Kedaulatan Telekomunikasi RI: Antara Ketergantungan dan Kemandirian

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 telah menetapkan sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 8% pada tahun 2029.
Suatu level pertumbuhan ekonomi yang belum pernah kita capai dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Target itu bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan akan menjadi penopang utama tercapainya visi Indonesia Emas 2045, momen seratus tahun kemerdekaan yang diharapkan menjadikan Indonesia sebagai negara maju.
Untuk mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi tersebut dibutuhkan investasi yang besar. Berdasarkan perhitungan pemerintah, total kebutuhan investasi selama 2025-2029 mencapai Rp47.573 triliun atau rata-rata Rp9.515 triliun per tahun yang berasal dari investasi pemerintah, BUMN, dan investasi swasta/masyarakat.
Dalam berbagai kesempatan, kepala negara menegaskan bahwa salah satu kunci akselerasi pertumbuhan ekonomi adalah keberhasilan transformasi digital nasional.
Investasi teknologi digital, mulai dari pengembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), pembangunan pusat data (data center), hingga digitalisasi layanan publik, menjadi fondasi penting untuk mendongkrak produktivitas, membuka peluang kerja baru, sekaligus memastikan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.
Kemudahan Investasi Sebagai Prasyarat
Di kawasan ASEAN, tren investasi digital terus meningkat. Singapura, Malaysia, dan Vietnam bersaing ketat menarik modal asing di sektor teknologi, khususnya pembangunan data center dan AI. Menurut laporan e-Conomy SEA 2024, ekonomi digital Indonesia sendiri telah mencapai nilai sekitar US$ 90 miliar pada tahun 2024, tumbuh 13% dari tahun sebelumnya, dengan e-commerce tetap menjadi kontributor utama sebesar US$ 65 miliar.
Proyeksi ke depan lebih optimis. Pada tahun 2030, nilai ekonomi digital Indonesia diperkirakan menembus US$ 200 miliar hingga US$ 360 miliar, didorong oleh sektor perjalanan daring, transportasi makanan, hingga media digital.
Namun demikian, realisasi investasi digital di Indonesia masih membutuhkan dorongan percepatan. Beberapa rencana investasi raksasa belakangan ini di bidang cloud dan AI memang telah diumumkan dengan nilai yang signifikan yang membawa teknologi terkini.
Tentu saja pemerintah perlu mengawal terwujudnya komitmen tersebut sesuai arahan presiden yang telah mengingatkan pentingnya pengawasan agar setiap jenis investasi benar-benar terealisasi, terhubung dengan rantai pasok lokal, serta berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Oleh karenanya, iklim investasi dan kemudahan berusaha perlu diperkuat dengan simplifikasi dan digitalisasi perizinan. Sistem OSS Berbasis Risiko (OSS RBA) yang terhubung ke Indonesia National Single Window (INSW) memungkinkan proses perizinan ekspor-impor hingga penerbitan Nomor Induk Berusaha (NIB) berjalan lebih cepat, transparan, dan tanpa duplikasi dokumen.
Transformasi kemudahan berusaha ini dilakukan melalui pergeseran dari birokrasi perizinan yang kompleks menuju pelayanan yang lebih terpadu dan responsif. Pendekatan berbasis digital dan kolaboratif ini ditujukan untuk mendukung efisiensi, transparansi, serta kemudahan berusaha agar terwujud peningkatan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Digital Public Infrastructure dan Transformasi Ekonomi Digital
Transformasi digital memiliki peran nyata dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Laporan McKinsey (2018) menunjukkan, ekonomi digital berdampak pada empat fokus area meliputi menciptakan lapangan kerja, mendorong pemerataan sosial, menghadirkan keuntungan finansial bagi dunia usaha, serta mendatangkan manfaat langsung bagi konsumen dan masyarakat.
Dalam konteks digitalisasi, baik layanan publik maupun industri usaha yang terkait ekonomi digital perlu ditopang oleh pengembangan digital public infrastructure (DPI) sebuah negara yang mencakup digital identity, digital payment, dan data exchange. Sistem identitas digital memungkinkan akses lebih merata pada layanan dasar, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga perbankan.
Adopsi digital payment terbukti mendorong perputaran ekonomi berupa peningkatan penggunaan pembayaran digital sebesar 1% untuk setiap pertumbuhan PDB per kapita sebesar 0,1% dalam dua tahun terakhir.
Digitalisasi pembayaran berperan penting membangun ekosistem inklusif yang berkelanjutan. Contoh nyata datang dari India dengan Aadhaar system yang berhasil mengintegrasikan lebih dari 1 miliar penduduk ke ekonomi formal, menekan kebocoran dana, dan meningkatkan efisiensi layanan publik.
Di sektor UMKM, transformasi digital juga membuka peluang besar. Platform berbasis scoring seperti UMKM 360° Cockpit mampu menyediakan insight kredit, peluang pembiayaan, hingga bimbingan pencatatan pembukuan dan pajak secara real-time. Hal ini mendukung upaya pemerintah memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan.
Penerapan telco money, penggunaan nomor ponsel sebagai identitas digital, juga dinilai sangat potensial, mengingat rasio SIM card di Indonesia sudah melebihi total populasi. Dengan total pelanggan 348 juta, model ini dapat menjangkau wilayah terpencil dan mempermudah inklusi keuangan.
Sementara itu, infrastruktur data exchange yang efisien memacu arus data real-time antara sektor publik dan swasta, memangkas duplikasi data, sekaligus membuka potensi penambahan pendapatan negara hingga US$ 700 miliar hingga US$ 950 miliar per tahun melalui kebijakan open data.
Di sisi lain, terdapat kebutuhan percepatan digitalisasi pembayaran agar inklusi keuangan semakin luas. Salah satu instrumen kunci, seperti Central Mapper di Kementerian Keuangan, memperkuat akurasi layanan publik seperti penyaluran bansos melalui pemetaan rekening penerima bantuan dan kapabilitas berbagi pakai data.
Kolaborasi lintas sistem, INA Digital, DTSEN, SPAN, hingga government e-wallet, menunjukkan bagaimana digitalisasi terintegrasi menopang perlindungan sosial yang lebih tepat sasaran.
Data Center Sebagai Infrastruktur Pendukung Pertumbuhan
Salah satu sektor yang menjadi tulang punggung transformasi digital adalah pembangunan data center. Indonesia memiliki potensi besar menjadi hub pusat data di Asia Tenggara berkat kombinasi populasi digital aktif, tarif listrik industri yang relatif kompetitif (US$ 7 hingga US$ 9 sen per kWh), bonus demografi, hingga tren e-commerce yang terus berkembang.
Saat ini, kapasitas data center Indonesia masih sekitar 1,5 watt per kapita, jauh di bawah Singapura (>100 watt) maupun Jepang (~10 watt). Untuk mendekati level Jepang, Indonesia memerlukan tambahan kapasitas minimal 2.800 MW, belum termasuk permintaan AI yang diproyeksi naik 15 kali lipat dibanding non-AI workload.
Investasi di sektor ini sangat menjanjikan. Pembangunan data center dengan total kapasitas 3.853 MW berpotensi mendatangkan nilai investasi hingga Rp700 triliun hingga Rp1.100 triliun, mayoritas bersumber dari Foreign Direct Investment (FDI). Dampak ekonomi tidak berhenti di situ, yaitu setidaknya Rp218 triliun tambahan GDP dapat dihasilkan dari pendapatan industri data center dan pembangkit listrik saja, dengan kontribusi pajak langsung sekitar Rp33 triliun.
Belum lagi multiplier effect yang dapat mencapai Rp1.150 triliun hingga Rp1.800 triliun dan penciptaan hingga 4,8 juta lapangan kerja baru di bidang konstruksi, teknisi, hingga pakar IT. Peluang pendapatan dari pembangkit listrik, hal ini antara lain dapat diperoleh melalui kerja sama business to business (b-to-b) antara investor data center dengan perusahaan penyedia tenaga listrik, seperti PLN.
Namun demikian, Indonesia perlu belajar dari strategi negara tetangga. Malaysia, misalnya, sukses mempercepat realisasi data center melalui jalur hijau (Green Lane Pathway) yang memangkas waktu pembangunan dari 36-48 bulan menjadi hanya 12 bulan.
Kebijakan data sovereignty juga krusial. Vietnam menjadi contoh, mewajibkan penyedia cloud global membangun infrastruktur lokal sehingga menjamin kedaulatan data sekaligus menarik FDI. Indonesia perlu mempertimbangkan revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 ke skema lebih pro-kedaulatan seperti PP Nomor 82/2012 agar data penduduk dan bisnis tetap terjaga di dalam negeri.
Transformasi digital bukan hanya instrumen modernisasi, melainkan kunci nyata membuka peluang pertumbuhan ekonomi sebesar 8% secara berkelanjutan. Melalui simplifikasi kemudahan perizinan dalam berinvestasi, pembangunan data center, adopsi pembayaran digital, penguatan DPI, semuanya saling terhubung mendukung ekosistem ekonomi digital nasional yang inklusif, efisien, dan berdaya saing tinggi.
Presiden telah menekankan bahwa investasi digital bukan lagi opsi, melainkan prasyarat untuk memenangkan persaingan global. Tugas bersama kita adalah memastikan komitmen tersebut terealisasi secara nyata, agar Indonesia Emas 2045 dapat terwujud menjadi lompatan sejarah bagi generasi mendatang.