Insight dari Perjalanan Kinerja Instrumen Utang Pemerintah

Diskusi terkait utang pemerintah marak diperbincangkan di media sosial akhir-akhir ini. Peningkatan utang lebih dari Rp 2.000 triliun, dari posisi Rp 4.779,3 triliun (2019) menjadi Rp 7.123,6 triliun (Juni 2022), membuat masyarakat terbelah.
Sebenarnya, apa faktor-faktor yang membuat utang pemerintah meningkat?
Secara umum, perhitungan nominal outstanding utang adalah nominal pengadaan utang dikurangi dengan nominal pembayaran pokok utang.
Apabila di tahun 2023, pemerintah mengadakan utang sebesar Rp 1.500 triliun, dan pembayaran pokok utang sebesar Rp 500 triliun, maka penambahan utang secara kasar adalah sebesar Rp 1.000 triliun.
Mengingat saat ini pemerintah menerapkan kebijakan defisit APBN, pembayaran pokok utang pun juga didanai melalui utang. Dengan demikian, komponen pengadaan utang adalah kebutuhan defisit, pembiayaan investasi, dan pembayaran pokok utang.
Dikarenakan pembayaran pokok utang akan di-offset nilainya dengan pengadaan utang, maka yang menjadi komponen penambah nilai utang tersebut adalah nominal defisit dan pembiayaan investasi yang berada pada APBN bagian bawah (below the line).
Pembiayaan investasi below the line antara lain untuk membiayai Penyertaan Modal Negara (PMN)/Dana Investasi Pemerintah dan Dana Pengembangan Pendidikan Nasional, yang mana angkanya meningkat dari tahun ke tahun.
Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2021, kebutuhan PMN sebesar Rp 44,4 triliun di tahun 2019; Rp 94,7 triliun di tahun 2020; dan Rp 113,5 triliun 2021. Keseluruhannya akan menambah konsekuensi terhadap peningkatan nominal utang.
Demikian pula, Dana Pengembangan Pendidikan Nasional yang meningkat setiap tahunnya. Perinciannya, Dana Pengembangan Pendidikan Nasional sebesar Rp 5 triliun di tahun 2019; Rp 10 triliun di tahun 2020;, dan Rp29 triliun di tahun 2021.
Selanjutnya, kebutuhan defisit juga meningkat setiap tahunnya, karena kebutuhan belanja yang lebih besar dari pada pendapatan. Kebutuhan belanja tersebut dalam rangka kebutuhan belanja kementerian/lembaga/pemerintah pusat dan transfer ke daerah dan Dana Desa, yang nominalnya meningkat setiap tahunnya.
Kebutuhan belanja pemerintah pusat pada tahun 2019 sebesar Rp 1.496,3 triliun; tahun 2020 sebesar Rp 1.832,9 triliun; dan tahun 2021 sebesar Rp 2.000,7 triliun. Selanjutnya, Transfer ke Daerah dan Dana Desa pada tahun 2019 sebesar Rp 812,9 triliun; tahun 2020 sebesar Rp 762,5 triliun; dan tahun 2021 sebesar Rp 785,7 triliun.
Secara agregat, nominal defisit sebesar Rp 348,6 triliun di tahun 2019; Rp 947,7 triliun di tahun 2020 dan Rp 775,1 triliun di tahun 2021. Untuk tahun 2020 dan 2021, terdapat peningkatan defisit yang besar karena terhadap kebutuhan dalam rangka mengatasi masalah kesehatan akibat pandemi Covid-19 serta dukungan pemerintah terhadap pemulihan ekonomi.
Namun demikian, perlu untuk melihat angka Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) yang dihasilkan oleh pemerintah di akhir tahunnya. Artinya, terdapat anggaran yang tidak terserap sesuai rencana, di mana diadakan melalui utang, yaitu sebesar Rp 53,4 triliun di tahun 2019; Rp 245,6 triliun di tahun 2020; dan Rp 96,6 triliun di tahun 2021.
Dengan demikian, perlu untuk mengevaluasi kembali apakah nominal defisit yang dianggarkan di awal telah benar-benar sesuai dengan kemampuan dari K/L di dalam menyerap rencana anggaran hingga akhir tahun. Dan lebih penting lagi, apakah dana tersebut akan tergunakan dengan baik, untuk memberikan manfaat terhadap peningkatan pendapatan pemerintah ke depannya.
Hal tersebut, bukan hanya menjadi pekerjaan dari Kementerian Keuangan semata, namun dari seluruh kementerian/lembaga pemerintah pusat serta pemerintah daerah sebagai pengusul dan pengguna dana.
Perlu dicamkan bahwa setiap dana yang diusulkan dan dianggarkan, akan ada konsekuensi terhadap peningkatan utang ke depannya, karena kita masih defisit. Selanjutnya, dari peningkatan utang, akan ada konsekuensi kebutuhan pembayaran pokok utang dan bunga atas utang yang telah diterbitkan.
Selanjutnya, di sini penulis mencoba membagi menjadi tiga bagian, gagasan solusi utang pemerintah.
Pertama, perlunya untuk mengevaluasi APBN yang kebijakan defisit, apakah perlu atau tidak. Apabila K/L dan/atau pemerintah daerah yang memperoleh anggaran pusat belum dapat mengoptimalkannya secara baik, tentunya belanja yang tinggi tidaklah diperlukan. Ketidakmampuan untuk menyerap serta pemborosan, tentunya hanya akan menyisakan beban utang saja.
Kedua, belanja diarahkan untuk meningkatkan pendapatan. Di dalam setiap penyusunan anggaran, perlu disusun suatu assessment atas dampak belanja terhadap pendapatan yang akan diperoleh di masa depan. Dengan demikian belanja yang disusun benar-benar diprioritaskan terhadap kegiatan yang memberikan dampak pendapatan di masa mendatang, contohnya kegiatan riset dan pengembangan dan pengolahan sumber daya yang telah dimiliki saat ini untuk peningkatan kesinambungan pendapatan.
Ketiga, penggunaan utang dalam rangka kebutuhan defisit diupayakan agar diarahkan secara khusus pada belanja tertentu. Dengan demikian, dampak dari utang lebih terukur, dan setiap hasil dari utang dapat diarahkan secara langsung terhadap pembayaran bunga dan pokok di dalam proses assessment dari kelayakan belanja tersebut. Apabila belanjanya tidak dapat memberikan manfaat lebih dari segi keuangan dan sosial, dengan demikian tidak layak untuk didanai melalui utang.
Tentunya ketiga hal yang digagas sebagai solusi utang pemerintah di atas, bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Namun demikian, bukan berarti tidak mungkin, apabila bersama-sama mengupayakannya.
Diperlukan leadership yang tinggi dari setiap K/L dan pemerintah daerah untuk memiliki kemauan dalam rangka mengusulkan serta menganggarkan anggaran secara bijak. Dengan demikian, belanja besar-besaran yang mengakibatkan defisit tidak menjadi jalan pintas untuk meningkatkan perekonomian, dan utang dapat dibayarkan lebih cepat melalui pendapatan atas belanja yang telah dikeluarkan.
(miq/miq)