Invasi Rusia dan Dampaknya Terhadap Geopolitik Global

Eko Setiadi CNBC Indonesia
Senin, 07/03/2022 13:04 WIB
Eko Setiadi
Eko Setiadi
Sr Analyst II Business Trend, Pertamina Energy Institute at Pertamina (Persero)... Selengkapnya
Foto: AP/

Jakarta, CNBC Indonesia - Konflik Rusia-Ukraina selama beberapa bulan terakhir menjadi perhatian dunia. Berawal dari keinginan Ukraina yang ingin bergabung ke NATO. Rusia menolak dengan alasan bergabungnya Ukraina ke NATO sebagai existential threat yang mengancam Rusia dan eksistensi Collective Security Treaty Organization (CSTO) - aliansi militer yang menaungi Rusia dan 8 negara sekutunya, antara lain Georgia dan Armenia. Ketegangan meningkat seiring Rusia menempatkan pasukannya di jalur perbatasan dengan Ukraina.

Setelah Rusia mengakui kemerdekaan dua wilayah yang memisahkan diri dari Ukraina (Donetsk dan Luhanks), Presiden Putin mengumumkan perintah operasi militer di timur Ukraina pada Kamis (24/2). Invasi dimulai dan Rusia melancarkan serangan besar-besaran ke sejumlah kota di Ukraina, termasuk Kiev.

Sebelum invasi, harga minyak mentah sudah merangkak sejak Maret 2021 dan menembus US$ 86 per barel di Januari 2022. Kenaikan harga minyak disebabkan faktor fundamental yakni lonjakan permintaan global yang tidak sejalan dengan kenaikan produksi yang lamban dan terbatasnya pasokan. Pulihnya ekonomi di beberapa negara, khususnya China yang membutuhkan pasokan minyak mentah untuk industry refinery dan kebijakan OPEC+ memangkas produksi turut memicu ekspektasi harga energi untuk terus melesat.


Begitu Rusia menyerang Ukraina, harga minyak dunia melonjak melampaui US$ 100 per barel dan saham Asia-Pasifik, Eropa, dan Wallstreet langsung anjlok. Krisis politik yang berkepanjangan tentu akan membuat harga minyak mentah makin melesat dan tentu akan berdampak serius terhadap perekonomian global. Natasha Kaneva, Head of Global Commodities Strategy J.P. Morgan menyebutkan setiap gangguan pada pasokan minyak Rusia dapat menyebabkan kenaikan harga minyak ke US$ 120 per barel dan pengurangan separuh dari ekspor minyak Rusia akan mendorong harga minyak Brent menjadi US$ 150 per barel.

Rusia adalah produsen minyak terbesar ketiga dan produsen gas alam terbesar kedua dunia. Rusia mengekspor 70% ekspor gasnya ke Eropa via pipa melalui Ukraina. Dengan pangsa pasar 12%, Rusia merupakan salah satu produsen minyak global terbesar. Separuh dari ekspor minyak dan kondensatnya ditujukan ke Eropa. China adalah negara pengimpor minyak mentah Rusia terbesar, menyumbang hampir sepertiga dari ekspor minyak negara itu.

Ekspor minyak Rusia diangkut melalui sistem pipa Transneft melalui Belarus dan Ukraina yang menghubungkan ladang minyak Rusia ke Eropa dan Asia. Dari fakta di atas, terlihat bahwa Rusia merupakan pemain kunci dalam konstelasi geopolitik di kawasan Eropa dan Asia.

Apa Dampak Invasi Rusia terhadap Kondisi Global?

Sebagai kawasan yang mengandalkan pasokan gas dari Rusia, energi adalah salah satu sektor strategis yang berdampak significant terhadap ekonomi Eropa. Selain lonjakan harga minyak dan gas, harga baru bara juga melesat ke level US$ 270 per metrik ton di bursa ICE Newcastle. Kenaikan ini tentu menguntungkan emiten di sektor batubara, namun di sisi lain merugikan sektor industri yang bertumpu batubara sebagai bahan bakar, antara lain industri semen, keramik, besi dan baja, logam, hingga industri dasar. Dampak nyata akan langsung terasa di beberapa negara di Eropa, China dan India yang sebagian pembangkitnya masih bertumpu pada batubara.

Uni Eropa (UE) bereaksi dengan menjatuhkan sanksi ke Rusia dengan sasaran pada sektor ekonomi, sistem keuangan dan perbankan. UE pun akan membekukan aset dan memblokir akses perbankan. Juga akses teknologi dan pasar yang menjadi kunci ekonominya. Keputusan ini diprediksi akan menyebabkan naiknya tingkat inflasi di Rusia.

Rusia adalah salah satu mitra perdagangan terbesar EU dengan nilai 174,3 miliar Euro di 2020. Impor UE senilai 95,3 miliar Euro didominasi oleh bahan bakar dan pertambangan - terutama minyak bumi. Mempertimbangkan fakta besarnya market share Rusia di Eropa, posisi EU sebagai investor terbesar di Rusia dan surplus perdagangan Rusia terhadap Eropa, respon EU ini diharapkan dapat menekan Putin untuk mengakhiri invasi.

Sejauh ini, dampak langsung dari invasi ini masih berskala regional (negara-negara tetangga Rusia dan Eropa). Namun apabila krisis ini berkepanjangan, maka sangat besar kemungkinan akan mempengaruhi ekonomi global, mengguncang pasar keuangan, mendorong kenaikan harga BBM dan komoditas terkait. Harapan pemulihan ekonomi akibat pandemi makin jauh.

Mitigasi Risiko Global

Seberapa besar dampak secara global dan potensi kerusakan yang ditimbulkan oleh invasi Rusia ini tergantung dari dua hal, respon Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan sampai kapan konflik ini berakhir.

Sejauh ini NATO mengambil peran pasif meskipun Ukraina sudah menyatakan keinginan untuk menjadi anggota NATO. Kecaman yang diungkapkan Sekjen NATO Jens Stoltenberg bahwa langkah Rusia sebagai "tindakan perang brutal" dinilai sebatas retorika karena pernyataan tersebut ditutup dengan penegasan bahwa NATO tidak akan mengerahkan pasukan ke Ukraina. Amerika Serikat yang diharapkan memainkan peranan militernya - mengingat selama ini 90 ribu pasukannya siaga di Eropa, ternyata juga menegaskan tidak akan mengirim armadanya ke Ukraina. Kecuali Rusia menyerang negara anggota NATO. Sesuatu yang mustahil karena sejak awal Putin sudah menegaskan serangan ini adalah operasi militer khusus terbatas dengan sasaran Ukraina.

Lalu, sampai kapan Rusia memutuskan mengakhiri invasi? Jawabannya adalah setelah tujuan operasi militer Rusia tercapai. Menghilangkan ancaman Ukraina melalui demiliterisasi. Namun jika mencermati pernyataan Menlu Rusia Sergei Lavrov (25/02), bahwa Moskwa ingin membebaskan Ukraina dari penindasan dan rakyat Ukraina dapat dengan bebas menentukan masa depan mereka - secara eksplisit sasaran invasi Rusia adalah menggulingkan pemerintahan yang terpilih secara demokratis. Makin cepat konflik ini berakhir, potensi kerusakan pada skala global yang ditimbulkan oleh invasi ini dapat ditekan seminimal mungkin. Adapun guncangan ekonomi yang melanda Eropa hanya bersifat temporal dengan risiko yang dapat dihitung dan mitigasinya.

Konflik di semenanjung Krimea ini memperkuat thesis Daniel Yergin dalam karyanya The New Map: Energy, Climate, and the Clash of Nations. Terjadinya perubahan geopolitik global sebagai akibat dari benturan kepentingan antar negara, perebutan akses energi, dan tantangan perubahan iklim di saat terjadi krisis global. Munculnya aliansi strategis Rusia-China dengan irisan kepentingan yang sama, menantang dominasi Amerika Serikat.


(rah/rah)