Munculnya Tunas Perlawanan

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Demonstrasi yang berujung kericuhan di sejumlah daerah di tanah air memperlihatkan kontras yang menyakitkan. Di jalanan Jakarta, seorang pengemudi ojek daring meninggal setelah terlindas kendaraan taktis Brigade Mobil Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Di dapur rakyat, ibu-ibu kembali mencari kayu bakar karena gas melon 3 kilogram sulit dijangkau. Semua ini bukan soal politik kekuasaan, melainkan jeritan hidup yang kian berat.
Kali ini bukan 1998. Gen Z yang turun ke jalan tidak membawa manifesto besar atau agenda mengganti rezim. Mereka hanya menginginkan: harga pangan yang masuk akal, energi yang bisa dibeli tanpa antre dan mark-up, pekerjaan yang layak, dan rasa aman untuk masa depan.
Bagi mereka, demokrasi hanya berarti jika bisa dirasakan dalam keseharian. Namun sayangnya, di gedung parlemen, wajahnya lain. Wakil rakyat, dalam hal ini DPR, menerima gaji dan tunjangan yang terus diperdebatkan publik karena dinilai terlalu jauh dari empati rakyat.
Setiap rupiah yang mengalir ke fasilitas mewah para elite politik seolah menjadi duri bagi mereka yang masih menghitung receh untuk membeli beras atau ongkos sekolah anak.
Keadilan sosial, sila kelima Pancasila, terasa hampa jika para wakil rakyat tidak rela menahan privilese. Demokrasi yang seharusnya menghadirkan kesetaraan justru bisa runtuh karena ketidakpekaan mereka yang dipilih untuk mewakili suara rakyat.
Kerusuhan hari ini adalah alarm. Alarm bahwa kebijakan tidak bisa berhenti pada angka makro semata, tetapi harus menyentuh dapur rumah tangga rakyat. Solusi nyata tidak harus rumit.
Reformasi subsidi energi berbasis data dapat memastikan gas melon hanya dinikmati yang berhak. Tambang ayam rakyat bisa menjadi program sederhana namun revolusioner: memproduksi protein murah berbasis koperasi desa dan BUMDes, memastikan setiap anak Indonesia bisa makan telur tanpa harus mengorbankan biaya lain.
Presiden Prabowo Subianto tentu memahami bahwa pembangunan bukan semata gedung pencakar langit atau infrastruktur megah, melainkan wajah rakyat yang tenang karena perutnya terisi.
Sejarah bangsa mengajarkan, krisis sering lahir bukan dari ideologi, tapi dari dapur yang kosong. Karena itu, inilah saatnya elite politik berkorban. Jika parlemen berani memangkas tunjangan berlebihan dan mengalihkannya untuk subsidi pangan atau energi, mereka bukan kehilangan kehormatan, melainkan mendapatkan kembali kepercayaan rakyat.
Dan bila aparat penegak keamanan mampu menahan diri, melindungi bukan melukai, negara akan kembali dipeluk rakyatnya sendiri.
Air mata rakyat di jalanan jangan lagi jatuh sia-sia. Ia harus menjadi titik balik lahirnya kebijakan berempati, agar demokrasi kita tidak hanya hidup di gedung parlemen, tetapi juga di dapur sederhana rakyat kecil.