Pengadaan Jet Tempur J-10 Tanpa Perencanaan Matang

Satu dari 16 program pembelian peralatan pertahanan yang mendapatkan Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) dari Menteri Keuangan pada 12 September 2025 ialah pengadaan jet tempur generasi 4.5 senilai US$ 1,6 miliar. Apakah J-10B yang akan diimpor oleh Indonesia termasuk generasi 4.5 atau generasi keempat masih harus menunggu ketersediaan informasi lebih lanjut.
Sebab radar yang diadopsi oleh J-10B adalah radar Passive Electronically Scanned Array (PESA) sehingga dikelompokkan sebagai penempur generasi keempat, kecuali jika Indonesia mendatangkan varian J-10B yang telah memakai radar Active Electronically Scanned Array (AESA) yang menjadi salah satu ciri jet tempur generasi 4.5.
Sampai saat ini tidak ada pesawat tempur Indonesia yang sudah menggunakan radar AESA, di mana jet tempur pertama negeri ini yang akan memanfaatkan tipe radar tersebut adalah Rafale F4i yang akan diserahkan pada triwulan pertama 2026.
Program akuisisi J-10B merupakan salah satu contoh kegiatan pengadaan mutakhir yang tidak disertai dengan perencanaan matang sebab bersifat top-down sehingga pendapat dari calon pengguna hampir tidak didengarkan. Perencanaan matang yang dimaksud bukan saja meliputi aspek operasional, logistik dan sumber daya manusia, tetapi mencakup juga aspek geopolitik, kebijakan pertahanan maupun industri pertahanan.
Menyangkut aspek geopolitik, terlepas bahwa Indonesia hendak bersahabat dengan semua anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia tidak perlu naif bahwa di masa depan China tidak akan berubah menjadi ancaman potensial. Indonesia hendaknya tidak naif pula bahwa karena Amerika Serikat sebagai kekuatan utama saat ini seringkali melanggar hukum internasional demi kepentingan nasionalnya, maka tingkah laku serupa tidak akan ditiru oleh China.
Hal yang menimpa negara ASEAN lain yaitu Filipina masih belum terlambat untuk dijadikan referensi bahwa di masa depan China tidak akan menjadi kekuatan global yang taat pada aturan-aturan hukum internasional yang telah disepakati oleh mayoritas negara di dunia.
Kenaifan Indonesia dalam memperlakukan hubungan dengan China sudah terjadi sejak pemerintahan saat ini berkuasa di Jakarta, ditandai oleh Pernyataan Bersama Indonesia dan China pada 9 November 2024 yang pada paragraf 2 butir 9 berbunyi "Kedua pemerintahan mencapai kesepahaman tentang pengembangan bersama wilayah maritim yang saat ini tengah berada dalam situasi tumpang tindih klaim".
Padahal sejak awal 1990-an hingga Oktober 2024 Indonesia tidak pernah secara eksplisit maupun implisit mengakui klaim sembilan garis putus-putus China di Laut China Selatan, sehingga tidak ada tumpang tindih klaim perbatasan maritim antara Indonesia dan China.
Rencana mendatangkan J-10B tidak lepas dari dinamika hubungan Indonesia dan Amerika Serikat, khususnya upaya gagal pihak pertama untuk melakukan peningkatan kemampuan armada F-16 kepada firma pertahanan Turki tanpa seizin pihak kedua sebagai negara produsen jet tempur bermesin tunggal tersebut.
Perencanaan pertahanan sebagai bagian dari kebijakan pertahanan sejak 2020 hingga sekarang selalu mengalami perubahan cepat dalam waktu yang singkat. Kondisi ini tercermin dari perubahan rencana kebutuhan setiap tahun yang diikuti oleh revisi Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2020-2024.
Upaya mengimpor J-10B ialah salah satu bagian dari perubahan terus menerus DPRLN-JM 2020-2024, padahal di dalam dokumen tersebut sudah ada program akuisisi 42 Rafale buatan Dassault Aviation. Bahkan hingga Oktober 2023 masih tercantum kegiatan pembelian F-15EX dari Amerika Serikat, sebelum program tersebut terkena pemotongan anggaran Pinjaman Luar Negeri (PLN) pada 28 November 2023.
Terus bergantinya perencanaan pertahanan merupakan kebijakan Kementerian Pertahanan dan seringkali tidak melibatkan partisipasi signifikan matra-matra TNI sebagai calon pengguna akhir sistem senjata yang dibeli.
Terlepas amanat Pasal 16 ayat 6 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menetapkan bahwa kebijakan pengadaan merupakan kewenangan Menteri Pertahanan, pendapat dari calon pemakai akhir hendaknya diperhatikan karena mereka yang akan bertanggungjawab melaksanakan operasional maupun pemeliharaan dan perawatan sistem senjata yang dibeli oleh Kementerian Pertahanan.
Tidak dapat dimungkiri fakta bahwa di masa silam ketika penggunaan PLN ditentukan oleh matra TNI dan bukan oleh Kementerian Pertahanan, peran Kementerian Pertahanan cenderung sebagai pelengkap saja. Perencanaan pertahanan hendaknya melibatkan matra TNI secara signifikan sehingga peralatan pertahanan dibeli oleh Kementerian Pertahanan masih memiliki potensi untuk diintegrasikan ke dalam sistem yang kini dioperasikan oleh pihak pertama.
Industri pertahanan Indonesia tidak akan mendapat alih teknologi yang signifikan dengan pengadaan J-10B mengingat jet tempur tersebut adalah bekas pakai. Andaikata ada janji-janji tentang alih teknologi terkait akuisisi penempur tersebut, hal demikian lebih sebagai pemanis saja dan tidak akan memberikan kontribusi apapun pada industri pertahanan negeri ini.
Apalagi keputusan mengimpor J-10B ialah kebijakan top down, sehingga sulit untuk membayangkan bahwa dari awal telah disusun rencana paket alih teknologi yang akan diminta kepada Cina. Dari sudut pandang teknologi, J-10B adalah jet tempur yang inferior di keluarga besar J-10 sehingga wajar bila terdapat keraguan akan ada paket alih teknologi yang signifikan kepada Indonesia.
Isu operasional, logistik dan sumberdaya manusia akan menjadi tantangan bagi TNI Angkatan Udara sebagai operator J-10B sebagai konsekuensi dari program pembelian tanpa perencanaan matang. Sebagai contoh, saat ini TNI Angkatan Udara harus menyiapkan sumberdaya manusia, baik penerbang maupun teknisi, guna mengantisipasi penyerahan 42 Rafale F4i antara 2026 hingga 2030.
Tidak mudah untuk menyiapkan penerbang sebab jumlah peserta Kursus Pengenalan Penerbang Pesawat Tempur harus ditingkatkan secara drastis. Apakah jumlah pesawat latih seperti KT-1B dan T-50i saat ini cukup untuk memenuhi penerbang tempur baru bagi 42 Rafale F4i dan juga nantinya J-10B?
Dalam hal logistik, bagaimana biaya operasional dan pemeliharaan dan perawatan J-10B dibandingkan pesawat tempur lainnya? J-10B masih mengadopsi sistem pendorong buatan Rusia yakni AL-31FN yang meskipun masih satu keluarga dengan AL-31F yang dipakai oleh Su-27/30 TNI Angkatan Udara, akan tetapi kedua sistem pendorong mempunyai perbedaan teknis sehingga tidak dapat saling tukar dalam pemakaian.
Berapa biaya sustainment J-10B per 2000 jam terbang bila dibandingkan dengan Su-27/30? Apakah benar ongkos sustainment Su-27/30 yang merupakan jet tempur bermesin ganda tidak menyentuh Rp 300 miliar, sementara J-10B yang ditenagai oleh satu sistem pendorong konon menyentuh nilai triliunan rupiah?
Persoalan sustainment akan selalu menghantui ketika program pengadaan tidak disertai dengan perencanaan matang, termasuk melibatkan calon pengguna dalam hal-hal yang bersifat teknis operasional. Masih harus dilihat pula apakah mulai tahun anggaran 2026 dan seterusnya alokasi anggaran pemeliharaan dan perawatan bagi pesawat tempur TNI Angkatan Udara akan meningkat signifikan atau tidak.
(miq/miq)