
Kurniawan Budi Irianto, Pejabat pengawas pada Kementerian Keuangan. Menulis untuk mengisi waktu luang. Opini yang disampaikan merupakan pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari tempat penulis bekerja.
Profil SelengkapnyaUrgensi BLU Daerah Dalam Pemenuhan Janji Kepala Daerah

Rangkaian proses pemilihan kepala daerah berakhir dengan pelantikan calon terpilih menjadi kepala daerah definitif. Tahun 2021 merupakan tahun terakhir pilkada dilaksanakan secara sendiri-sendiri. Pada tahun 2024 menjadi era baru di mana pemilihan dilakukan serentak bersamaan dengan pemilihan presiden dan anggota legislatif.
Pelantikan seorang kepala daerah merupakan titik awal dari pelaksanaan janji-janji politik yang telah ditawarkan ketika kampanye berlangsung. Apabila dirangkum, janji-janji politik setiap kepala daerah tidak akan jauh dari isu terkait peningkatan layanan pemerintah (kesehatan, pendidikan, infrastruktur) serta janji-janji terkait penciptaan lapangan pekerjaan atau kemudahan akses permodalan.
Meskipun program kerja yang ditawarkan merupakan hal yang umum, namun dalam pemenuhannya terkadang mengalami hambatan. Ketersediaan anggaran merupakan penyebab dominan mengapa kerap kali janji kampanye lambat tertunaikan. Sedangkan mekanisme penganggaran merupakan faktor lain yang memengaruhi mengapa visi dan misi kepala daerah kurang mampu memenuhi harapan masyarakat pada tahapan implementasi.
Menyikapi seringnya tertundanya pemenuhan janji politik kepala daerah, sebenarnya ada beberapa cara yang dapat ditempuh. Pilihan yang pertama melalui mekanisme normal yaitu APBD. Janji politik kepala daerah diterjemahkan menjadi program kerja yang kemudian dituangkan dalam APBD. Program kerja yang telah tercantum dalam APBD selanjutnya dieksekusi oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) pada pemda bersangkutan.
Opsi ini memiliki keterbatasan berupa siklus anggaran serta alokasi anggaran yang disediakan. Ditambah lagi dalam tataran implementasi akan menghadapi banyak regulasi terkait proses belanja yang akan membatasi gerak UPT dalam menyukseskan program kerja kepala daerah.
Seandainya alternatif ini yang dipilih maka akan ada jeda waktu yang harus dilalui terutama ketika APBD belum disahkan atau ketika menjelang berakhirnya tahun anggaran. Program yang telah disusun akan terhenti sementara dan baru dimulai kembali ketika alokasi anggaran pada APBD kembali tersedia untuk pelaksanaan program tersebut. Apabila tidak tersedia maka program yang telah direncanakan akan dihentikan.
Alternatif kedua berupa pelaksanaan program kerja melalui penugasan kepada BUMD yang dimiliki oleh pemda. Ada keunggulan apabila opsi ini dipilih yaitu lebih longgarnya pelaksanaan program kerja apabila dilihat dari sisi keuangan daerah.
Sebagai unit dengan status kekayaan daerah yang dipisahkan, BUMD memiliki keleluasaan dalam pengelolaan keuangan yang dimilikinya. Pendapatan dan belanja BUMD diatur secara mandiri, terpisah dari siklus APBD.
Namun penugasan kepada BUMD memiliki kekurangan berupa keharusan adanya persetujuan dari legislatif. Selain itu, tidak setiap program kerja kepala daerah dapat diserahkan kepada BUMD dalam pelaksanaannya. Layanan kesehatan yang dilakukan oleh Puskesmas atau RSUD maupun layanan pendidikan adalah contoh layanan yang tidak bisa diBUMDkan.
Berbagai keunggulan maupun kekurangan pada pilihan di atas, sudah selayaknya apabila kepala daerah melirik opsi lain untuk menunaikan janji yang telah diucapkan sebelumnya. Pengelolaan keuangan sektor publik dikenal memiliki aturan kaku baik untuk sisi pendapatan maupun sisi belanja.
Kealpaan dalam memenuhi ketentuan yang ada berimplikasi pada sanksi mulai dari administratif hingga pidana. Di balik kekakuan regulasi yang ada ternyata tersedia ruang untuk menjembatani permasalahan yang terjadi. Hukum keuangan negara menyediakan pengaturan khusus mengenai institusi di lingkungan pemerintah yang diberikan fleksibilitas berupa pengecualian dari ketentuan umum pengelolaan keuangan negara. Institusi tersebut yang dikenal dengan sebutan Badan Layanan Umum (BLU) atau Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) untuk tingkat pemerintah daerah.
Keberadaan BLUD selama ini sering kali kurang mendapatkan perhatian dalam mempercepat pencapaian tujuan dari pemerintah daerah. BLUD masih dianggap sama dengan UPT lain dengan status non BLUD. Sehingga berdampak pada tata kelola BLUD yang minim fleksibilitas atau bahkan lebih kaku dibandingkan UPT non BLUD.
Jika kita kembali pada filosofi mengapa konsep BLU/D muncul maka pemahaman yang ada di masyarakat akan menjadi lebih tercerahkan. Konsepsi BLU/D bukanlah ide yang tiba-tiba muncul dari langit. Namun lahir dari kebutuhan untuk meningkatkan layanan pemerintah kepada masyarakat. Kunci peningkatan layanan salah satunya dari mekanisme pengelolaan keuangan pada BLU/D yang luwes dan adaptif dengan pengguna layanan.
Hal yang menarik dari BLUD terletak pada fleksibilitas yang dimilikinya. Siapa yang berwenang mengatur fleksibilitas pada BLUD? Kepala daerah tentunya. Dan seharusnya kepala daerah dapat menggunakan kewenangannya untuk mengoptimalkan peran BLUD dalam pencapaian program kerjanya. Seberapa jauh BLUD diberikan keleluasaan? Tidak ada batasan, hanya saja dalam pelaksanaan tugas BLUD selalu berpedoman dengan praktik bisnis yang sehat atau kaidah manajemen yang baik.
Keberadaan BLUD merupakan alternatif ketiga bagi kepala daerah untuk mempercepat pencapaian program kerjanya. Bagaimana mekanismenya? Yang pertama dilakukan adalah mengubah status UPT menjadi BLUD. UPT layanan kesehatan baik berupa Puskesmas maupun RSUD dapat dikonversi menjadi BLUD. Selain itu UPT layanan dana bergulir maupun layanan penyediaan perumahan dimungkinkan untuk berstatus sebagai BLUD.
Perubahan status dari UPT menjadi BLUD terlihat bagai langkah yang sederhana, namun secara hukum terdapat perbedaan yang cukup kentara. Sebagai contoh RSUD non BLUD akan kesulitan melakukan pengembangan layanan karena sangat bergantung dengan alokasi anggaran dari APBD. Sedangkan RSUD dengan status BLUD lebih mudah untuk melakukan pengembangan layanan karena memiliki sumber-sumber pendapatan lain selain pendapatan dari APBD.
Contoh lain adalah layanan dana bergulir yang diberikan oleh pemda untuk warganya. Mekanisme pemberian permodalan akan sangat sulit dilakukan apabila menggunakan mekanisme APBD biasa. Siklus APBD yang ketat memungkinkan tertundanya penyaluran modal usaha, sehingga akan kehilangan momentum ketika menunggu APBD ketok palu.
Seandainya akses permodalan disalurkan melalui BUMD, dimungkinkan penerima manfaat akan berbeda dengan yang diharapkan. Status BUMD sebagai entitas bisnis cenderung akan menyasar masyarakat yang mampu secara ekonomi sebagai target penyaluran. Hal tersebut merupakan sebuah kewajaran dikarenakan motif dari BUMD merupakan pencari keuntungan.
Langkah kedua adalah menetapkan rangkaian peraturan kepala daerah (perkada) mengenai fleksibilitas pada BLUD yang ada dibawah kewenangannya. Penetapan perkada tersebut sebagai payung hukum agar BLUD dapat berkinerja dengan optimal dengan merujuk pada ketentuan mengenai BLUD bukan merujuk pada ketentuan mengenai keuangan daerah secara umum.
Langkah selanjutnya adalah menetapkan target kinerja bagi BLUD. Target kinerja yang dibebankan kepada BLUD mengacu pada program kerja kepala daerah. Target kinerja memiliki kaitan erat dengan pemberian kompensasi bagi BLUD. Semakin menantang target yang ditetapkan seharusnya semakin menarik pula kompensasi yang diterima oleh pegawai pada BLUD.
Peningkatan peran BLUD dalam menyukseskan program kerja kepala daerah hingga saat ini belum begitu terdengar. Meskipun Kemendagri telah mendelegasikan ke kepala daerah pengaturan mengenai fleksibilitas pada BLUD, baru beberapa pemda saja yang telah merumuskan kebijakan khusus mengenai BLUD. Selebihnya masih terbatas menambahkan kata BLUD di depan UPT dengan tata kelola yang tidak ada bedanya.
Pemberdayaan BLUD sebagai ujung tombak pencapaian program kerja kepala daerah merupakan terobosan yang harus dilakukan oleh setiap pemda. Dengan adanya aturan khusus bagi BLUD, diharapkan tidak ada lagi janji kampanye kepala daerah yang tidak tertunaikan. Khususnya janji-janji yang berkaitan dengan layanan kesehatan atau layanan dana bergulir/permodalan bagi usaha rakyat.