Subsidi Energi di Era AI: Antara Efisiensi, Keadilan, dan Masa Depan

Kuntjoro Pinardi CNBC Indonesia
Kamis, 07/08/2025 08:57 WIB
Kuntjoro Pinardi
Kuntjoro Pinardi
Kuntjoro Pinardi merupakan pengajar di Institut Sains Teknologi Nasional. Ia adalah Ahli Manajerial dan Tata Kelola Sistem Kebijakan Energi ... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi artificial intelligence (AI). (REUTERS/Dado Ruvic/Illustration/File Photo)

Di tengah gelombang digitalisasi dan transisi energi, satu pertanyaan krusial mengemuka: masih relevankah subsidi energi konvensional di era kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI)?



Jawaban dari pertanyaan ini tidak tunggal, tapi jelas bahwa pendekatan lama tidak cukup lagi. Kita perlu sistem subsidi energi yang tidak hanya adil dan efisien, tapi juga cerdas.

Lihatlah India. Lewat program Direct Benefit Transfer (DBT), pemerintah menyalurkan subsidi elpiji langsung ke rekening penerima berdasarkan data KTP dan domisili.


Dengan sistem ini, miliaran dolar subsidi bisa disalurkan tepat sasaran, sambil meminimalkan kebocoran. Bahkan, masyarakat kelas menengah yang tidak lagi membutuhkan subsidi diajak untuk "Give It Up", menyerahkan hak subsidi secara sukarela.

Sementara itu, Malaysia memilih pendekatan berani: menghapus subsidi bahan bakar secara bertahap sejak 2010 dan menggantinya dengan skema harga pasar (managed float).

Dampaknya memang menimbulkan kejutan jangka pendek, tapi dalam jangka panjang menciptakan efisiensi fiskal dan mendorong inovasi energi terbarukan. Subsidi kemudian diarahkan secara spesifik ke kelompok yang rentan dalam bentuk bantuan tunai.

Brasil menghadapi dilema yang berbeda. Harga gas alam di sana termasuk yang tertinggi di dunia, mencapai US$ 10,78 per mmbtu. Sebab, dominasi Petrobras, keterbatasan infrastruktur, dan regulasi harga yang kaku membuat subsidi tidak merata.

Akibatnya, sektor industri energi-intensif kehilangan daya saing dan sebagian memilih pindah ke negara tetangga yang lebih efisien.

Bagaimana dengan Indonesia?
Dengan anggaran subsidi LPG 3 kg yang mencapai Rp 87 triliun per tahun, kita dihadapkan pada tantangan besar: banyak subsidi tidak sampai ke mereka yang paling membutuhkan. Warung besar, rumah tangga menengah atas, bahkan pelaku industri kecil, masih bisa membeli tabung melon karena distribusi tidak berbasis data.

Di sisi lain, keluarga miskin di pedesaan harus antre atau membayar lebih dari Harga Eceran Tertinggi (HET) karena kalah akses.

Kini saatnya kita berbenah. Di era AI dan big data, subsidi seharusnya tidak lagi menggunakan pendekatan universal.

Pemerintah bisa memanfaatkan data NIK, P3KE, geo-tagging, dan algoritma kecerdasan buatan untuk memetakan penerima subsidi yang benar-benar layak. Pendistribusian bisa dilakukan secara langsung via e-wallet atau koperasi desa digital.

Bahkan pengecer informal bisa dilatih menjadi mitra digital negara untuk mendistribusikan energi bersubsidi secara transparan.

Lebih dari itu, sebagian dana subsidi bisa dialihkan untuk mendorong program energi bersih berbasis komunitas: biogas desa, dapur induksi tenaga surya, hingga bio-LPG dari limbah pertanian. Ini bukan sekadar transisi energi, tapi juga menciptakan lapangan kerja baru di desa dan mengurangi ketergantungan impor LPG.

Keadilan energi bukan berarti semua orang mendapat harga murah. Tapi bahwa yang paling lemah, paling terpencil, dan paling rentan, tidak tertinggal.

Dalam konteks inilah, subsidi menjadi instrumen strategis untuk memperkuat visi Asta Cita: membangun dari pinggiran, meningkatkan produktivitas rakyat, dan mewujudkan revolusi karakter bangsa. Subsidi energi cerdas bukan soal algoritma semata. Ia harus dipadukan dengan empati kebijakan dan keberanian perubahan.

Presiden Indonesia saat ini, Prabowo Subianto, memiliki modal sosial yang besar dan mandat luas. Dengan kepemimpinan yang berpihak, kita bisa melangkah menuju subsidi yang adil, adaptif, dan bermartabat, sesuai cita-cita energi untuk rakyat, bukan sekadar angka dalam anggaran.


(miq/miq)