Fathi Royyani
Fathi Royyani

Mohammad Fathi Royyani merupakan lulusan dari Fakultas Adab jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2000. Tahun 2002-2004, Fathi menempuh kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia jurusan Antropologi. Gelar doktor diperoleh tahun 2018 dari Fisip UI jurusan Antropologi. Tahun 2005 sampai dengan sekarang, Fathi adalah staf peneliti di LIPI (sekarang BRIN). Fokus risetnya pada pemanfaatan tumbuhan, relasi manusia-alam, kearifan tradisional, dan lain sebagainya. Sebelum bergabung dengan LIPI, Fathi juga bergerak dalam lembaga swadaya masyarakat dan membuat lembaga kajian sendiri, Kanal Budaya.

Profil Selengkapnya

Mengaromai Kembali Rempah Nusantara

Opini - Fathi Royyani, CNBC Indonesia
02 March 2023 06:00
Cengkeh (pixabay) Foto: Ilustrasi cengkeh (Pixabay)

Baru-baru ini, di media sosial yang saya ikuti, sering muncul orang-orang asal Australia, Eropa, dan Amerika yang membuat konten mengenai masakan Indonesia. Dari beberapa video yang saya tonton, terlihat bahwa banyak responden dadakan sangat berkesan dengan kuliner khas Indonesia. Mereka merasa nikmat dan memberikan nilai yang tinggi.

Kehadiran media sosial tentu membantu meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap kuliner Indonesia. Hal ini tentu positif bagi perkembangan kuliner yang berarti juga peluang terbukanya pasar baru, terkait dengan rempah-rempah sebagai bahan utama dalam kuliner.

Pemerintah Indonesia menggalakkan kembali berjayanya produk rempah nusantara melalui berbagai program dan kegiatan. Hal ini terlihat dari tagline yang digunakan "Indonesia: Spice up the World". Beberapa kementerian pun terlibat dalam membangkit rempah sebagai produk andalan Indonesia di antaranya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, dan Kementerian Pertanian.

Program tersebut sangat wajar digaungkan. Secara historis, rempah-rempah menjadi salah satu produk andalan Nusantara. Bahkan, karena rempah tersebut berbagai bangsa datang ke Nusantara.

Alasan kedua, produk rempah menyumbang devisa negara yang tidak sedikit. Pada tahun 2020, tercatat nilai ekspor rempah mencapai US$ 1,02 miliar atau sekitar Rp 14,59 triliun (dengan asumsi kurs US$ 1 = Rp 14.235). Bahkan di masa pandemi Covid-19, ekspor rempah meningkat dengan drastis.

Alasan ketiga, bangsa Indonesia memiliki produk rempah yang berkualitas tetapi masih kalah bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Indonesia berada pada urutan ke-9 dari negara peng-ekspor pasar global rempah.

Pada tahun 2022, nilai ekspor cengkeh turun. Bahkan Indonesia malah mengimpor cengkeh senilai Rp 3 triliun (Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20221228070119-4-400708/indonesia-raja-rempah-tapi-impor-cengkeh-rp-3-triliun).

Padahal, bicara pontensi, maka negeri yang berada di zamrud khatulistiwa yang gemah ripah ini memiliki banyak sekali produk yang bisa ditingkatkan. Di antaranya adalah kemukus atau cabe jawa, tumbuhan dengan nama latin Piper cubeba dari keluarga Piperaceae ini endemik Pulau Jawa. Kebutuhan pasar global untuk produk ini adalah 100 ton dan kita hanya bisa memasok 8 ton saja. Artinya masih ada peluang 92 ton. Belum produk-produk lainnya yang tidak kalah potensial.

IInfografis/Inilah lokasi Lumbung pangan Jokowi di kalteng/Aristya RahadianFoto: Infografis lumbung pangan (CNBC Indonesia/Aristya Rahadian). 



Klasik dan tidak diselesaikan
Permasalahan yang menggelayut di rempah adalah permasalahan klasik yang perlu segera diselesaikan. Dari petani yang masih menggunakan cara-cara lama dalam memproduksi rempah (dari tanam sampai kemasan), tengkulak yang mengambil keuntungan terlalu besar, regulasi yang tidak jelas, belum adanya upgrade ilmu pengetahuan dan teknologi dalam produksi rempah, sampai dengan regulasi pasar global, terutama Eropa yang kian ketat. Persoalan-persoalan tersebut adalah klasik, tetapi belum ada perbaikan yang signifikan dalam mengatasinya.

Dalam mengatasi persoalan tersebut, tentu diharuskan semua pihak untuk duduk bersama dan saling membantu. Sejatinya, pemerintah sekarang lebih terbuka dan mendorong kreativitas-kreativitas serta adanya kolaborasi antara lembaga pemerintah, namun faktanya masih belum berjalan dengan mulus.

Terkait dengan pasar Eropa adanya border reject system. Dengan sistem terbaru tersebut, terkadang produk Indonesia, terutama pala tidak bisa masuk. Pala kita masih terdapat bhipenyl, ocraphenyl dan alphaphenyl. Hal ini diakibatkan dari perilaku petani kita yang masih menggunakan pupuk kimia, menjemur sembarangan, kemasan yang kurang baik. Akibatnya, produk kita tidak hanya ditolak melainkan pasar global dikuasai oleh pesaing-pesaing.

Isu rempah sangat komplek dan beragam. Dari tingkatan petani sampai pasar global. Untuk itu, perlu ada kesungguhan dan kolaborasi dari semua pihak untuk bersama-sama mengatasi persoalan yang terdapat pada rempah.

Petani perlu kembali ditingkatkan kapasitasnya, regulasi perlu dimudahkan, perlu ada terobosan sains dan teknologi terbaru, pedagang juga perlu diedukasi supaya tidak mengambil keuntungan terlalu banyak, ada kemasan yang baik dan bebas senyawa berbahaya serta tersertifikat sesuai standar Eropa dan Amerika (pasar global).

Riset dan kolaborasi
Untuk mendukung hal tersebut, langkah pertama adalah perlu ada riset kolaborasi dari BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) dan universitas untuk mencari teknologi yang tepat guna dalam rangka peningkatan kapasitas produksi rempah. Riset tersebut juga harus mencakup aspek mikroba dan kimia untuk memastikan bahwa rempah produksi Indonesia tidak mengandung senyawa berbahaya.

Kedua adalah perlu adanya peningkatan kapasitas petani rempah. Selama ini, petani kita masih dalam istilah peasant yakni orang yang melakukan usaha pertanian untuk bertahan hidup untuk produk padi, sedangkan produk lainnya dilakukan sambil lalu. Petani kita dari peasant harus beralih menjadi farmer, yakni orang yang melakukan usaha pertanian dengan tujuan komersial.

Perubahan paradigma dari peasant ke farmer akan berdampak pada banyak hal. Petani akan bersikap lebih kalkulatif dan pertimbangan untung rugi, setiap tanaman adalah aset berharga yang perlu dirawat dan diperbarui, serta sikap-sikap lainnya yang mendukung usaha peningkatan pertanian.

Ketiga, regulasi juga harus didorong untuk memudahkan usaha pertanian rempah. Bisa dengan memberikan penghargaan atau kemudahan-kemudahan pajak karena mendatangkan devisa juga ramah lingkungan. Keempat, para pedagang juga harus ditingkatkan kapasitasnya, mereka harus sadar juga bahwa ada tanggung jawab lain selain mendapatkan keuntungan dari penjualan produk rempah. Simpul-simpul yang menghambat dan panjang harus dipotong, bila perlu petani bisa langsung bertemu dengan konsumen yang ada di Eropa atau pasar global lainnya.

Negara-negara pesaing produk rempah sudah melakukan hal tersebut sejak lama. Produk rempah mereka selalu bagus kualitasnya. Pohon-pohon yang sudah tidak produktif diganti dengan pohon baru hasil penemuan yang lebih bagus. Demikian juga dengan perlakuan pascapanen yang sudah mempertimbangkan kebersihan, panas matahari, suhu ruangan dan lain sebagainya.

Dengan riset yang baik dan melibatkan berbagai disiplin maka akan muncul produk baru rempah yang bagus dan bisa memenuhi pasar global. Hal tersebut tentu baik karena dapat menyumbangkan devisa bagi negara.

Semoga harus aroma rempah kita mampu kembali menguasai pasar dunia...



(miq/miq)
Opini Terpopuler
    spinner loading
Artikel Terkait
Opinion Makers
    z
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading