Menggugah Tafsir Mahkamah Konstitusi atas UU Zakat

Fawzi Muhtadi,  CNBC Indonesia
03 November 2025 10:25
Fawzi Muhtadi
Fawzi Muhtadi
Fawzi Muhtadi merupakan seorang advokat dan saat ini aktif di Forum Zakat dengan jabatan sebagai Manajer Bidang Advokasi dan Pengembangan Ekosistem. Fawzi telah berkecimpung di dunia tata kelola zakat dan filantropi sejak tahun 2020. Saat ini, Fawzi sedang.. Selengkapnya
Gedung Mahkamah Konstitusi RI. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di Jakarta. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Tulisan Regina Fadjri Andira (SindoNews, 20/10/2025) berjudul " Revisi UU Pengelolaan Zakat dalam Putusan MK, Rekomendatif Bukan Imperatif" membangun kembali diskursus mengenai tata kelola zakat pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

Hal menarik yang menjadi highlight pada tulisan tersebut, Fadjri memaknai bahwa rekomendasi MK pada bagian pertimbangan hukum putusan tersebut hanya sebatas saran moral hukum, bukan kewajiban konstitusional.

Dalam dinamika hukum konstitusi Indonesia, kesalahpahaman mengenai sifat dan bagaimana cara membaca putusan MK kerap muncul dan perlu diluruskan. Pemahaman bahwa membaca putusan MK hanya sebatas melalui amar putusan serta memandang putusan MK bersifat rekomendatif semata bukan hanya keliru secara yuridis, tetapi juga berbahaya bagi supremasi konstitusi dan kepastian hukum.

Pascaputusan MK Nomor 54/PUU-XXIII/2025 dan Nomor 97/PUU-XXII/2024 terkait UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang dibacakan pada 28 Agustus 2025 silam, terdapat pemahaman keliru oleh banyak pihak mengenai sifat mengikat dari perintah MK kepada pembentuk undang-undang untuk merevisi UU Zakat paling lambat dua tahun sejak putusan diucapkan.

Sifat Final dan Mengikat Putusan MK
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2020 dengan tegas menyebutkan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding). Jimly Asshiddiqie menegaskan, putusan MK berlaku dan mengubah norma hukum secara otomatis tanpa perlu eksekusi dari lembaga lain. Enny Nurbaningsih menambahkan bahwa pertimbangan hukum dan amar putusan merupakan satu kesatuan yang memiliki kekuatan mengikat.

Preseden menunjukkan konsistensi prinsip ini. Dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-XXII/2024 terkait Pilkada, Mahkamah menegaskan pertimbangan hukum memiliki kekuatan hukum mengikat karena merupakan ratio decidendi atau alasan utama di balik putusan.

Putusan MK Nomor 129/PUU-XXIII/2025 terkait Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga menegaskan bahwa kewajiban tindak lanjut atas putusan MK bersumber langsung dari konstitusi, termasuk ketika perintah hanya termuat dalam pertimbangan hukum.

Dengan demikian, memahami putusan MK tidak bisa hanya dari amar, tetapi harus mencakup pertimbangan hukumnya. Kedua bagian tersebut membentuk satu kesatuan normatif yang sama-sama mengikat lembaga negara yang menjadi addressat putusan.

Preseden Judicial Order
Praktik judicial order bukan hal baru dalam putusan MK. Dalam Putusan Nomor 20/PUU-XIX/2021 mengenai UU Guru dan Dosen, meski amar putusan menolak permohonan, MK mengeluarkan perintah (judicial order) kepada Kementerian Pendidikan untuk menindaklanjuti temuan konstitusional.

Contoh lainnya ialah Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Cipta Kerja, yang menyatakan undang-undang tersebut inkonstitusional bersyarat dan memberi waktu dua tahun bagi DPR dan pemerintah untuk memperbaikinya.

Dua preseden ini memperjelas bahwa judicial order, baik muncul dalam amar maupun pertimbangan hukum, tetap bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan. Karena itu, perintah MK untuk merevisi UU Zakat juga memiliki kekuatan hukum imperatif, bukan sekadar rekomendatif.

Zakat sebagai Instrumen Pengentasan Kemiskinan
Putusan MK mengenai UU Zakat menjadi momentum memperkuat tata kelola zakat sebagai instrumen pengentasan kemiskinan. MK menekankan perlunya pemisahan kewenangan antara regulator dan operator, jaminan kebebasan muzaki, kesempatan adil bagi seluruh lembaga amil zakat, serta penerapan prinsip good zakat governance.

Optimalisasi zakat sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, terutama cita keempat tentang pembangunan sumber daya manusia dan cita keenam tentang pemerataan ekonomi. Dengan tata kelola zakat yang lebih transparan dan partisipatif, Indonesia berpeluang besar menurunkan tingkat kemiskinan ekstrem pada tahun 2026.

Zakat yang dikelola baik akan menjadi pilar strategis menuju visi Indonesia Emas 2045. Seperti disampaikan K.H. Ma'ruf Amin, gerakan zakat yang masif dapat membangun kekuatan sosial-ekonomi untuk mengatasi kemiskinan masyarakat.

Kolaborasi Pentahelix dalam Tata Kelola Zakat
Tata kelola zakat berkeadilan hanya dapat diwujudkan melalui kolaborasi pentahelix yang melibatkan pemerintah, akademisi, sektor swasta, masyarakat, dan media. Model ini terbukti efektif dalam berbagai program pembangunan berkelanjutan.

Dalam konteks zakat, Kementerian Agama berperan sebagai regulator, universitas mengembangkan metodologi pengelolaan, BAZNAS dan LAZ menjadi operator pengumpulan dan distribusi, organisasi masyarakat sipil berperan dalam advokasi, dan media menjaga transparansi publik. Pendekatan kolaboratif ini memastikan efisiensi sekaligus keadilan distribusi manfaat zakat bagi mustahik.

Langkah Konkret Revisi UU Zakat
Melalui Keputusan DPR RI Nomor 64/DPR RI/I/2024-2025, Revisi UU Zakat masuk Prolegnas longlist 2024-2029. Sesuai amanat MK, revisi dipercepat masuk Prolegnas Prioritas 2026 sebagaimana disepakati Badan Legislasi DPR pada 18 September 2025.

Revisi UU Zakat bukan sekadar memenuhi kewajiban konstitusional, tetapi kesempatan membangun sistem zakat nasional yang lebih adil, efektif, dan berdampak. Proses revisi harus melibatkan partisipasi luas seluruh pemangku kepentingan dalam semangat kolaborasi pentahelix, dengan prinsip good zakat governance sebagai ruh utama.

Menyikapi Putusan MK dengan Tepat
Putusan MK bukanlah rekomendatif, melainkan imperatif. Ia adalah perintah hukum yang mengikat, didukung oleh teori hukum konstitusional, pendapat para ahli serta ketentuan perundang-undangan.

Preseden Putusan MK Nomor 20/PUU-XIX/2021 dan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 membuktikan bahwa judicial order memiliki kekuatan mengikat. Terlebih di dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-XXII/2024 & Putusan MK Nomor 129/PUU-XXIII/2025 dijelaskan dengan tegas bahwa pertimbangan hukum putusan Mahkamah merupakan sebuah kesatuan dari putusan secara keseluruhan.

Perbaikan tata kelola zakat melalui kolaborasi pentahelix menjadi langkah signifikan dalam mengoptimalkan zakat sebagai instrumen pengentasan kemiskinan. Momentum ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Revisi UU Zakat harus diikuti pemahaman mendalam tentang perintah MK, melibatkan kolaborasi pentahelix yang bermakna, dan didorong dengan komitmen mewujudkan tata kelola zakat berkeadilan.

Dengan demikian, kita tidak hanya menghormati supremasi konstitusi, tetapi juga membuka jalan menuju sistem pengelolaan zakat yang adil, transparan, dan berdampak bagi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan bangsa.


(miq/miq)