Mengintegrasikan Zakat & Wakaf: Solusi Strategis Pemberdayaan Umat

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Dalam beberapa tahun terakhir, ekosistem ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia bergerak cepat. Data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2024 menunjukkan lompatan penting:
Indeks literasi keuangan syariah mencapai 43,42%, sementara indeks inklusi keuangan syariah berada di 13,41%. Artinya, pengetahuan dan kesadaran publik tentang konsep syariah melonjak jauh dibanding 2022, ketika literasi syariah baru 9,14% dan inklusi 12,12%.
Namun paradoksnya, peningkatan pengetahuan belum serta-merta mengalir menjadi akses dan pemakaian layanan syariah yang lebih luas-kesenjangan "tahu tapi belum pakai" tetap membentang.
Kesenjangan itu tampak jelas jika dibandingkan dengan lanskap umum, di mana menurut rilis SNLIK 2025, indeks inklusi keuangan nasional (semua layanan) telah menembus 80,51%, sementara literasinya 66,46%. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun pengetahuan tentang keuangan belum tinggi, namun tingkat penggunaan terhadap layanan keuangan tersebut telah dilakukan oleh masyarakat.
Dengan kata lain, untuk layanan keuangan secara keseluruhan, akses sudah amat luas-tetapi untuk syariah, inklusi masih "terkunci" di kisaran belasan persen meski literasi menanjak. Fenomena ini mengirim pesan sederhana bahwa pekerjaan rumah kita bukan lagi semata-mata edukasi konsep, tetapi menutup jarak dari pengetahuan menuju pemakaian nyata.
Mengapa paradoks ini berbahaya? Karena Indonesia telah meneguhkan diri sebagai salah satu pemain kunci di ekonomi syariah global. KNEKS mencatat total aset keuangan syariah per Desember 2024 mencapai sekitar Rp 9.927 triliun ( atau setara dengan 45% PDB), dan pangsa pasar keuangan syariah nasional mencapai 25,1%.
Narasinya konsisten yaitu skala dan momentumnya besar, tetapi tidak semua warga merasakan manfaat melalui akses yang setara. Pertanyaannya, mengapa kondisi ini bisa terjadi? Apa yang membuat masyarakat tahu tetapi enggan atau belum bisa menggunakan produk syariah? Dan yang lebih penting, solusi apa yang perlu ditawarkan agar literasi yang naik bisa berbuah inklusi yang lebih luas?
Fenomena literasi yang lebih tinggi daripada inklusi sebenarnya bukan sesuatu yang unik di Indonesia. Di banyak negara, masyarakat mungkin tahu dan memahami konsep keuangan tertentu, tapi belum tentu menggunakannya. Namun, kasus ekonomi syariah di Indonesia punya cerita yang lebih kompleks.
Pertama, faktor akses. Produk keuangan syariah memang semakin banyak, tetapi distribusinya masih timpang. Di kota-kota besar, kita dengan mudah menemukan bank syariah, asuransi syariah, hingga fintech berbasis syariah.
Namun, di banyak daerah, terutama wilayah terpencil, produk semacam itu masih sulit dijangkau. Cabang bank syariah jumlahnya masih kalah jauh dibandingkan bank konvensional. Infrastruktur digital juga belum sepenuhnya mendukung layanan keuangan syariah menjangkau pelosok negeri.
Kedua, masalah persepsi. Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa produk syariah itu lebih ribet, biayanya lebih tinggi, atau fasilitasnya lebih terbatas dibandingkan produk konvensional. Padahal, tidak selalu demikian. Persepsi yang kurang tepat ini menjadi penghalang serius. Apalagi jika sosialisasi tidak masif, masyarakat lebih memilih sesuatu yang dianggap praktis ketimbang harus repot beradaptasi dengan sistem baru.
Ketiga, faktor inovasi. Di tengah era digital yang serba cepat, industri keuangan syariah memang bergerak, tetapi tidak secepat kompetitornya. Fintech konvensional tumbuh pesat dengan berbagai layanan yang memudahkan konsumen, mulai dari pinjaman online, dompet digital, hingga paylater.
Sementara itu, fintech syariah masih terkendala regulasi, kapasitas modal, dan keterbatasan inovasi. Akibatnya, masyarakat muda yang sebenarnya mulai paham konsep syariah lebih memilih menggunakan produk digital konvensional yang simpel, murah, dan serba instan.
Keempat, dukungan ekosistem yang belum optimal. Ekonomi syariah bukan hanya soal bank syariah, tapi juga melibatkan halal lifestyle, UMKM, zakat, wakaf, hingga instrumen investasi syariah. Jika ekosistem ini belum terintegrasi dengan baik, maka inklusi akan sulit tercapai. Masyarakat mungkin tahu bahwa ada reksadana syariah atau sukuk ritel syariah, tetapi mereka tidak tahu bagaimana cara membeli, atau tidak ada akses langsung untuk ikut serta.
Kondisi ini menunjukkan adanya paradoks. Indonesia, dengan penduduk muslim terbesar di dunia, memiliki potensi pasar syariah yang luar biasa. Literasi naik drastis, namun inklusi masih jalan lambat. Potensi itu seperti "harta karun" yang sudah tampak, tetapi masih terkunci rapat.
Di titik inilah kita perlu bicara tentang solusi. Literasi yang meningkat jangan hanya berhenti di tingkat pengetahuan, melainkan harus ditindaklanjuti dengan upaya mendorong masyarakat untuk benar-benar memanfaatkan produk syariah. Terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan inklusi ini.
Pertama, perluasan akses layanan. Pemerintah, regulator, dan pelaku industri harus berkolaborasi menghadirkan layanan keuangan syariah yang lebih merata. Jika di setiap kecamatan ada bank konvensional, mengapa tidak diupayakan keberadaan outlet syariah minimal di tingkat kabupaten? Lebih jauh, digitalisasi harus dimaksimalkan. Aplikasi keuangan syariah harus ringan, sederhana, dan bisa digunakan bahkan dengan jaringan internet terbatas.
Kedua, kampanye yang lebih humanis. Selama ini sosialisasi produk syariah sering kali terkesan normatif yaitu lebih menekankan halal dan haram. Padahal, generasi muda lebih suka narasi yang sederhana yaitu manfaat apa yang bisa didapatkan?
Bagaimana produk syariah bisa memudahkan hidup sehari-hari? Bagaimana ia bisa menjadi solusi untuk biaya pendidikan, kesehatan, atau kebutuhan rumah tangga? Bahasa komunikasi yang dekat dengan keseharian akan jauh lebih efektif ketimbang jargon fiqh yang rumit.
Ketiga, inovasi produk. Sudah saatnya industri keuangan syariah berani keluar dari zona nyaman. Produk syariah tidak boleh hanya menjadi "cermin" produk konvensional, tetapi harus menawarkan sesuatu yang berbeda. Misalnya, pembiayaan syariah yang benar-benar ramah UMKM, atau instrumen investasi syariah yang digabungkan dengan program sosial seperti wakaf produktif.
Keempat, penguatan ekosistem. Ekonomi syariah harus dilihat sebagai satu kesatuan. Produk halal, zakat, wakaf, UMKM, hingga industri pariwisata halal perlu saling terkoneksi. Misalnya, dana zakat bisa diarahkan untuk memperkuat modal UMKM halal. Atau, wakaf produktif bisa digunakan untuk membangun infrastruktur pendidikan berbasis syariah. Jika ekosistem ini berjalan baik, inklusi tidak lagi menjadi agenda terpisah, tetapi bagian dari kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat.
Strategi kelima ialah dengan melibatkan perguruan tinggi dalam proses literasi dan inklusi keuangan syariah ini. Perguruan tinggi memiliki peran sentral dalam mempercepat inklusi keuangan syariah. Banyak program studi ekonomi syariah kini tumbuh pesat di kampus-kampus Indonesia. Peran mereka tidak boleh berhenti pada tataran akademis, tetapi juga turun ke masyarakat. Saat ini terdapat hampir 900 program studi sarjana dalam rumpun ekonomi syariah.
Perguruan tinggi yang membuka program studi rumpun ekonomi syariah harus mewajibkan seluruh mahasiswanya untuk menggunakan layanan keuangan syariah baik berupa pembukaan rekening bank syariah atau fintech syariah ataupun produk layanan keuangan syariah lainnya. Selain itu, perguruan tinggi pun harus menjadikan bank syariah sebagai salah satu alat pembayaran uang kuliah mahasiswa.
Selain itu, perguruan tinggi harus dapat pula menghasilkan riset tentang model inklusi keuangan syariah berbasis komunitas lokal. Kemudian mahasiswa dan dosen dapat menjadi agen edukasi keuangan syariah dengan melakukan sosialisasi di desa-desa. Mereka bisa menjelaskan manfaat tabungan syariah, pembiayaan mikro syariah, atau asuransi berbasis syariah dengan bahasa sederhana.
Keenam, selain perguruan tinggi, kampanye inklusi syariah juga penting menyasar sekolah-sekolah. Generasi Z dan Alpha yang saat ini masih duduk di bangku sekolah akan menjadi pengguna utama produk keuangan di masa depan. Jika sejak awal mereka dikenalkan pada keuangan syariah, kesadaran itu akan terbawa hingga dewasa.
Materinya tidak harus berat, cukup berupa simulasi menabung di bank syariah, permainan tentang bagi hasil, atau cerita sederhana tentang halal dan haram dalam keuangan. Edukasi yang dikemas kreatif akan lebih mudah diterima anak muda.
Ketujuh, peran diaspora dan pasar global. Dunia internasional, terutama Timur Tengah dan Asia Selatan, sangat memperhatikan perkembangan ekonomi syariah. Literasi yang sudah naik bisa diarahkan untuk membuka akses inklusi ke pasar global. Produk halal Indonesia bisa masuk lebih luas, sukuk bisa dipasarkan lintas negara, dan fintech syariah bisa menjalin kerja sama internasional.
Indonesia sedang menuju Indonesia Emas 2045, saat usia kemerdekaan mencapai satu abad. Dalam visi besar itu, ekonomi syariah tidak bisa hanya menjadi pelengkap, tetapi harus tampil sebagai salah satu pilar utama. Literasi yang sudah naik harus ditindaklanjuti dengan inklusi nyata, agar manfaatnya benar-benar dirasakan masyarakat. Saat ini ekonomi syariah telah masuk dalam RPJPN 2025-2045 dan RPJMN 2025-2029.
Di saat yang sama, masyarakat pun perlu diberi ruang untuk berpartisipasi. Literasi yang sudah naik jangan dibiarkan mengendap menjadi pengetahuan belaka. Harus ada dorongan nyata agar masyarakat merasa: produk syariah adalah bagian dari hidup mereka, bukan sekadar pilihan alternatif.
Jika kesenjangan literasi dan inklusi keuangan syariah terus dibiarkan, maka potensi besar umat hanya akan menjadi jargon tanpa realisasi. Sebaliknya, jika inklusi syariah bisa ditingkatkan, maka keuangan syariah dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan kesejahteraan.
Pada akhirnya, inklusi keuangan syariah bukan hanya soal angka statistik, melainkan menyangkut pula soal keadilan, akses, dan pemberdayaan. Jika inklusi naik, jutaan orang bisa terhindar dari jeratan rentenir, UMKM bisa berkembang dengan pembiayaan yang adil, dan masyarakat bisa mengelola keuangan dengan lebih sehat sesuai prinsip yang diyakininya.
Indonesia sudah punya modal besar yaitu populasi muslim terbesar, pertumbuhan literasi yang pesat, dan potensi pasar halal yang luar biasa. Kini, tinggal bagaimana modal itu diolah menjadi gerakan inklusi yang nyata. Karena literasi tanpa inklusi hanyalah separuh jalan.
Apabila literasi adalah pengetahuan, maka inklusi adalah praktik nyata. Tantangan kita hari ini adalah menjembatani keduanya. Saat masyarakat tidak hanya tahu, tetapi juga mampu dan mau menggunakan produk syariah, saat itulah ekonomi syariah benar-benar menjadi arus utama. Dari sana, Indonesia bisa melangkah lebih percaya diri menuju masa depan ekonomi yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.