Konsesi Boleh, Tapi Keadilan dan Kemanusiaan Harus Ditegakkan

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan sebuah misi monumental: seluruh desa di Indonesia harus teraliri listrik dalam waktu empat tahun. Ini bukan semata proyek infrastruktur, melainkan perwujudan keadilan sosial dan energi bagi seluruh rakyat Indonesia, dari Miangas hingga Rote.
Langkah cepat Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang langsung meninjau proyek kelistrikan di Kabupaten Sarmi, Papua, hanya dalam hitungan hari sejak arahan Presiden, patut diapresiasi. Ini menunjukkan pemerintahan saat ini tidak ingin bekerja lamban. Arahan kepala negara dijawab dengan aksi nyata, bahkan hingga ke wilayah terjauh di timur Indonesia.
Namun, target besar ini tidak akan tercapai hanya dengan memperluas jaringan PLN secara konvensional. Elektrifikasi desa membutuhkan lompatan strategi. Dan itu berarti, membuka ruang bagi sistem kelistrikan mandiri yang berakar dari desa sendiri.
Belajar dari PLTS yang Mangkrak
Selama ini, proyek elektrifikasi berbasis Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) kerap dijalankan secara top-down dan seragam. Banyak pembangkit dibangun di desa terpencil tanpa ekosistem pengelolaan yang memadai.
Akibatnya, tak sedikit dari proyek-proyek tersebut yang akhirnya mangkrak. Panel surya rusak, baterai soak, dan masyarakat kembali hidup dalam gelap.
Kita tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama. Strategi ke depan harus bersifat ekosistemik dan berkelanjutan-bukan sekadar membangun pembangkit, tapi membangun sistem yang hidup dan bertumbuh bersama masyarakat.
Energi Mandiri Berbasis Komunitas
Desa tidak harus selalu bergantung pada jaringan nasional PLN. Di banyak daerah dengan geografi ekstrem dan populasi tersebar, pembangkit off-grid berbasis energi baru terbarukan (EBT) justru menjadi solusi paling efisien dan cepat. PLTS, mikrohidro, hingga biomassa bisa menjadi tulang punggung energi lokal yang dikelola oleh warga itu sendiri.
Kuncinya adalah memastikan pengelolaan berada di tangan masyarakat melalui BUMDes atau Koperasi Energi Merah Putih, sehingga muncul rasa memiliki dan tanggung jawab atas keberlanjutan sistem. Listrik tak hanya hadir, tapi juga dimanfaatkan untuk produktivitas ekonomi desa: untuk pertanian, pengolahan hasil laut, industri rumah tangga, hingga digitalisasi layanan publik.
Tantangannya: Bukan Lagi Membangun, Tapi Menumbuhkan
Tantangan elektrifikasi desa hari ini bukan lagi sekadar soal membangun fisiknya, tapi menumbuhkan ekosistem energi lokal yang mandiri. Ada tiga pilar penting yang harus ditekankan:
1. Model bisnis mikro yang berkelanjutan: Pembayaran listrik prabayar dengan sistem token, dikelola secara lokal.
2. Kapasitas SDM lokal: Pelatihan teknisi desa, pemeliharaan alat, dan manajemen koperasi energi.
3. Pengawasan dan transparansi berbasis teknologi: Penggunaan IoT untuk memantau konsumsi dan gangguan sistem secara real-time.
Dengan pendekatan seperti ini, desa bukan hanya menjadi penerima bantuan, tapi pelaku utama dalam membangun kedaulatan energi dari bawah.
Terang dari Desa, Terang untuk Indonesia
Program elektrifikasi desa akan berdampak besar bagi prioritas nasional lainnya: ketahanan pangan, pemberdayaan UMKM, industrialisasi daerah, hingga transformasi pendidikan. Karena itu, eksekusi program ini harus melampaui pendekatan sektoral-dibutuhkan kolaborasi antara ESDM, Kemenko Perekonomian, Kemendesa, hingga stakeholder swasta.
Terang tidak harus selalu datang dari pusat. Di era Prabowo, terang bisa tumbuh dari desa-asal diberi ruang, kepercayaan, dan ekosistem yang sehat. Listrik untuk desa bukan soal kabel dan tiang, tapi tentang kemandirian, keadilan, dan masa depan Indonesia yang lebih merata.