Analisis Dampak MK Larang Peserta Pemilu Gunakan Foto AI Saat Kampanye

Rifandy Deovandra, CNBC Indonesia
08 January 2025 12:15
Rifandy Deovandra
Rifandy Deovandra
Rifandy Deovandra merupakan Ketua Bidang II Bakorpus HIPMI Perguruan Tinggi Indonesia yang berfokus pada perekonomian, UMKM, pengembangan startup, dan ekonomi kreatif. Selain itu, penulis juga berproses di Badko HMI Jabodetabeka-Banten sebagai Wakil Bendah.. Selengkapnya
Ribuan simpatisan Prabowo-Gibran saat kampanye akbar bertajuk 'Pesta Rakyat Untuk Indonesia Maju' di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta, Sabtu (10/2/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Kampanye calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta, Sabtu (10/2/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Kecerdasan artifisial (artificial intelligence/AI) kini menjadi salah satu teknologi yang banyak dibicarakan dalam berbagai profesi, termasuk politik. AI memungkinkan pembuatan konten dengan cepat, menarik, dan dapat disesuaikan dengan output tertentu, terutama penggunaanannya dalam kampanye politik.

Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang melarang penggunaan AI dalam pembuatan konten kampanye. Keputusan tersebut memicu perdebatan hangat di kalangan masyarakat.

Meskipun kehadiran teknologi ini memang menantang, pelarangan AI dalam kampanye politik justru dapat menghambat kebebasan berekspresi yang telah dijamin oleh konstitusi. Sebaliknya, yang seharusnya menjadi fokus adalah pengaturan transparansi dalam penggunaan AI, agar kampanye tetap berjalan dengan jujur dan adil.

Pada Kamis (2/1/2025), MK mengeluarkan putusan yang melarang penggunaan AI dalam pembuatan konten kampanye politik. Putusan ini tercatat dalam Permohonan Uji Materi Nomor 21/PUU-XI/2023, yang menyatakan bahwa penggunaan AI dalam kampanye politik dapat merusak prinsip-prinsip demokrasi yang adil dan transparan.

Keputusan tersebut memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat, karena sebagian pihak menganggap putusan tersebut sebagai hambatan terhadap kebebasan berekspresi yang telah dijamin dalam UUD 1945.

AI dalam proses kampanye politik, sebenarnya berperan sebagai alat komunikasi yang mampu memproduksi pesan, baik foto maupun video dengan cara yang menarik dan mudah dipahami oleh seluruh kalangan. Sebagai contoh, pada Pemilu Presiden 2024, kampanye berbasis AI yang menyematkan figur 'gemoy' kepada calon seperti Prabowo Subianto membuktikan bahwa teknologi ini bisa menggaet perhatian dan dukungan masyarakat, khususnya di kalangan muda.

Namun, meski dapat menyentuh emosional, konten AI tidak serta-merta mudah viral dan FYP, tergantung pada bagaimana pesan tersebut disampaikan oleh sang komunikator. Maka dari itu, alih-alih melarang, yang seyogianya dibatasi adalah penyalahgunaan AI yang bisa menyesatkan, seperti manipulasi gambar atau video yang berpotensi merusak integritas pemilu.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana AI dapat dimanfaatkan untuk mengubah cara kampanye politik disampaikan. AI memungkinkan pembuatan konten yang lebih beragam, termasuk meme, video, dan gambar, yang bisa dengan mudah menyentuh emosi audiens dan membuatnya lebih mudah diterima di platform digital. Dalam hal ini, 'gemoy' menjadi alat untuk menjangkau audiens yang lebih luas, terutama generasi muda yang lebih terbiasa dengan konsumsi media berbasis digital.

Ada kekhawatiran terkait transparansi dan integritas penggunaan AI dalam kampanye politik. Konten yang dibuat dengan AI bisa disesuaikan sedemikian rupa sehingga menjadi menyesatkan atau manipulatif, terutama jika digunakan untuk mengubah citra calon pemimpin secara drastis atau memengaruhi pandangan pemilih.

Selain itu, penggunaan AI untuk menciptakan konten viral yang menarik perhatian publik juga bisa berisiko memanipulasi persepsi masyarakat, yang tentunya bertentangan dengan prinsip pemilu yang adil dan transparan.

Larangan ini dapat dilihat sebagai upaya untuk melindungi hak pemilih dalam Pasal 28C Ayat (1) UUD 1945. Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar dan hak atas informasi.

Jika AI digunakan untuk menghasilkan konten yang menyesatkan, hal ini berpotensi merusak integritas proses pemilu, yang pada dasarnya merupakan hak pemilih untuk mendapatkan informasi yang jujur dan transparan.

Kebijakan mengenai penggunaan AI dalam kampanye politik memang dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan seperti manipulasi gambar atau video, namun di sisi lain juga berisiko membatasi kebebasan kreatif dalam menyampaikan pesan.

Sebaliknya, yang lebih penting untuk ditekankan adalah pengaturan yang lebih ketat terkait transparansi penggunaan AI serta pemberdayaan kreator lokal. Tim kampanye politik sebaiknya diwajibkan untuk mengungkapkan secara jelas jika mereka menggunakan AI dalam materi kampanye, agar pemilih dapat memperoleh informasi yang jujur dan tidak tertipu oleh konten yang bisa dimanipulasi.

Dengan cara ini, integritas pemilu dapat tetap terjaga tanpa menghambat perkembangan teknologi yang cepat dan bermanfaat. Walaupun beberapa elemen masyarakat sudah mengetahui produk AI itu sendiri, namun masih ada sebagian saudara kita di pelosok negeri yang belum mengerti karena tidak adanya jangkauan akses terhadap internet (blankspot).

Masyarakat Indonesia tidak hanya menginginkan kemajuan teknologi saat proses kampanye saja, tetapi juga kecerdasan seorang pemimpin yang mampu memastikan visi kesejahteraan mereka setelah pemimpin itu terpilih. Sudah saatnya kita memikirkan kualitas pemimpin, bukan hanya citra yang dibangun dengan AI.

Putusan MK seharusnya tidak hanya terbatas pada pelarangan foto atau video AI, tetapi juga harus menyasar pada praktik-praktik manipulasi marketing politik yang telah banyak menipu masyarakat selama bertahun-tahun. Slogan-slogan yang menjanjikan kesejahteraan seperti "Merakyat dan Tidak Korupsi" harus menjadi aksi nyata saat kontestan terpilih menjabat.

Meski teknologi AI tidak dapat dihindari dalam dunia modern, penggunaannya harus dikendalikan dengan bijak. Harapan utama masyarakat saat ini adalah memastikan pemilu di Indonesia dilaksanakan dengan adil, tanpa adanya manipulasi teknologi yang dapat merusak integritasnya.

Namun, yang lebih substansial lagi adalah memastikan bahwa pemimpin yang terpilih dapat mewujudkan janji-janji mereka dengan tindakan nyata demi kesejahteraan rakyat. Itulah fokus utama dalam demokrasi Indonesia yang seharusnya menjadi perhatian kita bersama.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation