Indonesia dan Kepemimpinan Global South dalam Energi

Feiral Rizky Batubara CNBC Indonesia
Selasa, 09/09/2025 05:20 WIB
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara merupakan pemerhati kebijakan publik dan praktisi ketahanan energi. Feiral telah lama berkiprah dalam perumusan kebija... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi bendera Indonesia. (Tangkapan Layar YouTube Sekretariat Presiden)

Dunia sedang memasuki babak baru ketika krisis iklim, ketidakstabilan harga energi, dan ketegangan geopolitik mendorong perubahan besar dalam cara manusia memandang energi. Transisi menuju sumber bersih bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan.


Namun, sebelum melakukan transisi, ada pertanyaan mendasar yang perlu dijawab, yaitu apakah transisi ini adil bagi semua negara, atau hanya memperlebar jurang antara Utara dan Selatan? Dalam pertarungan inilah Indonesia berpotensi menjadi suara utama Global South agar dapat memimpin agenda transisi energi yang tidak hanya hijau, tetapi juga berkeadilan.

Indonesia memiliki modal strategis yang sulit diabaikan. Dengan populasi lebih dari 280 juta jiwa dan status sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, posisi Indonesia dalam peta energi global amat vital. Negeri ini juga menguasai cadangan mineral kritis termasuk nikel, bauksit, tembaga, dan timah.

Semua mineral tersebut kini menjadi tulang punggung transisi energi dunia. Tanpa mineral dari Selatan, sulit membayangkan kendaraan listrik, panel surya, atau turbin angin dapat diproduksi dalam skala global. Bukan berlebihan jika dikatakan, Global South adalah jantung transisi, dan Indonesia adalah nadinya.

Potensi energi terbarukan Indonesia juga luar biasa. Sinar matahari berlimpah sepanjang tahun, angin pesisir selatan Jawa hingga timur Indonesia, panas bumi terbesar kedua di dunia, dan arus laut yang unik menjadi mozaik energi hijau yang jarang dimiliki negara lain. Potensi ini bukan hanya untuk kebutuhan domestik, melainkan juga modal diplomasi yang bisa menjadikan Indonesia sebagai pemasok energi bersih regional maupun global.

Sayangnya, narasi transisi energi selama ini kerap didominasi negara maju. Mereka menetapkan target, mendikte standar, dan menawarkan teknologi, seolah arah energi dunia hanya bisa ditentukan dari Utara.

Padahal, negara-negara Selatan menghadapi beban ganda, diantaranya adalah melawan dampak krisis iklim sekaligus mengejar pembangunan. Banyak dari mereka diminta meninggalkan energi fosil lebih cepat, sementara dukungan finansial maupun teknologi yang dijanjikan kerap tidak sebanding.

Di sinilah posisi Indonesia penting. Pengalaman memimpin G20 pada 2022 menunjukkan kapasitas Indonesia menjembatani kepentingan. Inisiatif Just Energy Transition Partnership (JETP) yang lahir kala itu adalah sinyal awal bahwa Indonesia bisa membawa isu transisi adil ke panggung dunia.

Meski implementasi masih menghadapi tantangan, diplomasi tersebut telah membuka jalan untuk memperjuangkan prinsip bahwa negara maju memiliki tanggung jawab lebih besar dalam menyediakan climate finance, transfer teknologi, dan penguatan kapasitas.

Prinsip ini selaras dengan amanat Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan bumi dan kekayaan alam harus dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sekaligus sejalan dengan komitmen nasional dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement yang mengikat Indonesia untuk menurunkan emisi dan berperan aktif dalam solusi iklim global.

Diplomasi energi Indonesia dapat diperkuat melalui pengelolaan mineral strategis. Seperti OPEC yang mengonsolidasikan kekuatan minyak, Indonesia bersama negara pemilik mineral kritis di Afrika dan Amerika Latin dapat membangun mekanisme kerja sama baru.

Tujuannya bukan menciptakan kartel, melainkan memastikan nilai tambah mineral juga kembali ke negara penghasil, bukan hanya industri maju. Dengan strategi ini, Global South tidak lagi terjebak sebagai pemasok bahan mentah, melainkan menjadi aktor penting dalam rantai nilai global.

Namun, kepemimpinan di panggung internasional tidak akan berarti tanpa konsistensi di dalam negeri. Indonesia harus memberi bukti konkret melalui pembangunan pembangkit energi terbarukan, pengurangan ketergantungan batubara, investasi teknologi penyimpanan, hingga elektrifikasi transportasi.

Transisi juga harus adil, para pekerja tambang harus dibekali keahlian baru, daerah penghasil energi fosil mendapat alternatif penggerak ekonomi, dan masyarakat pelosok memperoleh listrik bersih yang terjangkau. Keberhasilan domestik akan memperkuat kredibilitas diplomasi internasional, membuktikan bahwa transisi bisa berjalan seiring dengan pemerataan.

Dalam konteks geopolitik yang kian terpolarisasi, posisi Indonesia sebagai suara moderat Global South justru semakin dibutuhkan. Rivalitas Amerika Serikat dan China dalam teknologi energi, perang Rusia-Ukraina, hingga ketidakpastian ekonomi global menambah urgensi kehadiran jembatan yang adil. Indonesia, sebagai negara demokrasi besar di Asia sekaligus pemimpin ekonomi ASEAN, dapat memerankan fungsi tersebut.

Transisi energi berkeadilan pada akhirnya bukan hanya soal menekan emisi atau mengejar target teknologi. Ia adalah soal hak: hak setiap rumah tangga menikmati listrik, hak pekerja memiliki masa depan yang layak, hak generasi mendatang mewarisi bumi yang sehat, serta hak negara berkembang untuk tidak sekedar menjadi penonton, tetapi menjadi aktor utama.

Ketersediaan energi, baik terbarukan maupun non-terbarukan, terbukti mampu membangkitkan moral masyarakat. Ketika rumah tangga mendapatkan kepastian listrik, ketika industri memperoleh suplai energi stabil, dan ketika desa-desa terpencil merasakan cahaya lampu, tercipta rasa optimisme secara kolektif.

Energi menghadirkan rasa aman, dan rasa aman itu menjadi fondasi pertumbuhan ekonomi. Masyarakat yang tenang dan percaya diri akan lebih produktif, sementara investasi akan datang ke lingkungan yang stabil. Itulah mengapa jaminan ketersediaan energi bersih yang terjangkau, dan berkelanjutan adalah syarat mutlak bagi kemajuan bangsa.

Indonesia memiliki semua prasyarat untuk memainkan peran besar, seperti cadangan mineral kritis, potensi energi terbarukan, rekam jejak diplomasi, serta dasar hukum yang jelas melalui UUD 1945 dan ketentuan Paris Agreement. Yang dibutuhkan kini adalah keberanian politik untuk mengartikulasikan suara Global South dan konsistensi dalam implementasi secara domestik.

Masa depan energi dunia akan sangat ditentukan oleh bagaimana Global South berperan. Jika negara-negara Selatan bersatu, transisi energi bisa menjadi momentum untuk memperbaiki ketidakadilan masa lalu. Indonesia berpeluang berdiri di garis depan perjuangan itu.

Kini saatnya pemerintah menegaskan langkah, memastikan transisi energi menjadi agenda global, dan menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang kaya akan sumber daya energi dan memiliki keberanian untuk menyuarakan transisi energi yang berkeadilan di tengah gelapnya krisis energi dunia.


(miq/miq)