Menakar Putusan MK Hapus Presidential Threshold & Tantangan Demokrasi

Rendy Wadipalapa CNBC Indonesia
Jumat, 10/01/2025 12:30 WIB
Rendy Wadipalapa
Rendy Wadipalapa
Rendy Wadipalapa merupakan ketua pada research cluster Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri Badan Riset ... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi pilkada. (REUTERS/Willy Kurniawan)

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) telah membuka babak baru dalam demokrasi dan kompetisi elektoral di Indonesia. Putusan ini sekaligus juga menjawab kekhawatiran sebagian besar sarjana politik tentang kemerosotan mutu pemilu.


Dengan menghapus persyaratan 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional sebagai jalan pencalonan presiden, MK menebang eksklusivitas politik kepartaian dan memberi ruang baru bagi partai parlemen mana pun untuk turut menyumbang nama kandidat. Terobosan ini, kendati telah berulang kali diajukan oleh pelbagai elemen masyarakat sipil, menawarkan harapan dan paradigma baru dalam kontestasi politik nasional kita.

Sejak diberlakukan pada Pilpres 2004, presidential threshold (PT) berangsur menjadi instrumen menentukan yang membentuk struktur koalisi pemerintahan ke depan.

Aliansi multi partai bersatu dengan tujuan besar untuk mencapai agregat 20 persen kursi DPR agar dapat mengajukan calon presiden, dan bukan pertama-tama berlandas pada kesamaan ideologis, visi demokrasi, atau nilai-nilai kemasyarakatan.

Akibatnya, sistem PT ini mendapat kritik telak karena dianggap sekadar merefleksikan kepentingan jangka pendek aliansi politik partai, dan tidak sungguh-sungguh menciptakan kepemimpinan nasional yang kuat melalui pemilu yang kompetitif. Lebih jauh, PT membatasi partisipasi politik sekedar pada lingkaran elite partai-partai besar yang diuntungkan karena kepemilikan kursi parlemen mayoritas.

Oleh karena itu, ikhtiar MK dalam membatalkan rumusan PT ini mengundang siapapun untuk memetakan ulang peluang dan resiko yang hadir menyertai putusan ini.

Manfaat paling kentara adalah redistribusi partisipasi antar partai politik. Penghapusan PT membuka ruang partisipasi yang lebih luas: partai-partai kecil dan menengah kini punya kesempatan yang sama untuk mengajukan calon pemimpinnya.

Meskipun kesempatan ini belum tentu menjamin variasi calon presiden yang nanti akan diusung, tetapi jalan untuk melahirkan nama-nama pemimpin alternatif masa depan telah terbuka. Pada saat yang sama, pemilu boleh jadi tidak akan lagi didominasi oleh nama-nama lama, dan rakyat dimungkinkan untuk mendapat lebih banyak preferensi nama. Diskursus politik nasional berpotensi menjadi lebih kaya dengan hadirnya figur-figur baru.

Namun demikian, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap risiko yang mungkin muncul. Tanpa mekanisme penyaring awal yang kuat, kita mungkin akan menghadapi situasi di mana terlalu banyak kandidat berkompetisi dalam pilpres.

Hal ini bukan hanya akan mempersulit pemilih dalam menentukan pilihan, tetapi juga berpotensi menciptakan fragmentasi politik yang berlebihan. Pada yang disebut terakhir ini, kita patut berhati-hati agar tak jatuh kembali pada ketajaman pembelahan politik yang tak terkontrol.

Tantangan lain yang perlu diantisipasi adalah resiko stabilitas dan governabilitas. Pada sistem di mana tidak ada PT, presiden terpilih nantinya mungkin akan menghadapi kesulitan dalam membangun dukungan politik di parlemen jika tidak memiliki basis koalisi yang kuat. Pengalaman demokrasi kita menunjukkan bahwa efektifitas pemerintahan sangat bergantung pada harmonisasi hubungan eksekutif-legislatif.

Menyikapi perubahan fundamental ini, ada beberapa hal yang penting diperhatikan. Pertama, penguatan sistem verifikasi calon presiden menjadi krusial. KPU perlu memiliki mekanisme yang lebih ketat untuk memastikan kualitas dan kapasitas setiap kandidat yang diajukan. Standar pencalonan harus dibuat lebih terukur dan obyektif.

Kedua, revisi UU Pemilu menjadi kebutuhan mendesak. Perubahan regulasi tidak bisa berhenti pada penghapusan presidential threshold saja, tetapi harus mencakup aspek-aspek teknis penyelenggaraan pemilu hingga mekanisme pembentukan pemerintahan. Hal ini penting untuk menciptakan kerangka hukum yang komprehensif dan antisipatif.

Ketiga, penguatan pendidikan politik masyarakat sekaligus pelibatan aktif pengawasan bersama. Dengan potensi hadirnya lebih banyak kandidat, pemilih perlu dibekali kemampuan yang memadai untuk menilai dan memilih secara kritis, juga mengawasi dan mengontrol jalannya kompetisi. Partai politik, pemerintah, dan masyarakat sipil perlu berkolaborasi dalam menghadirkan pendidikan politik yang berkualitas.

Keempat, partai politik yang dianggap sebagai biang kerok dari macetnya regenerasi kepemimpinan nasional, harus memperkuat sistem kaderisasi dan rekrutmen. Tanpa presidential threshold, godaan untuk mengajukan calon yang populer namun minim kapasitas akan semakin besar. Partai perlu membuktikan bahwa mereka bisa menghadirkan calon pemimpin yang berkualitas melalui proses kaderisasi yang terstruktur.

Yang terakhir, penguatan institusi pengawas menjadi kunci. Bawaslu dan lembaga pengawas pemilu lainnya perlu meningkatkan kapasitas mereka mengingat proses politik yang mungkin akan lebih kompleks. Integritas pemilu harus tetap terjaga di tengah perubahan sistem yang terjadi.

Putusan MK ini sejatinya memberi kita kesempatan untuk menata ulang sistem demokrasi kita menjadi lebih inklusif, terbuka dan kompetitif. Keluhan bahwa Indonesia hanya mampu mencetak demokrasi prosedural yang tak substantif-lantaran sekedar memenuhi rutinitas lima tahunan belaka tanpa perubahan yang jenial-barangkali dapat mulai dijawab melalui putusan MK tersebut.

Trajektori ini harus dijaga agar gerak progresinya tidak macet kembali karena manuver dan kompromi elite yang tak terlalu perlu. Inisiatif reformis dari MK harus disambut dengan kerjasama semua pemangku kepentingan untuk memastikan perubahan ini membawa Indonesia menuju demokrasi yang lebih matang.

Yang pasti, penghapusan PT adalah salah satu titik penting yang membuktikan bahwa ikhtiar perbaikan dalam perjalanan demokrasi tidak pernah sungguh-sungguh padam. Pertanyaan besarnya kemudian adalah bagaimana memastikan perubahan ini benar-benar membawa Indonesia menuju demokrasi yang lebih substantif, bukan sekadar prosedural.


(miq/miq)