Desa Mandiri Energi: Menuju Keadilan Pembangunan & Ketahanan Energi

Indonesia masih menghadapi ketimpangan serius dalam akses energi. Sementara kota-kota besar menikmati listrik yang stabil, sebagian desa masih hidup dengan keterbatasan pasokan, bahkan ada yang sama sekali belum terhubung jaringan listrik nasional. Ketergantungan yang besar terhadap energi fosil, disertai biaya distribusi yang tinggi, membuat harga listrik di daerah terpencil tidak hanya lebih mahal tetapi juga tidak andal.
Di tengah situasi ini, transisi global menuju energi terbarukan menghadirkan peluang untuk membangun sistem energi yang lebih adil, berkelanjutan, dan demokratis. Salah satu gagasan yang layak dipertimbangkan adalah program Desa Mandiri Energi berbasis Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) skala 1-1,5 MWp yang dikelola koperasi desa atau koperasi kelurahan setempat.
Gagasan ini sesungguhnya menjawab tiga dimensi penting dari proses kebijakan publik: masalah, solusi, dan politik. Dari sisi masalah, desa-desa menghadapi keterbatasan energi yang menjadi penghambat utama pembangunan ekonomi lokal. Ketidakpastian pasokan listrik membuat usaha kecil sulit berkembang, rumah tangga tidak leluasa beraktivitas, dan anak-anak tidak mendapatkan kesempatan belajar dengan fasilitas setara dengan anak-anak di kota.
Dari sisi solusi, teknologi PLTS skala menengah sebenarnya sudah matang, biaya instalasinya kian menurun, dan potensi energi surya di Indonesia sangat besar. Model koperasi energi juga telah terbukti di banyak negara sebagai cara yang efektif untuk mengelola aset publik secara partisipatif.
Dari sisi politik, agenda transisi energi dan ketahanan desa sedang naik ke permukaan, sejalan dengan rencana pembangunan nasional dan komitmen Indonesia terhadap pengurangan emisi. Ketiganya bertemu dalam sebuah "jendela kebijakan" yang menjadikan program ini bukan sekadar wacana, tetapi kebutuhan yang mendesak.
Implementasi Desa Mandiri Energi tentu memerlukan desain kebijakan yang tepat. Pengalaman menunjukkan bahwa kebijakan yang berhasil biasanya bukan hasil dari satu instrumen tunggal, melainkan kombinasi dari beberapa instrumen yang saling melengkapi.
Untuk kasus PLTS koperasi desa, kebijakan bisa dirancang dalam bentuk bundel. Regulasi berupa skema net-metering yang memudahkan koperasi menjual listrik ke jaringan PLN dapat menjadi fondasi utama.
Dukungan pembiayaan berupa kredit lunak dari bank daerah atau lembaga penjamin pemerintah akan memastikan modal awal dapat terjangkau. Aspek kapasitas juga tidak boleh dilupakan: pelatihan teknisi lokal, sertifikasi pemasang, serta pendampingan koperasi akan membangun keahlian di desa sekaligus menciptakan lapangan kerja baru.
Transparansi informasi dan akuntabilitas keuangan koperasi memastikan bahwa warga merasa memiliki dan percaya pada pengelolaan proyek. Dengan bundel kebijakan seperti ini, PLTS desa bukan hanya proyek listrik, melainkan instrumen pembangunan menyeluruh.
Meski begitu, setiap kebijakan menghadapi dinamika politik ekonomi. Dalam logika public choice, kelompok yang menerima manfaat besar cenderung mendukung penuh, sementara kelompok yang merasa dirugikan sering berusaha menahan perubahan.
Dalam program ini, penerima manfaat terbesar adalah masyarakat desa: mereka mendapat akses listrik murah, peluang usaha baru, dan kesempatan memperoleh pendapatan tambahan melalui koperasi. Pemerintah juga diuntungkan karena stabilitas sosial meningkat, ketimpangan berkurang, dan target transisi energi terpenuhi.
Namun, resistensi mungkin muncul dari pihak yang selama ini menikmati rente energi fosil atau bahkan dari sebagian unit PLN yang khawatir kehilangan peran dominan. Karena itu, perlu ada strategi transisi: misalnya, PLN tetap dilibatkan sebagai pembeli surplus listrik koperasi sehingga tercipta hubungan saling menguntungkan, bukan persaingan.
Koperasi menjadi inti dari gagasan ini. Selama puluhan tahun, koperasi dikenal sebagai wadah ekonomi rakyat, meski citranya sering redup akibat birokratisasi dan lemahnya manajemen. Dalam konteks Desa Mandiri Energi, koperasi berpeluang lahir kembali dengan peran yang lebih strategis: bukan hanya menyalurkan kredit atau mengelola sembako, tetapi menjadi pemilik dan pengelola aset energi.
Dengan model ini, warga desa bukan lagi sekadar konsumen listrik, melainkan juga pemegang saham energi. Manfaat ekonominya langsung terasa: keuntungan dari penjualan listrik kembali ke anggota koperasi, biaya listrik turun, dan usaha mikro lebih mudah tumbuh. Di sisi lain, koperasi menciptakan lapangan kerja baru sebagai teknisi, operator, hingga manajer proyek. Energi yang dikelola secara kolektif dengan cara ini menghadirkan demokratisasi ekonomi yang nyata.
Agar ide ini tidak berhenti pada tataran konsep, perlu ada aliansi strategis yang kokoh. Dalam kerangka iron triangle, keberhasilan kebijakan ditentukan oleh hubungan erat antara tiga aktor: legislatif, birokrasi, dan kelompok kepentingan.
Komisi XII DPR RI yang membidangi energi, dapat menjadi aktor penting untuk membuka ruang regulasi. Kementerian ESDM, Bappenas, Kementerian Desa dan PLN daerah memiliki peran kunci dalam implementasi serta penyediaan infrastruktur.
Di sisi lain, koperasi desa, asosiasi energi terbarukan, dan kelompok masyarakat sipil menjadi penggerak dari bawah. Ketiganya perlu duduk bersama, membangun kesepakatan, dan mengatasi bottleneck yang mungkin muncul. Dengan demikian, aliansi ini bukan hanya memperkuat legitimasi politik, tetapi juga menjamin keberlanjutan program.
Selain itu, pemetaan pemangku kepentingan juga penting. Pemerintah daerah, yang memiliki pengaruh tinggi dan kepentingan langsung, harus didekati dengan strategi manage closely. Masyarakat luas perlu terus diberi informasi agar merasa memiliki. Investor dan lembaga keuangan dapat diajak dalam skema keep satisfied dengan insentif yang jelas. Dengan peta semacam ini, strategi komunikasi dan advokasi dapat diarahkan secara efektif.
Dampak dari Desa Mandiri Energi sangat luas. Dari sisi ketahanan energi, desa memiliki pasokan yang mandiri dan berkelanjutan, mengurangi ketergantungan pada energi fosil impor yang rentan gejolak harga. Dari sisi ekonomi, model ini mendorong ekonomi yang inklusif: bukan hanya investor besar yang menikmati keuntungan energi, tetapi juga petani, pedagang kecil, dan warga desa biasa.
Dari sisi sosial-politik, program ini memperkuat kohesi sosial karena manfaatnya dirasakan bersama, sekaligus menumbuhkan rasa bangga dan percaya diri warga desa. Semua ini selaras dengan agenda pembangunan nasional yang ingin mewujudkan Indonesia yang maju dan merata.
Kritikus mungkin berargumen bahwa skala 1-1,5 MWp terlalu kecil untuk berdampak signifikan pada ketahanan energi nasional. Namun argumen ini luput melihat bahwa keberlanjutan energi justru terletak pada distribusi dan partisipasi.
Ribuan desa dengan PLTS menengah akan menghasilkan kapasitas kolektif yang jauh lebih besar daripada satu-dua proyek raksasa yang terpusat. Yang lebih penting, model ini membalik cara pandang pembangunan energi: dari sentralistis dan top-down, menjadi partisipatif dan berbasis komunitas.
Pada akhirnya, Desa Mandiri Energi berbasis PLTS koperasi desa adalah wujud nyata dari demokratisasi energi. Rakyat tidak lagi hanya sebagai pengguna, melainkan juga pemilik dan pengelola sumber daya. Energi menjadi milik bersama, dikelola untuk kepentingan bersama, dan menghasilkan manfaat bersama.
Momentum politik untuk mendorong transisi energi saat ini tidak boleh dilewatkan. Dengan komitmen politik yang jelas, dukungan regulasi yang tepat, dan partisipasi aktif masyarakat, Indonesia dapat melangkah menuju masa depan energi yang lebih adil, inklusif, dan tangguh.
Membangun desa mandiri energi bukanlah sekadar proyek listrik, melainkan proyek peradaban. Ia mengembalikan martabat desa sebagai pusat kemandirian, memperluas makna pembangunan sebagai pemerataan, dan mengokohkan ketahanan energi sebagai syarat kedaulatan bangsa.
Jika setiap desa mampu berdiri di atas kaki sendiri dalam memenuhi kebutuhan energinya, maka Indonesia selangkah lebih dekat menuju cita-cita besar: energi untuk semua, ekonomi untuk semua, dan keadilan untuk semua.
(miq/miq)