Transformasi Ekonomi Syariah RI: Membaca SGIE 2025 di Era Krisis Dunia

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Di tengah upaya global menuju ekonomi yang lebih inklusif dan berkeadilan, Indonesia mengambil langkah strategis melalui penguatan operasi moneter syariah (OMS). Bukan sekadar simbol keislaman, instrumen tersebut hadir sebagai solusi nyata untuk menciptakan stabilitas likuiditas sekaligus memperluas cakupan pasar keuangan yang sesuai prinsip syariah.
OMS diarahkan untuk memperkuat manajemen likuiditas perbankan syariah sehingga bank mampu melaksanakan tugas utamanya sebagai lembaga intermediasi dan menyalurkan pembiayaan ke sektor rill seperti rumah tangga, UMKM, Koperasi, atau Korporasi. Jika likuiditas perbankan berlebihan, maka operasi moneter dapat dilakukan dengan menyerap kelebihan dana tersebut. Sementara, jika likuiditas perbankan kurang, maka operasi moneter diperuntukkan untuk mengalirkan dana ke pasar.
Pembiayaan syariah mengalami pertumbuhan sebagaimana disampaikan dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia Juli 2025 sebesar 8,37% (yoy). Adapun realisasi pembiayaan perbankan syariah tercatat sebesar Rp643,55 triliun pada Desember 2025 atau naik Rp58,08 triliun jika dibandingkan tahun sebelumnya dan tumbuh sebesar 9,92% yoy.
Hal itu selaras dengan peningkatan pembiayaan beberapa bank syariah di Indonesia, seperti Bank Syariah Indonesia (BSI) yang tumbuh 16,21% yoy pada Maret 2025 dengan total pembiayaan yang disalurkan adalah Rp287,3 triliun. Adapun Bank BJB Syariah juga mencatatkan pertumbuhan penyaluran pembiayaan sebesar 9,5% yoy pada akhir semester I-2025.
Data di atas menunjukkan bahwa pembiayaan syariah kian menarik dan menunjukkan tren pertumbuhan yang positif. Dalam konteks ini, peran operasi moneter syariah menjadi semakin krusial untuk memastikan ketersediaan likuiditas yang sehat bagi perbankan syariah, sekaligus menjaga stabilitas moneter agar tidak terjadi overheating di pasar.
Di sisi lain, lembaga keuangan syariah juga perlu mengedepankan prinsip kehati-hatian dengan mempertimbangkan kemampuan dan profil risiko nasabah, sehingga pembiayaan yang disalurkan tetap berkualitas dan berkelanjutan.
Realisasi Kebijakan Strategis Stabilisasi dalam OMS
Terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) mempertegas kewenangan Bank Indonesia dalam mengatur, mengembangkan, dan mengawas pasar uang dan pasar valuta asing.
Di Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS), peningkatan volume transaksi terjadi di tahun 2024 di tengah ketatnya likuiditas perbankan syariah dengan total volume transaksi PUAS mencapai Rp541,72 triliun atau meningkat 47,66% dibandingkan volume transaksi 2023. Frekuensi transaksi juga mengalami peningkatan dari rata-rata 392 transaksi per bulan menjadi 573 per bulan pada 2024. Adapun peningkatan pelaku PUAS dari semula hanya 48 bank pada 2023 menjadi 51 pada tahun 2024.
Dari sisi instrumen OMS, BI telah mengeluarkan beberapa inovasi seperti instrumen moneter absorpsi berupa Sukuk Bank Indonesia (SukBI) yang diterbitkan BI menggunakan underlying asset berupa surat berharga berdasarkan prinsip syariah milik BI. Selain itu, BI juga menerbitkan instrumen injeksi seperti FasBI digunakan untuk manajemen likuiditas perbankan. Adapun, pada saat ini SukBI masih mendominasi kegiatan OMS.
Sama halnya dengan kegiatan OMS untuk valuta asing (valas), kegiatan OMS valas cenderung mengalami peningkatan sejalan dengan penerbitan instrumen baru, yaitu Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI). Sejak pertama kali dilelang Desember 2023, outstanding SUVBI mengalami peningkatan hingga USD$516 juta pada akhir tahun 2024.
Peluang yang Terbuka
Keberadaan dan peningkatan OMS membuktikan komitmen BI dalam merancang keuangan yang inklusif, adil, dan sesuai syariah. Di tengah dinamika global, pertumbuhan transaksi di PUAS dan pembiayaan syariah tetap meningkat. Hal tersebut menjadi catatan penting bagi BI dalam menjaga stabilitas sekaligus memperkuat peran ekonomi syariah di Indonesia.
Ke depan, inovasi instrumen moneter syariah perlu terus didorong, disertai dengan perluasan partisipasi pelaku pasar, penguatan literasi mengenai syariah, serta pembangunan infrastruktur yang mendukung. BI sebagai otoritas moneter juga berperan penting dalam merumuskan pengaturan yang memperkuat ekosistem pasar uang syariah, termasuk penguatan peran peserta pasar uang dan pasar valuta asing dan keberadaan ahli syariah sebagai rujukan atas prinsip-prinsip yang dijalankan.
Namun demikian, penguatan pasar uang dan pasar valuta asing akan berjalan optimal apabila diiringi dengan, salah satunya, meningkatnya permintaan pembiayaan syariah dari sektor riil. Artinya, keberhasilan strategi OMS tidak hanya ditentukan oleh sisi kebijakan dan penawaran instrumen, tetapi juga oleh seberapa besar kebutuhan masyarakat dan dunia usaha terhadap pembiayaan syariah yang inklusif dan berkelanjutan.
Di sinilah sinergi antara stabilitas moneter dan pertumbuhan ekonomi syariah menemukan relevansinya.