Lembur PNS: Peningkatan Kesejahteraan atau Penyelewengan?

Setyo Utomo, CNBC Indonesia
06 December 2023 16:50
Setyo Utomo
Setyo Utomo
Setyo Utomo merupakan salah satu aparatur sipil negara (ASN) di Kementerian Keuangan. Saat ini menjabat sebagai Kepala Subbagian Umum Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Pamekasan. Opini yang disampaikan merupakan pendapat pribadi penulis, bukan .. Selengkapnya
Selamat! PNS Ini Kebagian Rezeki Nomplok dari Jokowi
Foto: Ilustrasi PNS (Aristya Rahadian/CNBC Indonesia)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Definisi kerja lembur sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.125/PMK.05/2009 adalah segala pekerjaan yang harus dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada waktu-waktu tertentu di luar waktu kerja sebagaimana ditetapkan pada tiap-tiap instansi dan kantor pemerintah. Secara sederhana, lembur dapat dimaknai sebagai kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan di luar jam kerja.

Secara harfiah pekerjaan lembur dilakukan apabila benar-benar dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan rutin yang harus cepat diselesaikan atau mendesak, namun tidak dapat diselesaikan pada jam kerja. Karena sifatnya mendesak maka pekerjaan lembur yang dilakukan tersebut harus jelas jenis pekerjaan yang dilaksanakan dan terdapat hasil atau output yang akan dicapai.

Besaran uang lembur sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 32/PMK.02/2018 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2019 ditentukan sesuai dengan golongannya, yaitu untuk golongan I sebesar : 13ribu, golongan II : 17ribu, golongan III : 20ribu dan golongan IV : 25ribu per orang per jam. Selain itu juga mendapat tambahan uang makan lembur untuk golongan I dan II sebesar 35 ribu, golongan III : 37ribu serta golongan IV : 41ribu per orang per hari.

Pengalokasian dana lembur dituangkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian/Lembaga Negara dengan kategori jenis Belanja Pegawai. Besaran pagu dana lembur dalam DIPA Kementerian/Lembaga Negara sangat variatif.

Adanya uang lembur bagi kalangan PNS memang dirasa sangat membantu menaikkan pendapatan PNS. Seorang PNS dituntut untuk melakukan kerja lebih di luar jam kerja normal untuk mendapatkan sejumlah tambahan uang lembur. Permasalahan yang timbul apakah lembur yang dilaksanakan telah benar-benar sesuai dengan aturan yang berlaku atau lebih konkretnya sesuai dengan hakikat dari pekerjaan lembur itu sendiri.

Kenyataan di lapangan banyak di kalangan PNS yang melakukan pekerjaan lembur yang tidak semestinya atau fiktif. Artinya tidak ada pekerjaan yang dilembur namun dibuat rekayasa dengan menggelembungkan jam lembur. Dilihat dari nilai uangnya besarnya tidak seberapa namun dana lembur ini sangat rawan diselewengkan oleh PNS sendiri. Praktik-praktik semacam ini dianggap hal biasa untuk mendongkrak pendapatan PNS atas nama kesejahteraan.

Sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang (UU) No. 31 tahun 2009 jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dikategorikan sebagai Tindak Pidana Korupsi.

Pada beberapa instansi pemerintah uang lembur sudah menjadi semacam hak pegawai yang akan ditagih oleh pegawai, apabila tidak dibayarkan. Besarannya tiap pegawai bisa menerima antara Rp 600 ribu s.d Rp 1 juta tiap bulan. Dalam setahun tiap pegawai bisa menerima Rp 7,2 juta s.d Rp 12 Juta.

Kalau dalam satu kementerian jumlah pegawainya mencapai 10.000, berarti ada Rp 120 miliar uang negara yang menguap untuk membayar lembur fiktif. Jumlah yang fantastis apalagi kalau ini terjadi di semua kementerian/lembaga maka bisa mencapai triliunan uang negara masuk ke kantong pribadi PNS.

Penyelewengan uang negara melalui lembur fiktif ini seolah menjadi hal yang lumrah. Modusnya dilakukan melalui rekayasa absensi kehadiran. Pegawai sebetulnya tidak lembur, namun di absensi selalu dibuat ada kelebihan jam kerja, sehingga pegawai berhak atas biaya lembur. Dari sisi pengelolaan anggaran tentu pemborosan yang luar biasa, belanja negara didistribusikan tidak pada tempatnya.

Kalau menilik dari UU Anti Korupsi, maka jelas perbuatan yang merugikan keuangan negara dapat dikenakan hukuman pidana paling sedikit 4 tahun dan denda paling sedikit 200juta. Kenyataannya sangat sulit praktik lembur fiktif ini dibongkar karena bukti kehadiran ada meskipun pegawai yang bersangkutan tidak hadir di kantor.

Secara kasat mata ada juga pegawai yang benar-benar kerja lembur, namun jumlahnya juga tidak banyak. Banyak pegawai hanya sekedar numpang absen demi untuk mendapatkan uang lembur. Dana lembur seolah posisinya sudah disamakan dengan penghasilan rutin bulanan bagi pegawai, sehingga menjadi ada semacam tuntutan tidak tertulis baik bagi pegawai maupun bagi instansi pembayarnya.

Dari segi administrasi juga tidak mudah untuk dilakukan pembuktian atas tindak pidana korupsi yang terjadi karena secara legal uang lembur bisa dibayarkan dan bukti tertulis berupa kelebihan jam lembur juga ada dan lengkap serta dibayarkan sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

Perlu upaya-upaya yang sistematis dan berkelanjutan untuk mencegah pemborosan uang negara sebagai akibat adanya lembur fiktif. Pertama pemerintah perlu membuat aturan teknis yang lebih tegas dan ketat terhadap pelaksanaan kerja lembur. Mekanisme yang berjalan selama ini dirasakan tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi, masih terdapat celah yang memungkinkan bagi pegawai atau pejabat negara untuk melakukan manipulasi uang lembur.

Penggantian absensi manual ke dalam absensi elektronik tidak menunjukkan adanya perubahan yang signifikan terhadap upaya pencegahan lembur fiktif. Banyak pegawai mengakalinya dengan sekedar melakukan absen elektronik, namun tidak ada pekerjaan lembur yang dilakukan.

Perlunya data pendukung selain absensi kehadiran misalnya print out hasil rekaman Closed Circuit Television (CCTV) pada jam-jam lembur untuk dilakukan kroscek dengan dokumen perintah lembur dan absensi lembur. Rekaman CCTV ini perlu dilampirkan pada dokumen pengajuan lembur dan bisa menjadi alat kontrol sangat efektif untuk memantau tingkat kehadiran pegawai pada saat jam-jam yang dilemburkan.

Selain itu pejabat administrator yang memerintahkan lembur juga harus selektif terhadap pekerjaan lembur yang akan dilakukan pegawai. Jika diperlukan sebaiknya ada permintaan tertulis tentang pekejaan yang akan dilemburkan dari pegawai dengan diketahui oleh pejabat setingkat pengawas, sehingga terdeteksi dengan jelas pekerjaan mendesak yang harus dilemburkan pada hari yang yang dilemburkan tersebut.

Untuk bahan monitoring masing-masing Pejabat Pengawas juga diharuskan membuat laporan tertulis output yang dihasilkan terhadap pekerjaan lembur yang dilakukan.

Upaya kedua, pemerintah harus lebih selektif dalam mengalokasian dana lembur dalam DIPA. Perlu kajian yang lebih mendalam efektifitas dana lembur terhadap kinerja pegawai.

Tingkat kebutuhan lembur masing-masing Kementerian juga perlu diukur dengan cermat dengan mengacu pada Analisa Beban Kerja (ABK) serta memperhitungkan hari-hari dan jam kerja efektif pada masing-masing instansi, sehingga didapatkan formula yang tepat seberapa besar tingkat kebutuhan dana lembur pada masing-masing Kementerian/Lembaga.

Ketiga, perlunya upaya berkelanjutan dalam melakukan penanaman nilai-nilai integritas di kalangan pejabat dan pegawai pemerintah. Perubahan pola pikir (mindset) pegawai dalam memperlakukan uang lembur dirasakan sangat penting untuk dilakukan. Pola pikir yang selama ini berkembang bahwa uang lembur adalah penghasilan tetap dan uang lembur adalah untuk kesejahteraan pegawai perlu diluruskan.

Internalisasi nilai-nilai integritas bisa dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sharing session atau sosialisasi anti korupsi di lingkungan instansi pemerintah. Integritas menjadi hal utama bagi PNS dalam menjalankan tugas pokok sehari-harinya, dengan adanya internalisasi secara berkelanjutan diharapkan pola pikir PNS terhadap Uang Negara akan semakin baik.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation