Pengadaan Pesawat Tempur Generasi Kelima Berdasarkan Selera

Alman Helvas Ali, CNBC Indonesia
22 September 2025 13:50
Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali adalah konsultan pada Marapi Consulting and Advisory dengan spesialisasi pada defense industry and market. Pernah menjadi Country Representative Indonesia untuk Jane’s Aerospace, Defense & Security pada tahun 2012-2017. Sebagai konsultan.. Selengkapnya
Tensi antara Amerika Serikat dengan Venezuela memanas pekan ini.
Washington bahkan mengerahkan lima jet tempur siluman tercanggih F-35 ke Puerto Rico pada Sabtu (13/9/2025), sekutu AS yang merupakan tetangga Venezuela. (AFP/MIGUEL J. RODRIGUEZ CARRILLO)
Foto: Ilustrasi jet tempur F-35. (AFP/MIGUEL J. RODRIGUEZ CARRILLO)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Salah satu program yang sangat miskin pertimbangan mendalam sekaligus berdasarkan selera yang disetujui dalam Penetapan Sumber Pembiayaan ke-11 untuk Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DPRLN-JM) 2020-2024 ialah pembelian pesawat tempur generasi kelima.

Rencana pengadaan jet tempur yang diklaim sebagai generasi kelima produksi Turki dan hanya mempunyai satu purwarupa saja menunjukkan absennya aspek pertimbangan teknologi dalam pengambilan keputusan impor sistem senjata. Berbekal utang senilai US$ 1,2 miliar, Indonesia hendak mengimpor penempur yang belum matang dan terbukti dari aspek teknologi dan engineering, bahkan spesifikasi final pun belum dibekukan.

Menyangkut rencana akuisisi jet tempur yang diklaim sebagai generasi kelima, terdapat beberapa catatan dari aspek teknologi dan engineering mengapa keputusan pengadaan tersebut salah. Pertama, kemampuan manufaktur. Jet tempur generasi kelima memerlukan beragam kemampuan khusus untuk manufaktur airframe, di mana bahan baku seperti aluminium, titanium, karbon komposit dan stainless steel harus diperlakukan secara khusus dalam proses itu.

Engineering dengan tingkat presisi tinggi, manufaktur dengan teknologi robotik, manufaktur komposit karbon maju, machining metal maju dan stress engineering adalah sejumlah kemampuan manufaktur yang dibutuhkan dalam produksi pesawat tempur generasi kelima.

Singkat kata, mengingat salah satu dari beberapa parameter penempur generasi kelima ialah low-observable, kegiatan manufaktur melibatkan kemampuan yang jauh lebih maju sekaligus kompleks dibandingkan generasi sebelumnya.

Merupakan fakta bahwa Turki pernah terlibat dalam program F-35 dengan status tier 3 yang memproduksi center fuselage sections sebagai subkontraktor Northrop Grumman sebelum didepak oleh Amerika Serikat pada 2019. Negara-negara selain Amerika Serikat yang berpartisipasi pada program F-35, baik sebagai tier 1, 2 dan 3 maupun Security Cooperation Participants, tidak memiliki akses penuh terhadap cetak biru jet tempur tersebut.

Setiap negara peserta hanya mendapatkan akses online terbatas untuk dokumen-dokumen terkait kegiatan manufaktur yang didapatkan oleh industri mereka saja. Dengan kata lain, pengalaman Turki dalam program F-35 tidak dapat dijadikan dasar pembenaran bahwa negara itu sudah menguasai semua teknologi manufaktur maju yang terkait dengan jet tempur low-observable.

Kedua, perangkat lunak. Pesawat tempur generasi kelima mengandalkan beragam kemampuan pada perangkat lunak dan bukan semata bertumpu pada teknologi low-observable.

Perangkat lunak pada jet tempur generasi kelima lebih banyak lima kali daripada pesawat tempur generasi 4 atau 4.5, di mana peran perangkat lunak termasuk bukan saja terkait dengan kemampuan sensor, tetapi pula pengendalian sub sistem pesawat seperti surface control, sistem pendorong dan integrasi beragam sub sistem yang berbeda.

Sampai saat ini tidak tersedia informasi tentang seberapa besar peran perangkat lunak dalam jet tempur yang diklaim sebagai generasi kelima oleh Turki. Misalnya, berapa banyak kode baris program yang diperlukan hanya untuk flight control, fuel management, thermal management dan sub sistem electrical dan mechanical pesawat tempur tersebut?

Menjadi pertanyaan pula tentang seberapa besar akses Turki terhadap chips dengan kapasitas memori yang besar guna mendukung kinerja beragam sub sistem pesawat tempur tersebut. Fakta menunjukkan bahwa Turki tidak memiliki kemampuan advance manufacturing bagi chip dengan kapasitas memori yang besar, sehingga semua firma elektronika pertahanan negara itu masih sangat tergantung pada chip yang dipasok oleh Eropa, Amerika Serikat dan Taiwan.

Ketiga, integrasi sistem. Keraguan pada keandalan perangkat lunak yang diadopsi oleh pesawat tempur yang diklaim sebagai generasi kelima tersebut merambat pada isu integrasi sistem.

Integrasi sistem pada jet tempur mencakup avionik, sensor, sistem flight control dan war fighting payload, di tiga hal terakhir yang disebut mempunyai lagi sejumlah turunan. Sebagai contoh ialah mengintegrasikan radar, senjata, peperangan elektronika, distributed aperture system, sistem pertahanan diri dan manajemen sensor sehingga menghasilkan situational awareness bagi penerbang.

Berkaca pada program F-35 sebagai penempur generasi kelima dengan tiga varian yang sudah teruji, kegiatan integrasi antara avionik, sensor, sistem flight control dan war fighting payload penuh dengan tantangan sehingga memerlukan masa bertahun-tahun sebelum dinyatakan siap operasi.

Isu sistem integrasi masih menjadi pertanyaan besar bagi jet tempur yang diklaim sebagai generasi kelima oleh Turki. Dengan hanya satu pesawat purwarupa yang tersedia, lalu bagaimana membuktikan bahwa integrasi sistem sudah teruji sehingga diiklankan kepada dunia sebagai generasi kelima?

Bahkan jika tersedia beberapa pesawat prototipe, tidak ada jaminan bahwa integrasi sistem dapat berjalan dengan cepat dan singkat. Pengalaman Amerika Serikat dalam integrasi sistem F-35 dapat dijadikan patokan bahwa integrasi sistem bukan hal yang mudah dan dapat dilakukan dengan cepat, terlepas fakta bahwa Amerika Serikat ialah pemimpin global dalam urusan pengembangan teknologi dan engineering jet tempur.

Keempat, sistem pendorong. Salah satu bualan Turki dalam menawarkan pesawat tempur yang diklaim sebagai generasi kelima pada Indonesia adalah pesawat tempur tersebut akan mengadopsi sistem pendorong buatan lokal dengan daya dorong 35.000 lbf dalam beberapa tahun ke depan.

Tentu saja bualan itu diragukan dan ditolak oleh sejumlah pihak di Indonesia yang memiliki pengetahuan dan atau pengalaman terkait dengan aero engine. Saat ini Turki tengah mengembangkan sistem pendorong dengan thrust 6.000 lbf yang akan diterapkan pada beberapa pesawat tanpa awak buatan domestik.

Pengembangan sistem pendorong harus dilakukan secara bertahap dari aspek daya dorong berdasarkan pertimbangan kompleksitas seperti material, efisiensi, kinerja di berbagai ketinggian dan rezim kecepatan dan lain sebagainya. Sehingga sangat tidak masuk akal dari perspektif teknologi dan engineering ada suatu negara yang hendak meloncat dari kemampuan memproduksi sistem pendorong dengan daya dorong 6.000 lbf langsung ke 35.000 lbf.

Padahal berdasarkan pengalaman beberapa produsen aero engine selama ini, sistem pendorong dengan daya dorong 18.000 lbf sampai 20.000 lbf merupakan batas yang harus dicapai terlebih dahulu sebelum menuju ke produksi sistem pendorong dengan daya dorong yang lebih besar lagi.

Pengalaman Turki melakukan produksi sistem pendorong GE F110 berdasarkan lisensi GE Aerospace tidak dapat dijadikan patokan bahwa negara itu mempunyai kemampuan melaksanakan manufaktur aero engine dengan daya dorong 35.000 lbf secara mandiri.

Apakah PSP senilai US$1,2 milyar yang disetujui oleh Menteri Keuangan akan dibelikan satu purwarupa penempur generasi kelima Turki? Jika demikian, nanti mau diapakan purwarupa tersebut oleh Indonesia?

Sangat disayangkan Indonesia hanya akan menjadi tempat percobaan teknologi Turki karena terbuai oleh bualan tentang pesawat tempur generasi kelima. Terdapat suara kritis bahwa kampanye pemasaran jet tempur buatan Turki tersebut tidak jauh berbeda dengan kegiatan pemasaran Multi-Level Marketing.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation