Energi, AI, dan Kedaulatan: Saatnya Indonesia Memilih Kendali

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Kisruh perang dagang yang dikobarkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan mitra negaranya belum selesai, namun untuk Indonesia dapat dianggap selesai setelah pihak AS bersedia menurunkan tarif dari 32% ke 19%. Upaya negosiasi ini dianggap sebagai bentuk keberhasilan Indonesia berdiplomasi dengan AS, tetapi negosiasi ini bukan tanpa cela karena munculnya isu sensitif, yakni permintaan agar data warga negara Indonesia dapat dipindahkan ke AS.
Pemerintah segera mengklarifikasi bahwa data yang dimaksud adalah "data komersial", bukan data sensitif seperti data pribadi. Namun, dalam dunia keamanan dan intelijen, istilah "komersial" tidak bisa diremehkan begitu saja.
Dalam konteks intelijen modern, informasi telah menjadi senjata baru. Negara tak lagi hanya bersaing dalam hal kekuatan militer atau diplomasi, tapi juga dalam mengakses dan mengelola data.
Bahkan tanpa dokumen rahasia atau rekaman penyadapan, sebuah negara asing dapat memahami dan memetakan kelemahan suatu negara hanya melalui metadata, transaksi digital, pola konsumsi, dan perilaku daring warganya.
Ketika data dikirim ke luar negeri-terutama ke negara yang memiliki legislasi agresif seperti CLOUD Act di AS, maka kita sedang membuka akses bagi pihak asing untuk memanfaatkan informasi yang bisa digunakan untuk analisis strategis, pengaruh politik, bahkan operasi intelijen nontradisional.
CLOUD Act merupakan undang-undang yang disahkan pada 2018 yang memperbolehkan institusi hukum AS untuk meminta data-seperti email, dokumen, dan dokumen
elektronik lainnya yang disimpan oleh perusahaan teknologi AS, meskipun data tersebut berada dalam server di luar AS. Dampak dan kekhawatiran global terhadap UU ini salah satunya terkait dengan keamanan data nasional di banyak negara.
Mereka khawatir CLOUD Act akan melanggar kedaulatan data mereka. Kekhawatiran mereka terkait data warga maupun perusahaan yang disimpan di AS, yang suatu saat bisa saja diakses oleh Pemerintah AS tanpa persetujuan resmi dari otoritas negara lain.
Pada tahun 2020-2021, pemerintah AS mengeluarkan perintah untuk melarang aplikasi TikTok selama perusahaan induknya, ByteDance, tidak memindahkan dan mengendalikan data pengguna AS ke dalam wilayah Amerika. Pemerintah AS menuduh potensi risiko kebocoran data miliaran akun warga negara mereka ke pemerintah asing, dan menyoroti ancaman nyata terhadap keamanan serta kedaulatan digital.
Setelah melalui negosiasi panjang dan gugatan hukum, TikTok akhirnya menyepakati untuk bekerja sama dengan Oracle dalam mengelola data dan membuka transparansi sistem kepada regulator AS. Kasus TikTok vs AS ini menjadi pengingat bahwa Indonesia juga harus meningkatkan kewaspadaannya-jika negeri lain begitu sigap melindungi data warganya, sudah sepatutnya kita, sebagai bangsa, semakin serius menjaga kedaulatan data demi masa depan digital Tanah Air.
Data Komersial Bisa Sangat Sensitif
Label "data komersial" seolah menenangkan publik, seakan-akan ini hanya sebatas catatan belanja atau statistik e-commerce. Contoh yang disebut antara lain adalah data penjualan dari daerah tertentu yang dikumpulkan oleh perusahaan atau bank, lalu dianalisis untuk kebutuhan bisnis.
Data semacam ini, menurut pemerintah, digunakan untuk keperluan industri dan pengembangan ekonomi digital, bukan untuk pemantauan warga negara. Namun, dari sudut pandang intelijen, penjelasan ini justru menegaskan titik kerentanannya.
Data agregat dari penjualan, transaksi perbankan, hingga perilaku konsumen dapat menggambarkan pola sosial, kekuatan ekonomi suatu wilayah, hingga sentimen komunitas secara tidak langsung. Bila data tersebut dipadukan dengan informasi lain-seperti metadata komunikasi, lokasi perangkat, atau analitik media sosial, maka hasilnya bukan sekadar laporan bisnis, melainkan alat canggih untuk memetakan kekuatan politik, potensi gejolak, dan orientasi kelompok masyarakat.
Dengan kata lain, data komersial bisa menjadi pintu masuk menuju analisis strategis yang jauh lebih dalam. Potensi risiko dari kebijakan tersebut di antaranya:
Pertama, pemantauan elite strategis seperti pejabat negara, tokoh publik, dan pemilik kepentingan strategis mungkin menjadi target pemantauan berbasis data. Dari pola perjalanan hingga kebiasaan komunikasi, semua bisa membentuk profil intelijen.
Kedua, prediksi dan intervensi sosial, data komersial bisa dianalisis untuk dimanfaatkan sebagai upaya disinformasi. Ketiga, backdoor access dan ketergantungan cloud asing, di mana infrastruktur digital Indonesia yang bergantung pada cloud asing membuka peluang intersepsi, manipulasi, atau bahkan penghentian layanan sepihak yang
dapat mengganggu kestabilan dalam negeri.
Langkah strategis yang perlu ditempuh untuk menjaga kedaulatan dan keamanan nasional, pemerintah Indonesia harus segera mempertimbangkan, di antaranya :
Pertama, audit jenis dan alur data yang ditransfer dengan melibatkan institusi intelijen seperti BSSN, BIN, dan Kemenkomdigi dalam peninjauan ulang terhadap seluruh klausul kerja sama terkait data. Kedua, penerapan prinsip "data localization" dan firewall hukum, di mana data penting harus tetap disimpan di dalam negeri dengan kontrol enkripsi dan akses terbatas yang tunduk pada hukum nasional.
Ketiga, mempercepat implementasi UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi dengan membentuk DPA independen, menyusun regulasi turunan yang jelas, dan meningkatkan literasi data serta kesiapan sumber daya manusia adalah langkah mendesak sebelum Indonesia terjebak lebih jauh dalam risiko transfer data lintas negara dan intervensi hukum asing.
Kesepakatan transfer data warga negara ke luar negeri, meski dibingkai sebagai bagian dari kerja sama ekonomi digital, tetap menyimpan potensi risiko strategis. Dalam dunia di mana informasi menjadi senjata dan kekuasaan, data bukan lagi sekadar komoditas bisnis-ia adalah sumber kendali.
Bagi Indonesia, menjaga kedaulatan digital bukan hanya soal teknis, melainkan keputusan geopolitik. Karena dalam pertarungan global hari ini, siapa yang menguasai data, bisa menguasai arah bangsa.