Sikap RI dalam The Unjust War & Masa Depan Palestina

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Laporan World Giving Index 2024 menyebutkan Indonesia memperoleh peringkat satu dunia sebagai bangsa dermawan selama tujuh tahun berturut-turut dari taun 2018 hingga 2024. Tapi di balik angka itu, jurang ketimpangan masih menganga. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per semester I tahun 2025 menunjukkan rasio gini sebesar 0,375, artinya segelintir kelompok masih menguasai sebagian besar sumber daya ekonomi.
Situasi saat ini terlalu sibuk bicara tentang investasi, pertumbuhan, dan modal asing, tetapi lupa bahwa Islam pernah menawarkan konsep distribusi kekayaan yang jauh lebih beradab, yaitu wakaf. Di era modern, ketika uang bergerak lebih cepat daripada niat baik, maka muncullah wakaf tunai (cash waqf).
Wakaf tunai muncul sebagai salah satu instrumen filantropi Islam yang paling menjanjikan. Wakaf bukan sekadar amal, tetapi sistem ekonomi alternatif yang berorientasi pada keberlanjutan. Jika zakat menyelesaikan masalah hari ini, maka wakaf menyelamatkan masa depan. Seperti menanam benih yang berbuah terus-menerus, bahkan setelah pewakaf meninggal dunia.
Namun, mengapa potensi sebesar itu belum mampu menjahit robekan besar dalam kain sosial? Mengapa kemiskinan masih menjadi wajah tetap di banyak daerah, sementara kesalehan finansial umat Islam terus meningkat? Jawabannya ada pada ketidakterhubungan antara niat baik dan sistem ekonomi produktif. Wakaf sering berhenti di niat, bukan menjadi gerakan.
Fakta Ekonomi Wakaf Tunai di Indonesia
Menurut Badan Wakaf Indonesia (2025) potensi wakaf tunai di Indonesia mencapai sekitar Rp181 triliun per tahun. Angka ini berasal dari proyeksi jika sekitar 50 juta Muslim kelas menengah menyumbangkan rata-rata Rp300 ribu per tahun. Namun, fakta di lapangan jauh dari ideal, realisasi penghimpunan wakaf uang baru sekitar Rp3,5 triliun atau 1,9% dari potensi nasional pada Oktober 2025.
Kesenjangan ini menunjukkan masalah struktural dan kultural sekaligus. Struktural, karena sistem kelembagaan wakaf tunai masih terbatas, belum banyak nazhir yang profesional dan transparan dalam mengelola dana umat. Kultural, karena banyak masyarakat yang belum memahami konsep wakaf tunai secara mendalam. Sebagian masih beranggapan bahwa wakaf hanya bisa berupa tanah atau bangunan masjid.
Dalam fikih kontemporer, wakaf tunai telah mendapat legitimasi kuat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa sejak tahun 2002 yang membolehkan wakaf uang, dengan syarat pokok dana wakaf harus dijaga nilainya dan hasil investasinya disalurkan untuk kemaslahatan.
Hal ini merupakan bentuk transformasi yang memungkinkan wakaf menjadi alat mobilisasi ekonomi umat di era modern, di mana arus uang bisa bergerak cepat, lintas sektor, dan produktif.
Problematika dan Tantangan Implementasi
Seringkali potensi besar wakaf tunai kandas di tengah jalan. Ada tiga kelompok masalah utama yang membuat benang wakaf sulit menjahit kain keadilan sosial di Indonesia, yaitu
• Kurangnya Literasi dan Kepercayaan Publik: Banyak umat ragu untuk menyalurkan wakaf tunai karena khawatir dana tidak dikelola dengan aman. Kasus-kasus penyalahgunaan dana sosial di masa lalu membuat masyarakat cenderung berhati-hati. Akibatnya, partisipasi masyarakat masih rendah. Survei BWI 2024 menunjukkan bahwa hanya 22% responden Muslim memahami konsep wakaf tunai secara benar.
• Regulasi dan Sinkronisasi Kelembagaan: Meski Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan PP Nomor 25 Tahun 2018 sudah menjadi dasar hukum, namun implementasi di lapangan belum optimal. Banyak nazhir yang belum professional utamanya ditingkat lokal berupa perseorangan atau organisasi kecil tanpa dukungan sistem teknologi keuangan modern. Selain itu, koordinasi antara BWI, Kementerian Agama, dan lembaga keuangan syariah masih sering berjalan parsial.
• Kapasitas Nazhir dan Akses Investasi: Sebagian besar nazhir masih bekerja sukarela dan belum memiliki kemampuan manajemen investasi yang memadai. Padahal pengelolaan wakaf tunai memerlukan pengetahuan finansial, mitigasi risiko, dan prinsip kehati-hatian sebagaimana lembaga keuangan. Banyak proyek produktif mandek di tengah jalan karena tidak ada pendampingan profesional.
Studi Kasus Global Wakaf Produktif
Singapura berhasil menata wakaf secara efisien melalui Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS), padahal populasi Muslimnya kecil. Semua data wakaf meliputi tanah, bangunan, dan uang tercatat digital dan diaudit setiap tahun.
Hasil wakaf digunakan untuk pendidikan dan pengembangan sosial Muslim. Keberhasilan MUIS terletak pada transparansi total dan pendekatan public trust. Pemerintah memberikan dukungan regulasi dan pengawasan profesional, tetapi tetap menghormati prinsip syariah. Indonesia sudah menerapkan model tersebut, terbukti adanya PP Nomor 42 Tahun 2006 mengatur Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) wajib menyediakan laporan publik.
Hal ini menjelaskan bahwa nazhir harus mengelola dana wakaf secara transparan dan teratur, termasuk laporan keuangan yang dapat diakses oleh wakif, namun realitanya masih berjalan setengah-setengah. Masyarakat hanya dapat memantau beberapa proyek wakaf tunai dan pengelolaannya secara transparan, belum dalam format real-time dan komprehensif untuk semua wakaf tunai di seluruh Indonesia.
Aplikasi SAMAWI (Sistem Akuntansi dan Manajemen Wakaf Indonesia) dan Siwak (Sistem Informasi Wakaf) telah disediakan oleh pemerintah dan BWI, namun belum semua nazhir menggunakan aplikasi tersebut. Akses digital di daerah-daerah terpencil dan kapasitas sumber daya manusia dalam mengelola teknologi dan data, serta wakaf uang produktif secara profesional masih terbatas.
Solusi dan Strategi Menghidupkan Wakaf Tunai
Untuk menjadikan wakaf tunai sebagai benang penjahit keadilan sosial, diperlukan pendekatan multi-level dari reformasi kelembagaan hingga gerakan kesadaran publik.
• Membangun Ekosistem Digital dan Transparan: Keterbukaan adalah fondasi kepercayaan. Pemerintah dan BWI dapat mengembangkan platform nasional wakaf digital terpadu, di mana setiap proyek, laporan, dan hasil investasi bisa dipantau publik. Teknologi blockchain atau sistem audit daring dapat digunakan untuk menjamin akurasi dan transparansi. Langkah ini bukan hanya soal modernisasi, tetapi juga soal membangun trust economy, bahwa setiap rupiah wakaf benar-benar bekerja untuk kemaslahatan.
• Profesionalisasi Nazhir dan Kolaborasi dengan Sektor Finansial: Nazhir harus menjadi manajer sosial-ekonomi yang profesional. Maka diperlukan standardisasi kurikulum pelatihan nasional dan sertifikasi yang diakui secara resmi. Di sisi lain, kolaborasi dengan perbankan syariah, venture capital, dan lembaga keuangan mikro bisa memperluas dampak ekonomi wakaf. Skema Wakaf-Linked Sukuk yang diterbitkan Kemenkeu sejak 2018 bisa diperluas.
• Kampanye Literasi dan Edukasi Publik: Keadilan sosial tidak akan terwujud tanpa kesadaran kolektif. Diperlukan kampanye yang kreatif dan berkelanjutan untuk mengenalkan konsep cash waqf di kalangan masyarakat urban dan milenial. Sekolah, kampus, dan komunitas Muslim dapat menjadi ruang edukasi ekonomi Islam yang membumi, bukan sekadar teoritis.
Dari Amal Individu Menuju Gerakan Sosial
Membangun keadilan sosial bukanlah pekerjaan satu hari, dan wakaf bukanlah solusi Ajaib, tetapi sebagai benang halus yang mampu menjahit robekan paling dalam pada struktur masyarakat. Dari sejarah Islam, diketahui bahwa peradaban besar dibangun bukan hanya dari perang atau politik, tetapi dari solidaritas ekonomi umat, seperti masjid, madrasah, rumah sakit, bahkan pasar, dulu dibangun dari wakaf.
Tantangan saat ini telah berbeda, keadilan sosial tidak hanya diukur dari jumlah orang miskin, tapi dari akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi. Wakaf tunai bisa menjadi jembatan spiritual yang menghubungkan keberlimpahan sebagian umat dengan kekurangan sebagian lainnya.
Indonesia tidak kekurangan dana, hanya kekurangan kepercayaan dan kesadaran kolektif. Jika setiap Muslim kelas menengah mau mewakafkan sebagian kecil hartanya secara rutin dan sistem pengelolaannya transparan, kita sedang menulis ulang sejarah ekonomi Islam, bukan dengan tinta kebijakan, tapi dengan tindakan nyata.
Wakaf tunai bukan hanya tentang uang yang diserahkan, tapi berupa manifestasi cinta yang berkelanjutan, ikhtiar manusia untuk tetap memberi bahkan setelah mati. Dalam dunia yang penuh ketimpangan, mungkin hanya dengan benang semacam ini yang bisa menjahit kembali pakaian robek bernama keadilan sosial.