Pertarungan Hegemonik Mendorong Suku Bunga Higher for Longer

Akbar Suwardi, CNBC Indonesia
03 June 2024 11:55
Akbar Suwardi
Akbar Suwardi
Akbar Suwardi merupakan Praktisi Perbankan dan Pemerhati Ekonomi. Akbar memiliki pengalaman di Industri Perbankan dan Pembiayaan lebih dari 13 tahun sebagai Economist, Corporate Communication, dan Senior Risk Manager. Setelah lulus dari Ilmu Ekonomi dari.. Selengkapnya
Gedung Bank Sentral AS. (Official Federal Reserve Photo/Britt Leckman)
Foto: Gedung Bank Sentral AS. (Official Federal Reserve Photo/Britt Leckman)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada Mei 2024 memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate pada level 6,25%. Pada RDG sebelumnya, yaitu April 2024, BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps setelah mempertahankan selama lima bulan atau sejak Oktober 2023.

Tentunya faktor yang menjadi fokus BI adalah stabilitas makro ekonomi Indonesia di mana ekonomi global saat ini masih menghadapi VUCA (volatility, uncertainty, complexity and ambiguity) yang berbeda dengan kondisi-kondisi sebelumnya. Ketidakstabilan geopolitik tentunya dapat mengganggu pasokan komoditas sehingga menjadi pendorong utama inflasi.

Saat ini, fokus geopolitik telah bergeser ke persaingan hegemonik ekonomi dan politik, antara Amerika Serikat dan negara-negara NATO dengan Rusia dan China, yang kini terlihat jelas memicu persaingan dalam alat tukar mata uang sehingga menciptakan ketidakpastian dalam pasar global dan mempengaruhi stabilitas ekonomi secara luas.

Pertarungan Hegemonik
China dan Rusia tampaknya telah banyak belajar dari tekanan ekonomi dan politik yang dialami selama era Presiden Donald Trump tahun 2016-2020. Pada masa itu, China harus menghadapi kebijakan yang berdasarkan slogan "American First: Make America Great Again" sehingga tentunya mengakibatkan terganggunya perdagangan ekspor dan impor antara Amerika Serikat dan China.

Sementara Rusia banyak belajar dari tekanan ekonomi dan politik dari berbagai macam embargo dan sanksi internasional akibat kebijakannya dalam melakukan aneksasi wilayah Crimea pada tahun 2014.

Pertarungan hegemonik antara Amerika Serikat dan sekutunya dengan China dan Rusia berjalan dengan fase yang berbeda untuk mencapai keseimbangan yang baru. Hal tersebut dapat terlihat ketika Amerika Serikat dan sekutunya berusaha menekan hegemonik China di Asia.

Namun negara tersebut merespons dengan cara-cara yang lebih halus dan strategis. Salah satu contohnya adalah posisi China sebagai salah satu pemegang utama obligasi Treasury Amerika Serikat, tercatat China melakukan downsizes yang cukup siginifikan menjadi $775 miliar pada Februari 2024 atau turun $22,7 miliar dalam waktu sebelumnya.

Di mana posisi menandakan terus menurunnya kepemilikan utang pemerintah AS oleh China yang telah berada di bawah angka $1 triliun sejak April 2022. Kondisi tersebut tentunya memberikan China leverage yang signifikan dalam dinamika ekonomi global, khususnya mempengaruhi kekuatan nilai tukar dolar AS secara global.

Selain itu, pertarungan hegemonik juga terlihat dengan membatasi perdagangan internasional, ekspor dan impor menggunakan dolar AS, sebaliknya China terlihat paling ambisius menjadikan mata uang mereka sendiri, renminbi, untuk menggeser dolar AS dari takhtanya. Bahkan pada akhir tahun 2023, tercatat 95% perdagangan antara Tiongkok dan Rusia tidak menggunakan dolar AS, karena menggunakan rubel Rusia dan yuan (renminbi) China.

Higher for Longer
Secara fundamental, penurunan penggunaan dolar AS dalam transaksi internasional serta pelepasan US-Treasury oleh para pemegang utama tentunya dapat menyebabkan penurunan permintaan terhadap dolar. Konsekuensinya, hal ini berpotensi juga dalam mendorong inflasi domestik di Amerika Serikat.

Di mana ketika penurunan permintaan terhadap dolar akan membuat nilai tukar dolar melemah, yang pada gilirannya dapat meningkatkan harga impor dan mendorong inflasi domestik lebih tinggi. Situasi ini menempatkan Federal Reserve (Fed) dalam posisi yang sulit, karena mereka harus mempertimbangkan berbagai faktor sebelum membuat keputusan mengenai suku bunga.

Terlebih lagi, jika ketegangan politik atau persaingan hegemonik antara negara-negara besar terus meningkat, langkah penurunan suku bunga akan semakin sulit dipertimbangkan oleh Fed. Ketegangan politik global yang sudah terbukti berdampak pada stabilitas ekonomi dan pasar keuangan dan menyebabkan ketidakpastian dan volatilitas tentunya membuat Fed mungkin memilih untuk mempertahankan suku bunga tinggi.

Hal itu sebagai langkah pencegahan terhadap potensi risiko inflasi dan menjaga stabilitas ekonomi domestik dengan demikian kondisi tersebut menegaskan bahwa ekspektasi bahwa suku bunga di Amerika Serikat (Fed Funds Rate (FFR) akan bertahan di level tinggi dalam waktu lama (higher for longer).

Sementara itu, Indonesia sebagai negara yang memiliki ketergantungan dengan kondisi global yang cukup kuat, terlebih negara yang memiliki current account deficit, maka ketidakstabilan kondisi global turut serta berdampak pada kondisi makroekonomi domestik.

Hal tersebut dapat terlihat kondisi beberapa bulan terakhir, seperti rupiah yang melemah dan bertahan di atas Rp.16.200/USD serta tertahannya penurunan inflasi akibat meningkatnya harga komoditas seperti pangan (beras), transportasi, dan lainnya sebelum dan setelah bulan Ramadhan.

Di sisi lain, Indonesia dalam beberapa bulan ke depan masih akan menghadapi tekanan inflasi akibat kemampuan fiskal yang tentunya perlu diperhatikan. Sebelumnya, pemerintah telah memutuskan untuk tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) maupun listrik pada tahun ini.

Namun, keputusan itu hanya berlaku sampai Juni 2024. Selain itu, tantangan inflasi berasal dari salah satu akibat perubahan iklim, seperti yang diungkapkan dalam kajian World Meteorological Organization (WMO) bahwa diperkirakan tahun 2024 akan lebih panas dari 2023, yang ditetapkan sebagai tahun terpanas sepanjang masa yang diakibatkan El-NiƱo.

Akibatnya musim panas atau kemarau di Indonesia pada tahun 2024 akan lebih lama daripada tahun-tahun sebelumnya sehingga kondisi ini tentunya memengaruhi keberhasilan sektor pertanian yang pada akhirnya juga kondisi stok dan harga pangan domestik. Dengan demikian, Bank Indonesia, sepertinya juga perlu hati-hati apabila mau menurunkan suku bunga sehingga diperkirakan juga bahwa BI-rate akan bertahan di level tinggi dalam waktu lama (higher for longer).

Tetap Bertahan Di Tengah Suku Bunga Tinggi
Memang benar bahwa Indonesia membutuhkan suku bunga rendah untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Berdasarkan perhitungan Bappenas, Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi sebesar 6%-7% untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap. Stabilitas harga barang pokok dan inflasi yang terjaga menjadi kunci utama bagi ketahanan perekonomian di tengah periode suku bunga tinggi yang berkepanjangan

Oleh karena itu, di tengah situasi masih tingginya suku bunga, menjaga daya beli masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah yang porsinya masih besar dan sangat mempengaruhi tingkat konsumsi dalam perekonomian Indonesia, harus menjadi prioritas utama.

Masyarakat kelas menengah ke bawah memainkan peran signifikan dalam perekonomian melalui konsumsi domestik, yang menyumbang lebih dari 50% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Dengan demikian, pemerintah diharapkan dapat terus menjadi shock absorber (peredam guncangan) atas kenaikan harga barang pokok sehingga daya beli masyarakat dapat terjaga. Tercatat, anggaran perlindungan sosial tahun 2024 sebesar Rp496 triliun, di mana anggaran untuk Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Sembako mencapai Rp81,2 triliun.

Di sisi lain, pemerintah diharapkan dapat mencari momen yang lebih tepat dalam menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan tarif tiket. Kenaikan pajak dan tarif pada saat yang kurang tepat dapat berisiko menurunkan daya beli masyarakat dan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi.

Oleh karena itu, kebijakan fiskal yang hati-hati dan terukur sangat penting untuk memastikan bahwa perekonomian Indonesia dapat terus tumbuh dan berkembang di tengah tantangan global yang ada.

Dengan demikian, kebijakan yang mendukung daya beli, seperti subsidi pangan, program bantuan sosial, dan stabilisasi harga kebutuhan pokok, sangat penting untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat terus berlanjut meskipun suku bunga tetap tinggi dan berlangsung yang cukup lama.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation