
Bukit Algoritma: Monumen atau Ekosistem Inovasi?

Upaya Indonesia membuat Silicon Valley
Upaya membangun Silicon Valley di Indonesia bukanlah hal baru. Terlepas dari upaya-upaya sejenis seperti pembangunan science and technology park di berbagai perguruan tinggi, secara historis gebrakan berskala besar pernah dilakukan secara terpusat. Habibie, sebagai Menteri Riset dan Teknologi, pernah ditunjuk untuk melanjutkan pembangunan Puspiptek di Serpong yang saat ini masuk di provinsi Banten.
Puspiptek dibangun di kawasan seluas seribu hektare yang setengahnya dialokasikan untuk laboratorium dan perlengkapan riset lintas disiplin serta sisanya untuk membangun industri pendukung, kampus Institut Teknologi Indonesia, dan kantor-kantor administrasi. Habibie mengambil Silicon Valley sebagai contoh kawasan pengembangan inovasi yang mengumpulkan universitas, peneliti, dan pengusaha untuk bersama-sama menghasilkan inovasi.
Saat ini, Puspiptek dijadikan sebagai National Science and Technology Park yang menjadi pusat penghubung antara science and technology park lainnya di Indonesia. Meskipun sudah beroperasi hampir 50 tahun, perkembangan Puspiptek tidak bisa disandingkan dengan Silicon Valley meskipun sudah disokong oleh pemerintah dan pengusaha. Namun demikian, Puspiptek masih menjadi pendukung ekosistem riset dan teknologi di Indonesia walaupun tidak segemerlap pusat inovasi lain di dunia yang dikembangkan berbarengan dengan Puspiptek seperti Shenzhen dan Tel Aviv.
Apakah perlu membangun Bukit Algoritma?
Gagasan membuat Silicon Valley baru di Indonesia sebagai pendorong pertumbuhan dan magnet bagi para inovator bisa dibilang tidak relevan. Alasan-alasan yang disampaikan oleh penggagas dengan mimpi besarnya membentuk pusat pengembangan teknologi seperti Silicon Valley tidak membuat pembangunan ini memiliki urgensi yang dikampanyekan.
Salah satu alasan di balik pembangunan Bukit Algoritma adalah kurangnya fasilitas pendukung para inovator yang aktif di luar negeri sepulangnya ke Indonesia. Alasan ini tampak masuk akal dan dapat diterima karena banyak diaspora Indonesia bertahan di luar negeri karena tidak adanya fasilitas pendukung untuk mengembangkan bidang tertentu di Indonesia. Namun, apakah jawaban dari hal tersebut semata-mata pembangunan pusat pengembangan teknologi saja? Berkaca dari banyak negara yang berupaya membangun imitasi Silicon Valley nyatanya gagal dan tidak berkembang sesuai rencana, apakah pembangunan Bukit Algoritma tidak lain mengulang kesalahan tersebut?
Jika perkembangan inovasi menjadi tujuan dibangunnya Bukit Algoritma, inovasi seperti apa yang menjadi sasaran Bukit Algoritma untuk dikembangkan? Jika ditujukan untuk menjadi fasilitas untuk para inovator, siapa saja yang dijadikan mitra untuk mengembangkan inovasi di Bukit Algoritma? Apakah hanya bersandar pada kemudahan akses, jika memang mudah, akan menjadi pendorong inovasi berkembang di Bukit Algoritma? Gagasan Bukit Algoritma perlu disempurnakan dan dibawa ke arah yang lebih terfokus daripada hanya menjadi alasan pendukung bagi Cikidang dan Cibadak untuk diloloskan menjadi KEK.
Mencegah kegagalan
Mewujudkan mimpi-mimpi mulia membangun Indonesia yang maju yang didorong oleh inovasi merupakan mimpi jangka panjang yang perlu dipersiapkan oleh berbagai pihak. Yang mesti dibangun terlebih dahulu adalah pembentukan ekosistem STI secara nasional yang terintegrasi dengan baik. Kunci utama kesuksesan pembentukan ekosistem itu adalah kebijakan yang suportif, dana penelitian untuk penelitian kualitas tinggi, sumber daya manusia, dan fokus mengejar keunggulan pada sektor tertentu.
Didukung oleh kebijakan yang suportif, perguruan tinggi dan industri perlu didorong untuk menjadi motor utama riset dan inovasi di Indonesia. Indonesia mesti memperkuat ekosistem inovasi dengan menghubungkan riset sains dasar yang saat ini didominasi oleh perguruan tinggi dan lembaga riset untuk bekerja sama secara intensif dengan industri.
Pendanaan riset di Indonesia perlu diperbaiki dalam proses integrasi perguruan tinggi dan industri. Pada tahun 2016 pendanaan riset masih didominasi pemerintah dengan porsi 83,88%, perubahan secara bertahap bisa mendorong pertumbuhan peran industri dalam pendanaan riset. Pemerintah perlu mendorong integrasi antara perguruan tinggi dan industri secara top-down melalui kebijakan yang ramah inovasi seperti dana penelitian strategis bagi universitas dan pelonggaran pajak bagi industri yang mengembangkan inovasi menggunakan teknologi cutting edge (maju dan terbaru).
Dana abadi RISPRO LPDP misalnya, dapat menjadi pendukung proyek rintisan pembentukan ekosistem inovasi jangka panjang yang mengembangkan riset-riset cutting edge. Memang, riset cutting edge membutuhkan waktu penelitian dan penyesuaian yang lama untuk dikomersialisasi. Namun, mencontoh pada China yang kini memimpin di AI, big data dan blockchain, Indonesia mestinya menyadari bahwa riset cutting edge akan menghasilkan imbal hasil yang jauh lebih besar daripada riset yang berfokus pada komersialisasi jangka pendek.
Mariana Mazzucato, Profesor Inovasi dari University College London menegaskan paradigma pendanaan riset perlu bergeser dari "berapa besar dana riset yang ada dan bagaimana cara menghabiskannya?" menjadi "apa yang kita akan lakukan dan bagaimana menyusun rencana anggaran yang tepat untuk mencapainya?" dalam bukunya, Mission Economy. Pola pikir yang berubah dari sekadar target besaran menjadi berbasis misi mungkin akan terkesan utopis. Namun, dalam membentuk ekosistem inovasi yang maju, tujuan yang jelas merupakan keniscayaan sebelum membentuk variabel-variabel pendukung, salah satunya pendanaan.
Perguruan tinggi dengan fungsi pengajarannya perlu diberikan keleluasaan lebih luas untuk mempersiapkan lulusannya dalam mengaplikasikan sains dan teknologi di masyarakat. Ide moratorium program-program studi yang terlihat tidak relevan dengan tantangan zaman mungkin bukan solusi yang tepat. Penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan masyarakat dalam pengembangan STI adalah yang perlu ditekankan untuk mendukung sumber daya manusia di dalam ekosistem STI.
Seperti Silicon Valley dan tiruannya yang berhasil, Indonesia mesti mencoba untuk berfokus pada pengembangan terbatas atau spesialisasi dan pengembangan inovasi yang bisa dikembangkan di sektor manufaktur. Beijing, Shenzhen, dan Hangzhou adalah tiga kota pengembangan inovasi berbasis teknologi di China yang berhasil mengembangkan inovasi teknologi digital yang dibantu oleh sektor manufaktur. Pengembangan hard tech mesti dilirik oleh Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi inovasi yang berkelanjutan didukung keunggulan Indonesia yang memiliki tenaga kerja dan sumber daya alam yang melimpah.
Indonesia mesti belajar dari krisis chip yang terjadi pada saat ini. Beralihnya negara-negara dengan fokus manufaktur chip kualitas rendah ke kualitas tinggi seperti China bisa diambil alih oleh Indonesia untuk merebut pasar yang sudah ada dan membentuk portofolio inovasi yang baik. Indonesia mesti mulai memanfaatkan kesempatan membentuk know-how yang baru untuk menjadi keunggulan dibandingkan negara-negara lain yang juga berfokus pada pengembangan inovasi.
Untuk jangka panjang, Indonesia bisa mencontoh China dalam membentuk rencana inovasi yang berjalan sesuai dengan rencana. Hasil yang kita lihat saat ini merupakan dampak dari kebijakan 15 tahun inovasi dan teknologi 2005-2020 yang saat ini berlanjut dengan rencana 15 tahun hingga 2035. Indonesia yang sudah memiliki Rencana Induk Riset Nasional dapat mengalibrasikannya dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 agar proses integrasinya berjalan dengan baik di level kebijakan nasional. Pendekatan pada kebijakan industri juga perlu dilakukan untuk mendorong keterlibatan industri dalam pengembangan teknologi.
Bukit Algoritma memang tidak akan berakhir menjadi Silicon Valley. Apalagi Bukit Algoritma hanya salah satu dari beberapa fokus calon KEK Cikidang-Cibadak. Namun, gagasan ini perlu menjadi salah satu langkah dari rencana jangka panjang untuk menghidupkan ekosistem STI yang matang dan tidak berhenti menjadi pembangunan monumental menebeng istilah teknologi.
