Tantangan Pengelolaan Utang Belanja Pertahanan Indonesia

Alman Helvas Ali,  CNBC Indonesia
03 November 2025 11:42
Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali adalah konsultan pada Marapi Consulting and Advisory dengan spesialisasi pada defense industry and market. Pernah menjadi Country Representative Indonesia untuk Jane’s Aerospace, Defense & Security pada tahun 2012-2017. Sebagai konsultan.. Selengkapnya
Pesawat Airbus A400M tiba di Landasan Udara (Lanud) Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Senin (3/11/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Pesawat Airbus A400M di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Kota Jakarta Timur, Senin (3/11/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pada tahun depan, pemerintah harus membayar utang jatuh tempo sebesar Rp 1,4 kuadriliun yang terdiri atas pokok utang sebanyak Rp 833 triliun dan bunga utang senilai Rp 599 triliun. Angka tersebut sudah mencakup pula pokok utang luar negeri sebesar Rp 105,3 triliun dan bunga Rp 60,7 triliun.

Nilai utang yang jatuh tempo lebih besar daripada besaran utang jatuh tempo pada tahun ini, yaitu sekitar Rp 1,3 kuadriliun. Persoalan besarnya utang jatuh tempo pemerintah sudah lama menjadi perhatian kalangan ahli ekonomi mengingat Debt to Service Ratio Indonesia kini mencapai 45 persen dari batas aman 30 persen.

Di antara utang pemerintah yang jatuh tempo setiap tahun ialah utang luar negeri untuk Kementerian Pertahanan. Rata-rata Pinjaman Luar Negeri (PLN) bagi Kementerian Pertahanan yang jatuh tempo per tahun berkisar puluhan hingga ratusan miliar rupiah, di mana angka tersebut bervariasi tergantung pada utang jatuh tempo tahun berjalan.

Menurut data Bank Indonesia, PLN untuk pertahanan dikelompokkan dalam sektor Administrasi Pemerintah, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib dengan besaran 19 persen dari total PLN. Penulis belum menemukan data berapa persen PLN dalam sektor tersebut yang dialokasikan bagi kepentingan belanja pertahanan.

Pembayaran PLN jatuh tempo milik Kementerian Pertahanan diambil dari anggaran belanja modal kementerian tersebut dan bukan berasal dari BA BUN yang dikendalikan oleh Menteri Keuangan. Pembayaran pokok utang berikut bunga utang tidak dapat ditunda atau dimundurkan, sehingga harus selalu dialokasikan setiap tahun.

Bagaimanapun, pemerintah tidak ingin menunda atau memundurkan pembayaran PLN. Sebab hal demikian akan memengaruhi kepercayaan pasar terhadap Indonesia. Pada sisi lain, anggaran belanja modal dipakai pula untuk infrastruktur pertahanan, pengadaan sistem senjata, amunisi dan suku cadang, khususnya persenjataan dan amunisi yang diproduksi di dalam negeri.

Penggunaan PLN pada sektor pertahanan akan terus berlanjut di masa depan. Sebab skema demikian merupakan satu-satunya pilihan bagi akuisisi peralatan pertahanan buatan negara lain. Alokasi PLN pada periode 2025-2029 diperkirakan tidak jauh berbeda dengan jangka 2020-2024 yakni di kisaran US$ 30 miliar sampai US$ 35 miliar.

Namun demikian, terdapat sejumlah perkembangan yang patut untuk diperhatikan terkait dengan rencana pemakaian PLN di sektor pertahanan. Perkembangan demikian patut untuk dicermati karena dapat meningkatkan resiko pengelolaan utang bagi kepentingan belanja persenjataan sampai awal 2030.

Pertama, pilihan skema pembiayaan. Terdapat kecenderungan peningkatan penggunaan skema Kreditur Swasta Asing (KSA) dibandingkan dengan Lembaga Penjamin Kredit Ekspor (LPKE) di tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Muncul kekhawatiran skema KSA akan mendominasi belanja pertahanan sampai 2029 mengingat pemerintahan saat ini nampaknya akan lebih suka berbelanja ke negara yang tidak dapat memberikan fasilitas kredit ekspor sekaligus sangat longgar dalam urusan compliance terkait perdagangan pertahanan.

Jika mengacu pada Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan pada tahun ini, sangat terlihat jelas kecenderungan belanja yang masuk dalam dua kategori tersebut.

Yang menjadi masalah adalah suku bunga KSA jauh lebih mahal daripada LPKE karena risiko ditanggung oleh Indonesia selaku debitur. Apalagi kecenderungan pemakaian KSA diarahkan ke negara yang mempunyai peringkat kredit non-investment grade menurut lembaga seperti Moody's, S&P Global dan Fitch Ratings.

Padahal masih tersedia pilihan untuk berbelanja peralatan perang ke negara-negara yang dapat menerbitkan kredit ekspor kepada Indonesia sehingga biaya utang menjadi lebih murah, sebab risiko ditanggung oleh LPKE. Mengacu pada data Kementerian Keuangan, rata-rata suku bunga tahunan KSA bagi belanja pertahanan dalam beberapa tahun terakhir berada pada kisaran delapan persen hingga sembilan persen.

Andaikata kerangka KSA menjadi pilihan favorit dalam kegiatan akuisisi sistem senjata untuk periode 2025-2029, dapat diprediksi bahwa biaya utang sektor pertahanan akan meningkat cukup tajam. Apalagi jika kegiatan belanja tersebut diarahkan ke negara tertentu dengan resiko besar dari aspek keuangan, sehingga biaya utang menjadi lebih mahal lagi.

Pertanyaannya ialah apakah Kementerian Keuangan akan terus memberikan keleluasaan pemakaian skema KSA dibandingkan dengan desain LPKE? Lalu di mana penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negeri pemerintah?

Kedua, pengadaan peralatan pertahanan bekas. Seperti pernah dibahas sebelumnya, saat ini Indonesia telah memasuki musim pengadaan persenjataan bekas dengan terbitnya PSP pada 12 September 2025. Pembelian sistem senjata bekas selalu memunculkan kontroversi, apalagi di tengah upaya Kementerian Pertahanan menutup rapat informasi akuisisi yang menggunakan skema PLN.

Sampai saat ini tidak ada penjelasan yang dapat diterima oleh sejumlah kalangan mengenai alasan mendesak hendak mengimpor sejumlah sistem senjata bekas dari Cina, seperti pesawat tempur J-10B, fregat Type 053H, kapal selam Type 039A dan kapal cepat rudal Type 22.

Semua skema PLN bagi pembelian persenjataan bekas tersebut adalah KSA, di mana diduga pihak yang akan menjadi lender ialah cabang luar negeri salah satu bank BUMN. Dugaan demikian muncul berdasarkan data Kementerian Keuangan bahwa mayoritas lender KSA berasal dari bank BUMN cabang luar negeri dan bukan berasal dari lembaga keuangan seperti Credit Agricole CIB, BNP Paribas, Banco Bilbao Vizcaya Argentaria dan Banco Santander.

Isu pemakaian skema KSA bukan semata soal tingkat suku bunga tahunan yang dikenakan kepada Indonesia sebagai debitur, tetapi pula tentang efisiensi dan efektivitas penggunaan PLN untuk peralatan pertahanan bekas dengan siklus hidup yang hanya tersisa 10 tahun hingga 15 tahun saja.

Apakah ada efisiensi dan efektivitas belanja ketika PLN dipakai untuk mendatangkan persenjataan bekas daripada membeli sistem senjata baru? Apakah sepadan menarik PLN sekitar US$ 3,1 miliar dengan tenor kurang lebih 20 tahun yang disertai dengan suku bunga tahunan di angka delapan persen hingga sembilan persen ketika dihadapkan dengan sisa siklus hidup sistem senjata yang cukup pendek?

Di era Orde Baru, Indonesia pernah mengalami masa ketika harus terus membayar PLN saat peralatan pertahanan yang dibeli dari utang itu sudah lama dipensiunkan. Hal demikian tidak mustahil akan kembali terjadi terkait dengan rencana membelanjakan PLN guna mengimpor persenjataan bekas dari Cina.

Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat tinggi pada PLN guna melaksanakan modernisasi kekuatan pertahanan. Sebab secara fiskal Rupiah Murni tidak mampu mendukung akuisisi sistem senjata dari luar negeri.

Pada sisi lain, industri pertahanan domestik masih memerlukan waktu yang amat panjang agar bisa mempunyai kemampuan setara dengan industri serupa yang saat ini sudah menjadi pemain global. Di saat pilihan memakai PLN dalam impor persenjataan merupakan hal yang tidak terhindarkan, prinsip kehati-hatian, efisiensi dan efektivitas utang harus tetap diutamakan daripada kepentingan-kepentingan parokial jangka pendek.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation