru yang ternyata jauh dari harapan terhadap kebenaran ilmiahnya.

Penjelasan Singkat Mengenai Teori Fokal Infeksi Dokter Umum

Contoh infeksi bakteri menahun di mukosa antara lain:

  • Infeksi gigi dan gusi

  • Infeksi mukosa usus (TBC usus, ulkus gaster/Helicobacter pylori, tifoid yang hampir perforasi atau jebol)

  • Radang paru (termasuk TBC paru)

  • Tonsilitis, sinusitis, dan infeksi telinga tengah

  • Ambeien atau wasir

  • Infeksi menular seksual

  • Infeksi saluran kemih

Mengapa Fokal Infeksi Sering Menahun?

Hal ini terjadi karena kesalahan persepsi. Contohnya:

  • Infeksi gigi dan gusi yang sudah menahun hingga sarafnya mati dan tidak lagi menimbulkan nyeri, membuat pasien merasa "tidak sakit gigi", padahal gusinya sudah bernanah.

  • Infeksi TBC usus, ulkus gaster (Helicobacter pylori), atau tifoid yang hampir jebol sering dianggap hanya "sakit maag", meskipun disertai demam berulang tiap bulan selama bertahun-tahun (seharusnya dilakukan endoskopi).

  • TBC paru sering dianggap asma, padahal suara wheezing yang muncul disebabkan oleh infeksi pneumonia yang tidak bilateral.

Kondisi-kondisi seperti ini membuat seseorang mengalami infeksi bakteri di mukosa selama bertahun-tahun. Akibatnya, bakteri maupun potongan bakterinya (toksin) akan terus larut ke dalam darah.

Kesalahan Persepsi dan Dampaknya terhadap Generasi Berikutnya

Kondisi tersebut juga menimbulkan kesalahan persepsi lain berupa keyakinan adanya kelainan genetik atau keturunan, padahal sebenarnya hanya hasil dari teori-teori baru yang belum jelas dasar ilmiahnya.

Kesalahan persepsi ini menyebabkan orang tua yang salah paham terhadap penyakitnya akan mengajarkan hal serupa kepada anaknya, sehingga kesalahan persepsi tersebut diwariskan. Keadaan ini diperparah dengan dukungan teori baru dari dokter spesialis yang hanya menunjukkan adanya perubahan genetik, bukan kelainan genetik - sebab perubahan tersebut masih termasuk dalam kategori adaptasi sel.

Orang tua yang sakit dan salah persepsi kemudian menurunkan pemahaman yang sama kepada anaknya. Ketika anak mengalami kondisi serupa, hal itu dianggap sebagai masalah genetik. Ditambah lagi, penelitian-penelitian yang keliru sering kali menganggap perubahan genetik akibat adaptasi sel sebagai kelainan genetik.

Contohnya, TBC sering dianggap sebagai kelainan genetik. Dalam satu keluarga, orang tua yang mengidap TBC sering menyebutnya "asma". Ketika anaknya menunjukkan gejala serupa, mereka juga menganggapnya asma. Dokter pun kerap gagal membedakan wheezing akibat asma dan akibat infeksi, bahkan menganggap wheezing unilateral bukan pneumonia. Akibatnya, ibu dan anak sama-sama didiagnosis asma, padahal keduanya sebenarnya mengidap TBC.

Kondisi ini menyebabkan pembiaran infeksi bakteri mukosa menahun dalam keluarga. Jika dibiarkan, infeksi tersebut dapat menimbulkan berbagai penyakit organ, seperti hipertensi akibat sensitivitas garam (padahal disebabkan ketidakmampuan ginjal berkompensasi karena infeksi menahun), gagal ginjal IgAN, penyakit jantung koroner, miokarditis, infark miokard, pembesaran jantung, vaskulitis pembuluh darah besar, diabetes, aneurisma/stroke, dan tiroiditis.

Ironisnya, kelainan organ yang terjadi akibat pembiaran fokal infeksi dalam keluarga tetap dihubungkan dengan kelainan genetik oleh dokter spesialis. Mereka memunculkan teori-teori baru yang hanya menunjukkan perubahan genetik akibat adaptasi sel, namun sudah dinyatakan sebagai cacat genetik.

Dengan demikian, pola penyakit akibat infeksi bakteri mukosa menahun (fokal infeksi) justru dialihkan dan dikaitkan dengan kelainan genetik. Bahkan komplikasi organ akibat fokal infeksi pun dihubungkan dengan faktor genetik.

Ciri Khas Fokal Infeksi dan Respon Tubuh

Ciri utama fokal infeksi adalah infeksi bakteri di mukosa yang berlangsung lama, berulang-ulang, dan bersifat kronis. Kondisi ini menyebabkan penyebaran melalui aliran darah (hematogen), yang kemudian memicu berbagai respon tubuh, antara lain:

  1. Respon imun: dominan berupa IgA (karena asal infeksi dari mukosa), limfosit, dan makrofag, tanpa atau dengan sedikit respon neutrofil (belum mencapai sepsis).

  2. Respon darah: terbentuknya albumin aggregate, aglutinasi, trombus, hingga peningkatan profil lipid.

  3. Respon pembuluh darah: penempelan bakteri atau fragmen bakteri pada dinding pembuluh darah yang menimbulkan perubahan bertahap - dari tonus berkurang, menjadi kaku, menebal, hingga sklerosis.

  4. Respon kimiawi: pelepasan messenger chemical dari sel dan residu radang (termasuk enzim lisosom dari sel darah putih).

  5. Residu inflamasi: produk sisa yang netral, radikal bebas (seperti oxLDL), dan messenger chemical dari sel yang rusak.

Perjalanan Penyakit Fokal Infeksi

Infeksi bakteri di mukosa berbeda dengan infeksi di kulit luar (dermis) karena mukosa tidak memiliki lapisan lemak. Lapisan lemak pada dermis berfungsi menahan penyebaran bakteri ke dalam darah, sedangkan mukosa tidak memiliki perlindungan itu.

Akibatnya, bakteri dan fragmennya (LPS/potongan bakteri) dari mukosa mudah larut ke dalam darah, mengikat albumin hingga membentuk albumin aggregate (meningkatkan LED), serta berikatan dengan lipoprotein seperti HDL dan LDL (meningkatkan profil lipid). Hal ini menyebabkan lipid sulit disalurkan, meningkatkan kerja hati, dan memicu produksi empedu berlebih.

Bakteri yang menempel di dinding pembuluh darah lama-kelamaan menyebabkan perubahan struktural dari normal menjadi kaku, menebal, hingga sklerosis. Ironisnya, literatur dokter spesialis modern sering menafsirkan semua perubahan ini sebagai akibat pola makan atau gaya hidup, bukan infeksi menahun.

Pada ibu hamil, albumin aggregate yang membawa fragmen bakteri dapat mengganggu perkembangan janin, menyebabkan preeklampsia, eklampsia, atau cacat bawaan.

Gangguan Organ akibat Fokal Infeksi

Gangguan organ hingga kegagalan organ akibat penyebaran fokal infeksi (infeksi bakteri mukosa menahun) yang dibiar - biarkan dapat menyebabkan kelainan organ tertentu saja (tidak keseluruhan/tidak sama dengan sepsis), berupa : hipertensi, penyakit jantung (PJK, miokarditis, hingga penebalan jantung), gagal ginjal, diabetes/pankreatitis, aneurisma penyebab stroke, tiroiditis (toksik dan non toksik), dan vaskulitis pembuluh darah besar dan sebagainya.

Kesalahan penyebab utama penyakit diatas yang seharusnya oleh fokal infeksi tetapi dinyatakan bukan oleh fokal infeksi, dikarenakan pihak dokter spesialis menghilangkan teori fokal infeksi dokter umum dan menggantinya dengan penyebab2 lain seperti :

1. Hipertensi akibat fokal infeksi

Penurunan respon ginjal akibat makan tinggi garam dikarenakan sedang adanya bakteri/potongan bakteri pada arteri ginjal (terutama eferen), atau penyempitan pembuluh darah ginjal yang tiba - tiba akibat pembuluh darah ginjal (aferen) yang sebelumnya telah kaku karena sering ditempeli bakteri/potongan bakteri menahun, kemudian dipaksa melebar (oleh angiotensin 1) melebihi kemampuannya untuk merespon diet tinggi garam, atau telah terjadi penebalan hingga sklerosis pada pembuluh darah ginjal akibat fokal infeksi yang puluhan tahun (hipertensinya sudah permanen) karena pembiaran penyakit fokal infeksi.

Seharusnya didiagnosa hipertensi sekunder, sebab hipertensi essentials dahulu dikarenakan penuaan saja (penurunan permeabilitas pembuluh darah akibat usia dan cuma grade 1 saja). Akan tetapi karena dokter spesialis sering menemukan IgA dan limfosit pada awal penyakit hipertensi akibat tinggi garam (padahal jelas sekali bahwa IgA dan limfosit merupakan respon imun terhadap bakteri/potongan bakteri yang berasal dari mukosa), mereka mengganti teori lama dengan teori baru yaitu hipertensi esensial akibat sensitive garam.

Akhirnya Indonesia mengalami kegagalan dalam pelayanan penyakit hipertensi karena fokal infeksinya tidak dikejar dan tidak disembuhkan, sebab hipertensi karena fokal infeksi (penurunan kompensasi ginjal terhadap respon diet tinggi garam) disamakan dengan hipertensi esensial akibat penuaan.

Hipertensi akibat fokal infeksi merupakan gangguan organ yg paling sering dialami pasien akibat fokal infeksi. Pembuangan garam yang sulit akan membuat kerja ginjal semakin berat dan pengulangan siklus energi atp/adp/amp menyebabkan tingginya produk adenosin yg akhirnya meningkatkan kadar asam urat dalam darah.

2. Penyakit Jantung akibat fokal infeksi

Hal ini menyebabkan infark miokard, yaitu penempelan bakteri/potongan bakteri (mudah menempel karena sudah teraglutinasi) dari mukosa baik melalui lumen jantung selain katup (endokarditis pada lipatan lumen jantung selain katup yang segera menjadi miokarditis dan paling sering terjadi dan kecil karena sering menempel pada lipatan), penempelan di katup (endokarditis), hingga penempelan bakteri pada pembuluh darah koroner yang menyebabkan aterosklerosis dan penempelan bakteri pada arteriol jantung melalui koroner yang menyebabkan miokarditis (luas).

Hasil akhir semuanya berupa infark miokard yang dapat dideteksi melalui EKG. Akan tetapi teori penempelan bakteri pada lumen jantung selain katup yang menjadi penyebab tersering gangguan pada jantung akibat fokal infeksi, serta penempelan bakteri pada koroner yang menjadi penyebab aterosklerosis, telah dihilangkan oleh dokter spesialis.

Mereka hanya mau menerima penempelan bakteri di katup (endokarditis pada katup) dan arteriol jantung saja (miokarditis luas karena bakteri menempel di arteriol setelah melalui koroner), sedangkan pada kasus aterosklerosis, diakui dapat menempel bakterinya apabila ada aterosklerosis yang terjadi sebelumnya, padahal teori fokal infeksi tidak menjelaskan begitu.

Hasil EKG kebanyakan pasien jantung selama ini adalah gangguan khas miokarditis (khas infark miokard) tetapi tidak sesuai sadapan vaskularisasi koroner dan jumlah sadapannya sedikit saja yang bermasalah (karena terbanyak berupa penempelan bakteri aglutinasi pada lipatan lumen jantung dan kecil/tidak luas tetapi sering).

Menurut teori fokal infeksi tentu itu merupakan bentuk miokarditis yang kuat dialami pasien akibat penempelan bakteri/potongan bakteri, yang sudah teraglutinasi pada lumen jantung (selain katup) dan tidak luas/kecil, dan ini sudah diadopsi sejak ratusan tahun.

Akan tetapi karena dokter spesialis telah menerbitkan teori bahwa bakteri tidak mungkin menempel pada lumen jantung selain katup, maka kasus kasus yg terjadi dengan gambaran EKG yang khas miokarditis akibat fokal infeksi dianggap normal normal saja.

Setelah bertahun tahun dibiarkan terjadi, hingga infark miokard meluas (memenuhi kriteria sadapan vaskularisasi koroner) dan bahkan hingga terjadi pembesaran otot jantung, barulah dokter spesialis menyatakan adanya gangguan jantung, karena sudah memenuhi kriteria mereka pada sadapan EKG.

Itupun dikatakan penyebabnya bukan karena fokal infeksi, melainkan karena penyebab lain dan paling sering akibat hipertensi yang dialami pasien bertahun tahun sebelumnya.

Dan ternyata hipertensinya merupakan akibat fokal infeksi juga. Jadi baik gangguan jantung dan hipertensinya (fokal infeksi pada ginjal) dinyatakan bukan disebabkan fokal infeksi oleh dokter spesialis, padahal keduanya akibat pembiaran fokal infeksi yang bertahun tahun.

3. Gagal ginjal akibat fokal infeksi (gagal ginjal IgAN)

Kelanjutan dari gangguan organ ginjal saat hipertensi yang telah lama terjadi dan dilakukan pembiaran terhadap infeksi mukosanya puluhan tahun hingga jumlah pembuluh darah ginjal yang menjadi sklerosis sangat banyak dan pada glomerulus juga terbentuk sklerosis dan terjadilah gagal ginjal.

Adanya IgA dan limfosit pada glomerulus yang sering ditemukan merupakan akibat penempelan bakteri/potongan bakteri yang khas berasal dari mukosa yang larut dalam darah, dan terbentuknya IgA tanpa galaktosa menunjukkan sangat lama sekali pembiaran fokal infeksinya sehingga limfosit B mengalami kelelahan dan melakukan adaptasi sel dengan membentuk IgA tanpa galaktosa.

Sklerosis yg berbentuk bulan sabit pada glomerulus, hanyalah bentuk penempelan bakteri/potongan bakteri disitu sehubungan lokasi masuk dan keluarnya aliran darah afferen dan efferen pada muara yg sama (berdekatan). Dan sklerosis pada ginjal (glomerulus) akibat fokal infeksi tentu lebih sering berada pada lokasi tersebut meskipun dapat terjadi pada lokasi lain di glomerulus, sehingga tidak mesti membentuk bulan sabit pada gambaran histopatologinya.

Teori ini diganti oleh dokter spesialis dengan menunjukkan kelainan Gd-IgA1 oleh dokter spesialis dan menyatakan penyebabnya bukanlah akibat fokal infeksi, melainkan akibat Gd-IgA1 yang mudah mengendap sehingga menghasilkan respon imun limfosit ke tempat pengendapan dan terjadilah sclerosis.

Padahal Gd-IgA1 hanyalah IgA tanpa galaktosa akibat adaptasi sel limfosit B yang bertahun tahun dipaksa memproduksi IgA akibat pembiaran fokal infeksi. Ini juga sama halnya dengan diabetes type 2 dimana sel beta pancreas dipaksa memproduksi insulin akibat adanya respon radang akibat pembiaran fokal infeksi menahun di pankreas, yang akhirnya sel beta melakukan adaptasi sel dengan memproduksi insulin yang tidak berkualitas.

4. Diabetes/pankreatitis akibat fokal infeksi

Kondisi jebolnya duktus pankreas yang membuat parenkim pankreas terpapar enzyme akibat fokal infeksi yang telah merusak pembuluh darah pankreas hingga merusak parenkim pancreas (ductus). Proses ini sama kasusnya pada orang yang mengalami trauma rongga perut (dipukul, terbentur dan sebagainya) yang merusak saluran duktus pankreas sehingga membuat menjadi diabetes type 1.

Hanya saja pada kasus fokal infeksi, proses pankreatitisnya dari diabetes tipe 2 kemudian menjadi diabetes tipe 1, dikarenakan kerusakan duktusnya sedikit demi sedikit, dan berulang ulang. Enzim yang merusak parenkim pankreas dapat mematikan bakteri, akan tetapi juga bisa merusak sel asinar maupun sel beta, dan buruknya lagi, dapat menghasilkan residu yang membuat terjadinya lipotoksisitas hanya di organ pankreas seperti asam lemak bebas.

Residu ini akan menyebabkan sel beta ditempat yang jauh untuk mengeluarkan insulin terus menerus (awal diabetes tipe 2 biasanya hipoglikemia) sehingga sel beta akhirnya keletihan dan mengeluarkan insulin yang tidak berkualitas (adaptasi sel) dan dimulailah terdiagnosa diabetes type 2. Bila fokal infeksi terus dibiarkan, dan kerusakan organ pankreas terus terjadi, maka jumlah sel beta akan semakin sedikit dan terjadilah diabetes type 1 yang berawal dari diabetes type 2.

Asam lemak bebas yg beredar di pankreas oleh sel duktus akan dimetabolisme dan sel duktus dapat berubah menjadi sel lemak (fat sel). Teori ini dihilangkan dan diganti dengan teori teori lain oleh dokter spesialis seperti kegemukan yang menyebabkan adipokine, gaya hidup, dan sebagainya, meskipun literaturnya sendiri menyatakan masih belum jelas dan belum diketahui.

5. Aneurisma yang membuat terjadinya stroke akibat perdarahan dan sumbatan

Pembuluh darah otak yg ditempeli bakteri/ potongan bakteri akan mengalami perubahan mulai dari normal, tonus berkurang (tahanan dinding pembuluh darah berkurang), kaku, penebalan hingga sklerosis.

Pada tahap tonus berkurang (tahap awal kerusakan) apabila terjadi pada lokasi yang mana pembuluh darahnya tidak ditempeli organ sekitarnya (seperti diotak, jantung/koroner, rongga perut dan sebagainya), bila terjadi peningkatan tekanan darah maka pembuluh darah yang sedang berkurang tonusnya (tahanan dinding pembuluh darahnya berkurang) dan di luarnya tidak ada tahanan dari organ sekitarnya, maka akan menumbung seperti balon.

Penumbungan seperti balon pada dinding pembuluh darah ini dapat membuat trombus dan pecah pembuluh darah. Meskipun fokal infeksi tidak mengetahui proses penumbungan ini sehubungan diagnostik penunjang dahulu belum ada, tetapi teori tonus berkurang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.

Dokter spesialis akan menghubungkan dengan penyebab berupa kelainan lain (syndrome tertentu) yang tidak ada hubungan sama sekali dengan fokal infeksi. Pada akhirnya akan sering terjadi pengulangan stroke akibat tidak dikejar dan diatasinya fokal infeksi pada pasien.

6. Vaskulitis pembuluh darah besar dan sedang

 

Terbentuknya focus infeksi baru oleh fokal infeksi, pada hulu/proksimal/aferen pembuluh darah besar yang sering berlokasi pada aorta hingga percabangan aorta (sering bakteri TBC), menyebabkan respon radang fokal infeksi berulang berupa kemerahan pada kulit sesuai organ yang dialiri (akibat penyebaran bakteri dan toksinnya), hingga terbentuk penebalan pada pembuluh darah besar dari hulu/proksimal/afferent sampai hilir/distal/efferennya (bila telah terjadi puluhan tahun). Dokter spesialis menghubungkan penyebab ini dengan Gd-IgA1 yang mudah mengendap dan bukan akibat fokal infeksi.

7. Thyroiditis baik yang toksik maupun yang non toksik

Sering disebabkan oleh fokal infeksi yang membuat jebol folikel tiroid, dan membuat isinya keluar dan larut dalam darah hingga mematikan bakteri fokal infeksi, yang akhirnya membuat respon immune baru dengan menganggap isi folikel thyroid sebagai antigen dan membentuk IgA khusus untuk isi folikel thyroid.

Limfosit akan terus merespon IgA, baik oleh fokal infeksi maupun akibat isi folikel thyroid yang jebol, hingga masuk dan memenuhi folikel thyroid dengan limfosit. Dokter spesialis akan menyatakan fokal infeksi bukanlah penyebab thyroiditis, melainkan akibat lain yang membuat jebol folikel thyroid. Toksik maupun non toksiknya hanya berdasarkan masuk atau tidaknya isi folikel thyroid dalam sirkulasi darah yang mengganggu tubuh, tidak berhubungan sama sekali dengan penyebabnya.

Dengan demikian, apa yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto mengenai adanya agenda tersembunyi dalam bidang kesehatan ternyata terbukti terjadi selama ini. Pengaruh tersebut telah masuk ke Indonesia melalui kolegium IDI, yang selama ini menurunkan derajat keilmuan dokter umum dan merekomendasikan teori-teori kedokteran yang belum tentu tepat diterapkan di Indonesia.


(rah/rah)

Tags
Recommendation