Jadi Andalan Pemerintah, PLTSa Solusi bagi Lingkungan dan Emisi di RI?

Dwi Wulan Ramadani,  CNBC Indonesia
09 December 2025 15:20
Dwi Wulan Ramadani
Dwi Wulan Ramadani
Dwi Wulan Ramadani mempunyai latar belakang ekonomi serta keuangan islam dan selama ini banyak berkecimpung di isu keuangan berkelanjutan, kebijakan iklim, dan transisi energi. Dia punya ketertarikan besar pada upaya menjaga lingkungan dan mendorong transi.. Selengkapnya
Chief Executive Officer, Danantara Indonesia, Rosan Roeslani saat melakukan kunjungan kerja ke fasilitas waste-to-energy (WtE) kelas dunia milik Weiming di Yongqiang, Wenzhou, China. (Instagram/rosanroeslani)
Foto: Chief Executive Officer Danantara Indonesia Rosan Roeslani saat melakukan kunjungan kerja ke fasilitas waste-to-energy (WtE) kelas dunia milik Weiming di Yongqiang, Wenzhou, China, beberapa waktu lalu. (Instagram/rosanroeslani)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pemerintah berambisi mendorong pengembangan fasilitas waste to energy secara besar-besaran, dengan dalih menanggulangi sampah yang menggunung dan transisi energi. Untuk mendukung hal itu, Badan Pengelola Investasi Danantara Indonesia menerbitkan Patriot Bond untuk mendanai proyek ini. Pemerintah juga menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025 yang menjadi payung hukum proyek-proyek waste to energy.

Indonesia kini menghadapi situasi darurat sampah. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) 2025 menunjukkan timbunan sampah di 335 Kota/Kabupaten Se-Indonesia mencapai 36 juta ton per tahun, namun hanya 32% sampah yang telah dikelola. Kondisi ini berpotensi menimbulkan masalah lingkungan, pencemaran, dan kesehatan masyarakat, terutama di sekitar tempat pembuangan akhir (TPA).

Di tengah ambisi membangun infrastruktur waste to energy ini, kabar mengejutkan datang dari warga sekitar lokasi proyek Refuse Derived Fuel (RDF) di Rorotan, Jakarta, yang telah mulai uji coba sejak awal Oktober 2025. Warga sekitar melaporkan bau menyengat dan sejumlah anak mengalami gangguan pernapasan, akibat proses pengolahan di proyek tersebut.

Proyek RDF ini berbeda dengan proyek waste to energy yang ingin didorong pemerintah yakni Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Namun, keduanya masih satu nafas, bedanya RDF menghasilkan bahan bakar padat untuk industri, sementara PLTSa menghasilkan listrik.

Kasus ini memunculkan pertanyaan: apakah ambisi program waste to energy pemerintah merupakan solusi terbaik atau justru menjadi jalan pintas yang berisiko menyesatkan arah kebijakan lingkungan dan energi bersih Indonesia?

Solusi Mengurangi Sampah
Sesuai Perpres Nomor 109 Tahun 2025, pemerintah seharusnya menempatkan proyek waste to energy sebagai solusi pengelolaan sampah untuk melindungi lingkungan, mengurangi tekanan di TPA, dan memulihkan nilai dari apa yang sebelumnya dianggap tidak berharga.

Pembangkitan energi merupakan manfaat tambahan atau "bonus" yang diperoleh dari proyek, namun bukan jalan menuju energi bersih. Sebab, sampah yang dibakar bukan hanya yang organik, tetapi juga campuran sampah plastik yang sejatinya merupakan produk turunan dari minyak bumi.

Dorongan besar-besaran terhadap proyek waste to energy justru berpotensi memunculkan permintaan untuk memenuhi kebutuhan sampah sebagai bahan baku energi, yang pada ujungnya menjadi kontraproduktif dengan tujuan mengurangi timbunan sampah.

Kondisi ini menghilangkan dorongan awal untuk mengurangi produksi sampah, terutama plastik sekali pakai, dan secara tidak langsung melanggengkan ketergantungan pada industri minyak bumi. Pada akhirnya, Indonesia akan tetap terbelenggu dengan sampah sebagai masalah yang sama, namun dibungkus dengan wajah baru.

Bukan Solusi Memangkas Emisi
Dalam fasilitas waste to energy, insinerator digunakan untuk membakar sampah dalam suhu tinggi untuk menghasilkan energi. Proses ini justru menghasilkan banyak emisi, mulai dari COâ‚‚ dan uap air, hingga polutan seperti NOâ‚“, SOâ‚‚, dan HCl. Emisi COâ‚‚ dari insinerator ini bisa setara atau bahkan lebih tinggi dari pembakaran batu bara, tergantung dari teknologi, bahan kadar plastik, dan efisiensi proses pembakarannya.

Insinerator juga melepaskan senyawa beracun seperti dioksin dan furan, zat yang sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kanker, gangguan hormon, kerusakan sistem imun, serta masalah reproduksi dan perkembangan.

Tak hanya itu, logam berat seperti merkuri dan partikel halus yang dilepaskan ke udara dapat merusak saraf, otak anak, paru-paru, dan meningkatkan risiko penyakit jantung maupun kematian dini.

Sisa abu pembakarannya juga dikategorikan sebagai limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang membutuhkan penanganan mahal dan berisiko tinggi. Laporan Aliansi Zero Waste Indonesia (2023) menyebutkan pengalaman di Amerika Serikat dan Norwegia menunjukkan bahwa kebocoran abu dapat mencemari udara dan air.

Indikasi-indikasi tersebut bisa diartikan insinerator tidak benar-benar memusnahkan sampah, melainkan memindahkan polusi dari darat ke udara, dan tetap berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Namun, Perpres 109/2025 memberi legitimasi bagi ekspansi waste to energy tanpa memperjelas mekanisme evaluasi emisi, pemantauan kesehatan masyarakat, atau integrasi dengan target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. Dengan kata lain, kebijakan ini justru bisa menjadi jalan pintas yang menabrak komitmen iklim nasional.

Potensi Membelokkan Arah Transisi Energi
Danantara telah memilih tujuh lokasi dari rencana 33 proyek waste to energy untuk masuk tahap pendanaan. Meskipun diklaim menjanjikan secara ekonomi, proyek-proyek ini akan menyedot biaya besar selama tahap pembangunannya, yakni diperkirakan mencapai Rp 91 triliun.

Padahal, terdapat pilihan energi terbarukan lainnya seperti surya yang lebih murah. Sebagai gambaran, sebuah riset dari LPEM UI 2022 mencatat Levelized Cost of Energy or Electricity (LCOE) insinerasi sampah (PLTSa) di Pekanbaru sebesar USD 21,03 sen per kilowatt hour (kWh) atau setara Rp 3.400/kWh (asumsi kurs Rp 16.000/USD). Sementara LCOE PLTS terapung di Karangkates hanya USD 4,97 sen/kWh atau setara Rp 795/kWh.

Tak hanya itu, dalam praktiknya, biaya operasional PLTSa sangat tinggi terutama jika mengikuti standar emisi dan keselamatan yang benar. Biaya pengolahan sampah per ton bisa melebihi kemampuan fiskal daerah yang rata-rata di bawah Rp 500 ribu/ton. Studi Universitas Wiralodra menunjukkan, biaya ideal pengelolaan sampah umumnya hanya Rp 265 ribu-Rp 308 ribu/ton, namun bisa mencapai Rp 1 juta untuk pengolahan intensif.

Apabila biaya sosial dan lingkungan diperhitungkan, maka nominalnya akan lebih besar lagi. Akibatnya, proyek PLTSa justru berpotensi membebani keuangan daerah dan mengurangi kemampuan daerah untuk menangani sampah sehari-hari. Selain itu, setiap pengolahan 1.000 ton sampah diperkirakan hanya akan menghasilkan kurang dari 15 megawatt (MW). Hal ini berarti biaya yang dikeluarkan untuk PLTSa mahal, namun kapasitas listrik yang dihasilkan relatif kecil.

Pemerintah seharusnya memprioritaskan diversifikasi sumber energi bersih yang efisien, rendah biaya, dan benar-benar berkelanjutan. Investasi perlu diarahkan pada pengembangan energi surya, angin, dan bioenergi non-limbah yang memiliki potensi besar di Indonesia, serta tidak menimbulkan dampak lingkungan dan sosial tambahan.

Dalam mendorong transisi energi, pemerintah perlu menempatkan aspek keterjangkauan dan pemerataan manfaat bagi masyarakat, bukan sekadar mengejar target pembangunan infrastruktur energi.


(miq/miq)