Masa Depan P2P Lending Syariah

Mohammad Nur Rianto Al Arif CNBC Indonesia
Senin, 20/10/2025 09:26 WIB
Mohammad Nur Rianto Al Arif
Mohammad Nur Rianto Al Arif
Mohammad Nur Rianto Al Arif merupakan Guru Besar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah dan saat ini menjabat sebagai Asiste... Selengkapnya
Foto: Logo Dana Syariah Indonesia. (Dokumentasi Dana Syariah Indonesia)

Beberapa tahun terakhir, platform peer-to-peer (P2P) lending baik syariah menjadi primadona baru dalam dunia keuangan digital Indonesia. Kombinasi antara semangat teknologi, semangat berbagi, dan prinsip syariah yang menjanjikan keadilan ekonomi membuat banyak orang tertarik.


P2P lending seolah menjadi jembatan antara investor yang ingin berkontribusi dalam pembiayaan halal, dan pelaku usaha kecil atau pengembang properti yang membutuhkan dana dengan cara yang lebih cepat dan mudah dibanding jalur perbankan serta tentu sesuai dengan syariah.
Namun, pada tahun 2025 ini, keindahan cerita itu sedikit tercoreng. Salah satu platform besar, Dana Syariah Indonesia (DSI), tersandung masalah serius, yaitu potensi gagal bayar kepada para pemberi dana. Sejumlah pengguna melaporkan keterlambatan pengembalian yang mencapai berbulan-bulan.

Media sosial ramai, grup-grup investor syariah dipenuhi keluhan dan kebingungan. Tak sedikit yang merasa kecewa dan kehilangan kepercayaan terhadap ekosistem fintech syariah yang semula mereka yakini "lebih aman" karena berlandaskan prinsip Islam. Kasus Dana Syariah seolah menjadi lonceng pengingat bahwa di balik janji return tinggi dan slogan "aman karena syariah", ada risiko nyata yang tak bisa diabaikan.

Pertumbuhan fintech syariah sejatinya tak bisa dilepaskan dari dua dorongan besar yaitu kebutuhan akses pembiayaan yang lebih luas dan keinginan akan sistem keuangan yang lebih etis. Indonesia, dengan populasi muslim terbesar di dunia, punya potensi luar biasa dalam industri ini.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah platform P2P lending syariah lebih sedikit dibandingkan konvensional. Dari 97 penyelenggara P2P lending yang resmi terdaftar, hanya tujuh yang berbasis syariah.

Nilai penyaluran pembiayaan sempat mencapai triliunan rupiah pada masa puncaknya. Meski belakangan mengalami penurunan di mana per Juli 2025 jumlah pembiayaan disalurkan hanya sebesar Rp 800 miliar atau terkontraksi sekitar 49,54% dibandingkan periode yang sama di tahun lalu.

P2P lending syariah menawarkan kemudahan luar biasa seperti cukup lewat aplikasi, seseorang bisa menjadi investor proyek properti, membantu UMKM, atau memberikan pembiayaan konsumtif secara halal.

Tak perlu ke bank, tak perlu jaminan rumit. Platform seperti Dana Syariah, ALAMI, Ammana, atau Qazwa menyediakan berbagai produk mulai dari pembiayaan proyek konstruksi, modal kerja, hingga kebutuhan produktif UMKM.

Bagi umat Islam yang ingin hartanya "berputar dalam jalan halal", ini terasa ideal. Prinsipnya jelas, yaitu tanpa riba, tanpa spekulasi, dan berbagi hasil berdasarkan akad syariah seperti mudharabah (bagi hasil) atau murabahah (jual beli margin). Namun sebagaimana dalam ekonomi konvensional, "halal" tidak selalu berarti "bebas risiko".

Kabar tentang gagal bayar di Dana Syariah Indonesia (DSI) mulai mencuat pada pertengahan 2025. Sejumlah pendana mengaku belum menerima pengembalian pokok dan imbal hasil dari proyek-proyek yang telah jatuh tempo. Ada pendana yang tertunda satu bulan, ada yang lebih dari tiga bulan. OJK pun turun tangan, memanggil manajemen DSI untuk meminta klarifikasi.

DSI sendiri mengeluarkan pernyataan resmi bahwa mereka sedang melakukan "penyesuaian operasional sementara" untuk meningkatkan efektivitas layanan. Beberapa pegawai bekerja daring, sebagian proses penagihan sedang dievaluasi. Tapi penjelasan itu belum cukup menenangkan hati para pendana. Rasa cemas tetap menggelayut.

Apa yang sebenarnya terjadi? Tidak ada satu jawaban pasti. Namun sejumlah analis fintech menilai bahwa kasus ini merupakan kombinasi antara manajemen risiko yang belum matang, profil proyek yang kompleks, serta kondisi ekonomi yang tidak bersahabat.

Banyak proyek pembiayaan DSI berhubungan dengan sektor properti. Saat ini sektor properti penuh ketidakpastian seperti harga bahan bangunan naik, izin konstruksi tersendat, pembeli menunda pembayaran, arus kas pun macet.

Bila peminjam (peminjam) telat membayar, sementara platform tidak memiliki cadangan dana cukup, efek domino pun terjadi, yaitu dana yang dimiliki oleh pemberi dana tertahan, sistem kepercayaan terguncang. Begitulah siklus yang kini tengah dihadapi.

Bagi sebagian orang, P2P lending masih terdengar seperti investasi canggih yang serba otomatis. Padahal, pada intinya, ini hanyalah bentuk lain dari pinjam-meminjam, hanya saja pinjam meminjamnya melalui platform digital. Karena itu, risiko utamanya tetap sama yaitu apakah peminjam bisa mengembalikan uang tepat waktu?

Terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab tingginya risiko gagal bayar di P2P lending syariah. Pertama, lemahnya verifikasi dan penilaian peminjam. Dalam beberapa kasus, platform terlalu cepat menyetujui pembiayaan tanpa analisis mendalam terhadap kemampuan bayar calon peminjam. Kadang karena dorongan untuk menyalurkan dana lebih banyak demi mengejar volume bisnis. Akibatnya, proyek yang tidak terlalu sehat pun lolos pendanaan.

Ada juga masalah data bahwa tidak semua peminjam punya rekam jejak keuangan yang bisa diverifikasi. Apalagi bila proyeknya berbasis properti kecil di daerah, dokumen keuangannya sering kali tidak rapi. Hal-hal ini membuat platform sulit menilai risiko secara akurat.

Kedua, pengawasan proyek yang lemah. Pada banyak platform, termasuk Dana Syariah, proyek yang didanai bisa berlangsung berbulan-bulan, bahkan lebih dari setahun. Dalam rentang waktu itu, bisa saja ada perubahan besar seperti kontraktor berganti, biaya melonjak, atau proyek tertunda. Jika pengawasan tak ketat, platform baru sadar ada masalah ketika pembayaran macet.

Ketiga, ketidakseimbangan arus kas dan likuiditas. Platform fintech bukan bank. Mereka tidak bisa menggunakan dana nasabah yang lain untuk menutup kekurangan sementara. Jadi, ketika banyak peminjam telat membayar, sementara para pemberi dana ingin mencairkan dana, terjadilah ketidakcocokan likuiditas. Ujung-ujungnya, penundaan pembayaran pun tak terhindarkan.

Keempat, ekspektasi yang tidak realistis. Sebagian besar pendana individu mungkin tergoda oleh imbal hasil tinggi yang bisa mencapai 12% hingga 15% per tahun. Di tengah suku bunga deposito yang hanya 4%-5%, angka ini jelas menggiurkan. Namun, imbal hasil tinggi selalu sejalan dengan risiko tinggi. Ketika proyek berjalan lancar, semua senang; tetapi ketika gagal, pemberi dana sering kali tak siap menerima kenyataan.

Kasus DSI seharusnya tidak dilihat sebagai kegagalan P2P lending syariah secara keseluruhan, melainkan sebagai fase pendewasaan industri. Dunia fintech baik konvensional maupun syariah masih muda. Ia baru belajar menyeimbangkan antara inovasi, kepercayaan, dan tata kelola risiko.

Namun tetap saja, beberapa pelajaran penting bisa kita petik. Pertama, risiko gagal bayar itu nyata. Label "syariah" tidak otomatis membuat investasi bebas dari risiko.

Prinsip syariah menekankan keadilan dan keterbukaan, bukan jaminan keuntungan. Dalam akad mudharabah, misalnya, kerugian usaha bisa dibagi sepanjang tidak ada unsur kelalaian. Artinya, secara prinsip, pemberi dana pun ikut menanggung risiko usaha, bukan sekadar meminjamkan uang.

Kedua, perlunya transparansi dan komunikasi. Banyak keluhan muncul karena para pemberi dana merasa tidak mendapat informasi yang cukup. Mereka tahu proyek terlambat, tapi tidak tahu kenapa. Padahal dalam ekonomi syariah, kejelasan (transparency) adalah kunci. Platform harus secara berkala memberikan laporan mengenai bagaimana progres proyek, apa hambatannya, dan langkah apa yang diambil untuk penyelesaian.

Ketiga, pentingnya manajemen risiko dan tata kelola. Fintech syariah memerlukan sistem yang mampu mendeteksi risiko lebih dini. Penggunaan credit scoring, data analitik, hingga teknologi AI bisa membantu menilai profil peminjam secara lebih objektif. Selain itu, platform perlu menyiapkan cadangan dana (reserve fund) sebagai bantalan saat terjadi keterlambatan pembayaran.

Jika industri P2P lending syariah ingin bertahan, ada tiga hal besar yang perlu diperkuat yaitu regulasi yang kokoh, platform yang transparan, dan literasi publik yang tinggi.
Regulator memiliki peran sentral untuk menjaga stabilitas. OJK sudah menegaskan bahwa mereka akan memperketat pengawasan terhadap seluruh platform, termasuk yang syariah.

Langkah ini perlu disertai kebijakan yang lebih spesifik, seperti kewajiban audit proyek pembiayaan di atas nominal tertentu, standar minimal cadangan risiko untuk mengantisipasi gagal bayar, mekanisme pelaporan berkala kepada publik, dan penerapan fit and proper test bagi manajemen dan Dewan Pengawas Syariah.

Selain itu, Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) perlu memperkuat pedoman tentang akad-akad yang digunakan. Banyak akad yang secara teori benar, tetapi implementasinya di lapangan bisa rancu. Kejelasan ini penting agar tidak terjadi pelanggaran prinsip syariah dalam proses penyelamatan dana milik pemberi dana.

Platform P2P syariah harus belajar dari pengalaman. Tidak cukup hanya mengandalkan label "halal" dan aplikasi yang canggih. Mereka harus membangun sistem manajemen risiko yang solid. Beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan oleh platform. Pertama, Verifikasi ketat calon peminjam, dengan memanfaatkan data pihak ketiga dan analisis histori keuangan.

Kedua, pendampingan proyek secara aktif, di mana setiap pembiayaan harus punya laporan perkembangan rutin. Ketiga, diversifikasi produk, jangan semua dana diarahkan ke satu sektor ekonomi saja. Sektor konsumtif dan UMKM produktif bisa menjadi penyeimbang risiko. Keempat, transparansi penuh kepada para pendana bukan hanya saat promosi, tetapi sepanjang siklus pembiayaan.

Selain itu, komunikasi harus dilakukan dengan bahasa yang sederhana dan jujur. Pendana tidak semuanya paham istilah keuangan atau akad. Platform perlu menjelaskan risiko dengan lugas dan bukan hanya menonjolkan potensi keuntungan.

Sebagian dari kita tergoda oleh promosi "keuntungan syariah hingga 15% per tahun". Tapi sebelum mengklik tombol danai sekarang, ada baiknya berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri, yaitu "Apakah saya sudah siap dengan risikonya?"

Investasi apapun, termasuk yang syariah, tidak pernah tanpa risiko. Karena itu, prinsip diversifikasi tetap harus dipegang. Jangan menaruh semua dana di satu platform, apalagi satu proyek. Bagi mereka yang baru mulai, gunakan dana kecil dulu, sambil mempelajari pola pembayaran dan kredibilitas platform.

Pemberi dana juga sebaiknya memahami akad yang digunakan. Dalam mudharabah, misalnya, jika proyek rugi tanpa kelalaian, maka kerugian ditanggung bersama. Kesadaran ini membuat ekspektasi menjadi realistis, tidak terjebak dalam iming-iming keuntungan semata.

Keuangan syariah memikul misi ganda yaitu tidak hanya mencari keuntungan, tetapi juga menegakkan keadilan sosial dan etika ekonomi. Namun, di lapangan, menjalankan dua misi ini sekaligus bukan perkara mudah.

Platform syariah sering kali menghadapi biaya operasional lebih tinggi karena harus mematuhi aturan tambahan seperti verifikasi syariah, pengawasan DPS, hingga penyesuaian akad. Di sisi lain, persaingan dengan fintech konvensional sangat ketat. Ketika platform konvensional bisa menyalurkan pinjaman dalam 1 hari, platform syariah kadang perlu waktu 3-5 hari karena proses verifikasi.

Belum lagi tantangan literasi. Survei OJK menyebutkan, tingkat literasi keuangan syariah di Indonesia baru sekitar 43,42% dan tingkat inklusi keuangan syariah sebesar 13,41%. Rendahnya literasi dan inklusi ini membuat banyak masyarakat salah memahami konsep risiko, bagi hasil, atau akad yang sebenarnya.

Dengan kondisi seperti itu, jalan menuju ekosistem P2P syariah yang sehat masih panjang. Namun bukan berarti mustahil. Meski menghadapi masalah, banyak pihak optimistis bahwa masa depan P2P lending syariah tetap cerah. Ada beberapa alasan kuat untuk percaya pada itu.

Pertama, potensi pasar masih sangat besar. Indonesia memiliki lebih dari 60 juta UMKM. Sebagian besar masih kesulitan mengakses kredit bank karena terkendala jaminan dan dokumen. Di sinilah fintech syariah bisa berperan, yaitu dengan memberikan pembiayaan produktif yang halal dan cepat.

Selain itu, semakin banyak anak muda muslim yang sadar finansial dan ingin menginvestasikan uangnya di sektor halal. Kombinasi dua sisi ini baik dari sisi permintaan dana dan minat investasi halal adalah bahan bakar utama pertumbuhan industri ini.

Kedua, dukungan regulasi dan kolaborasi. OJK dan Bank Indonesia kini gencar mendorong digitalisasi keuangan syariah. Kolaborasi antara bank syariah dan platform fintech mulai terbentuk. Beberapa bank bahkan menjadi super lender dengan menyediakan dana besar untuk disalurkan melalui platform fintech. Ini membantu memperkuat likuiditas sekaligus menjaga stabilitas.

Ketiga, inovasi teknologi. Perkembangan teknologi seperti big data, AI, dan blockchain membuka peluang baru untuk manajemen risiko. Misalnya, AI bisa menganalisis perilaku peminjam dan mendeteksi potensi gagal bayar lebih dini. Blockchain dapat digunakan untuk mencatat transaksi secara transparan dan tak bisa diubah, meningkatkan kepercayaan publik.

Keempat, meningkatnya kesadaran sosial. Fintech syariah punya nilai tambah yaitu bukan sekadar mencari laba, tetapi juga memberdayakan. Banyak proyek P2P syariah menyalurkan dana untuk UMKM, petani, atau pengembang kecil yang sebelumnya sulit mengakses perbankan. Dengan pendekatan berbasis keadilan, industri ini berpotensi menjadi pilar ekonomi umat.

Setiap industri baru pasti melalui fase turbulensi. Dunia fintech global pun sudah sering mengalaminya. Di China, misalnya, ribuan platform P2P ditutup karena fraud dan gagal bayar. Di Indonesia, OJK sudah menutup ratusan platform ilegal yang tidak berizin. Kini, yang tersisa adalah proses konsolidasi sehingga menyisakan pemain yang benar-benar kredibel dan berkomitmen.

Fintech syariah pun akan melewati jalan yang sama. Kasus Dana Syariah Indonesia bukan akhir, melainkan tahap penyaringan alami. Dari situ, industri belajar memperkuat fondasi seperti transparansi, tata kelola, dan prinsip kehati-hatian.

Bisa jadi, setelah badai ini, P2P syariah justru tumbuh lebih sehat. Platform yang bertahan adalah mereka yang benar-benar memegang prinsip syariah bukan hanya sebagai label, melainkan sebagai etika bisnis yaitu jujur, adil, transparan, dan amanah.

Prinsip dasar keuangan syariah bukanlah sekadar menghindari riba, tapi menegakkan keadilan dan kejujuran. Dalam konteks P2P lending, prinsip ini menuntut agar semua pihak baik platform, peminjam, maupun pendana bermain dalam koridor amanah.

Platform harus transparan dan hati-hati. Peminjam harus bertanggung jawab terhadap dana yang dipercayakan. Pemberi dana harus memahami bahwa keuntungan selalu datang bersama risiko. Dan regulator harus memastikan semuanya berjalan adil dan sesuai syariah.

Mungkin benar, kepercayaan publik pada P2P syariah sempat goyah. Tapi justru di sinilah momentum untuk membuktikan bahwa ekonomi Islam bukan hanya jargon moral, melainkan sistem yang bisa bekerja nyata yaitu modern, efisien, dan tetap beretika.

Masa depan P2P lending syariah masih panjang. Dan hal ini akan ditentukan oleh seberapa besar kita belajar dari kesalahan hari ini. Sebab dalam bisnis maupun ibadah, yang terpenting bukan sekadar mencari keuntungan, tetapi menjaga kepercayaan.


(miq/miq)