Kampus Digital, Salah Satu Cara Mengakses Pendidikan Global

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Eksistensi wahana industrialisasi bangsa dan lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) nasional yang didirikan oleh Presiden ke-3 Republik Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie hingga saat ini telah diselamatkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Salah satu legasi Habibie, yakni Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang sepanjang hayatnya tidak memiliki landasan UU, kini telah memiliki landasan dengan adanya UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sisnas Iptek.
Dengan adanya beleid itu, BPPT dilebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) agar kinerjanya lebih efektif. Begitupun legasi Habibie yang berbentuk industri strategis seperti PT Dirgantara Indonesia (PT DI) juga telah diperkuat posisi dan daya saingnya dengan skema holding BUMN, Defend ID.
Namun, ada legasi Habibie yang belum terselamatkan dan kini kondisinya sangat memprihatinkan karena tersapu oleh gelombang disrupsi. Masyarakat menyebut legasi Habibie di bidang pendidikan tinggi itu dengan sebutan Institut Habibie yang kampusnya berlokasi di Pusat Pengembangan Iptek Serpong, Tangerang Selatan, yakni Institut Teknologi Indonesia (ITI).
Pada tahun 1984, Habibie bersama tokoh-tokoh Persatuan Insinyur Indonesia (PII) mendirikan ITI yang dikelola oleh Yayasan YPTI. Visi dan misi pendirian ITI sangat progresif, yakni mencetak SDM iptek nasional yang masif dan berdaya saing global. Mahasiswa ITI diharapkan mengisi wahana transformasi teknologi dan industri nasional serta bisa menutup kekurangan jumlah SDM teknologi yang telah dicetak oleh perguruan tinggi lain.
Sayangnya, sejarah berkata lain. Kondisi ITI kini sangat memprihatinkan, bahkan boleh dibilang berada di tepi jurang kebangkrutan. Indikasinya adalah dari tahun ke tahun semakin sedikit jumlah mahasiswa yang kuliah di ITI. Bahkan pada penerimaan mahasisswa baru tahun ini, jurusan atau program studi favorit, yakni Teknik Elektro hanya menerima 8 orang, Teknik Kimia 12 orang, dan Teknik Mesin 21 orang. Semakin banyak bangku kuliah dan ruang praktikum yang kosong melompong. Semakin banyak dosen yang mengeluh karena jumlah mahasiswa yang mengikuti perkuliahan hanya beberapa gelintir. Selain itu, para dosen dan karyawan juga khawatir terkait dengan kelangsungan gaji mereka.
Pendirian ITI sebenarnya memiliki benang merah dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang juga dipelopori oleh BJ Habibie. AIPI selama ini berjasa dalam memberikan saran kebijakan sains dan arah transformasi teknologi nasional secara independen kepada pemerintah. Sedangkan BRIN memegang peran pembuat kebijakan dan koordinator riset di level negara. BRIN dibentuk untuk mengkoordinir kebijakan penelitian, pengembangan, dan inovasi secara terintegrasi.
Mestinya BRIN yang saat ini di bawah pengarahan Presiden ke-5 RI Profesor Megawati Soekarnoputri segera membantu membenahi ITI agar tidak mengalami krisis yang makin parah. Perlu langkah konkret oleh BRIN untuk menyelamatkan ITI yang gedung dan bangunan kampusnya hingga kini masih memakai tanah yang merupakan aset BRIN.
BJ Habibie pernah menyerukan agar dalam waktu cepat bisa meningkatkan jumlah keanggotaan AIPI yang terdiri dari para profesor hingga mencapai seribu orang. Menurut dia, demi daya saing bangsa Indonesia ke depan, mestinya riset dan inovasi tidak boleh terbentur dengan minimnya anggaran.
Fenomena ITI yang hampir bangkrut juga dialami oleh banyak perguruan tinggi di negeri ini. Akibat salah urus dan modus fraud oleh pengelola perguruan tinggi di tanah air, diperparah oleh pandemi Covid-19. Gelombang disrupsi teknologi yang melanda dunia semakin membuat perguruan tinggi terpuruk di sana-sini.
Gelombang disrupsi juga melanda universitas di Amerika Serikat (AS), seperti yang pernah dilansir oleh media massa di sana. Kebangkrutan universitas sebenarnya telah diprediksi oleh pakar disrupsi inovasi Clayton Christensen dari Harvard Business School sebelum terjadi pandemi Covid-19. Dari sekitar 4 ribu perguruan tinggi di AS, menurut Christensen, setengah dari jumlah itu akan bangkrut dalam waktu yang tidak terlalu lama. Christensen terkenal dengan teori disruptive innovation lewat buku "The Innovator's Dilemma" yang dirilis 1997. Sejak saat itu dia menerapkan teorinya pada berbagai industri termasuk pendidikan.
Untuk lepas dari kebangkrutan dibutuhkan faktor agilitas pembiayaan oleh universitas. Istilah agilitas dalam terminologi perusahaan berarti tangkas atau gesit. Dalam era digital dan Industri 4.0, agilitas itu bisa terwujud karena peran dosen atau kelompok dosen yang memiliki daya kreatif dan inovatif yang hebat. Atau dalam konteks Mendikbudristek Nadiem Makarim disebut sebagai dosen penggerak dan organisasi penggerak.
Pada waktu mendatang, individu dosen adalah manifestasi universitas sejati, yang mampu menghalau krisis dan melahirkan sarjana yang kredibel bahkan jenius serta memiliki kompetensi tinggi meskipun tanpa campur tangan birokrasi kampus yang kini tanpa daya karena terdisrupsi. Krisis yang terjadi di ITI akibat masalah pembiayaan patut menjadi perhatian nasional. Terkait dengan pembiayaan, kini semakin banyak universitas di luar negeri yang menerbitkan obligasi dan bekerja sama dengan lembaga keuangan.
Sejumlah universitas terkemuka diberikan insentif oleh pemerintah maupun donatur tetap. Sebagai contoh, sejak 2010 Harvard University yang merupakan universitas terkaya di AS berhasil mengumpulkan dana US$ 1,5 miliar dolar dari hasil penjualan obligasi. Universitas memilih menjual obligasi karena lebih mudah dan murah ketimbang kredit bank. Kita juga mesti menengok kebijakan yang pernah dijalankan oleh Bank Sentral AS atawa The Federal Reserve (The Fed) yang mengalokasikan dana hingga US$ 300 miliar kepada pemegang surat berharga yang ditopang dengan berbagai jenis pinjaman, termasuk untuk kredit mahasiswa.
Di lain pihak, perguruan tinggi di Indonesia, jika pailit dan tidak mampu lagi membiayai operasionalnya, hanya ada mekanisme merger atau ditutup operasionalnya. Tidak ada mekanisme lain sebagai solusinya, seperti alih izin operasional dan aset kampus dengan cara diakuisisi oleh investor baru yang sanggup memperbaiki pengelolaan kampus.
Masalah perguruan tinggi kini diwarnai dengan meningkatnya angka putus kuliah selama tiga tahun terakhir. Terkait dengan itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meminta pihak perbankan untuk mengeluarkan produk finansial baru berbentuk student loan atau kredit pendidikan. Fasilitas pembiayaan tersebut sangat efektif untuk membantu mahasiswa dari keluarga yang kurang mampu. Dengan adanya student loan bisa dimanfaatkan untuk pembiayaan mahasiswa. Sehingga para mahasiswa bisa kuliah secara gratis karena urusan uang kuliah telah diurus oleh pihak bank dan PT.
Krisis yang terjadi di ITI mestinya mendapatkan solusinya dengan adanya UU Cipta Kerja kluster pendidikan. Perlu dipikirkan lebih lauh terkait dengan solusi krisis ITI dengan cara merger dengan universitas asing. UU Cipta Kerja telah menggelar 'karpet merah' kepada perguruan tinggi atau kampus asing, juga rektor dan dosen asing untuk beroperasi di Indonesia
UU Cipta Kerja telah mengubah atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam empat Undang-Undang yang berlaku, yakni UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
Adanya UU Cipta Kerja memudahkan dosen dari negara asing terkait sertifikat pendidik jika ingin mengajar di Indonesia. Hal itu mengubah ketentuan dalam Pasal 8 UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. UU Cipta Kerja juga telah melonggarkan beberapa pihak untuk impor rektor dan dosen asing serta kebijakan pembukaan universitas asing.
Kehadiran universitas asing bisa menjadi solusi bagi PT di dalam negeri yang kondisinya tengah krisis, seperti halnya ITI. Kehadiran universitas asing merupakan bentuk bisnis dan investasi global. Liberalisasi perguruan tinggi berlaku sejak ratifikasi atau kesediaan pemerintah RI dalam menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS), yaitu perjanjian mengenai perdagangan dan jasa bagi anggota World Trade Organization (WTO).