Pelajaran dari Daejeon, Silicon Valley ala Korea Selatan

Ony Jamhari, CNBC Indonesia
12 November 2024 06:45
Ony Jamhari
Ony Jamhari
Ony Jamhari adalah seorang pendidik dan juga EduGreenpreneur. Saat ini Ony bekerja sebagai Country Director Woosong University, Daejeon, Korea Selatan. Sebelumnya Ony adalah CEO di School of Government and Public Policy Indonesia. Saat ini Ony terlibat d.. Selengkapnya
Ilustrasi bendera Korea Selatan. (SeongJoon Cho/Bloomberg via Getty Images)
Foto: Ilustrasi bendera Korea Selatan. (SeongJoon Cho/Bloomberg via Getty Images)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

"STEM itu apa, On?," tanya saudara kembar saya yang memiliki anak berusia dua belas tahun. "Kenapa banyak orang membicarakannya akhir-akhir ini?," lanjutnya. 

Saya pun menjelaskan kalau STEM adalah singkatan dari science, technology, engineering, dan mathematics. Istilah ini semakin populer di berbagai sektor terutama dalam dunia pendidikan, terutama sejak maraknya penggunaan teknologi dan digitalisasi.

Dalam konteks pendidikan, STEM menjadi sangat menarik karena permintaan tinggi terhadap lulusan dengan latar belakang STEM di dunia industri saat ini.

Pada akhir Oktober 2024, saya berkesempatan mengunjungi Korea Selatan, tepatnya di kota Daejeon, yang dikenal sebagai "Silicon Valley" Korsel. Kunjungan ini sebenarnya adalah semacam pulang kampung, karena saya pernah tinggal dan bekerja di kota ini antara tahun 2009 hingga 2015, di SolBridge International School of Business, Woosong University. Kunjungan terakhir saya ke Korsel pada tahun 2018, sekitar satu tahun sebelum pandemi Covid-19.

Saya terkejut melihat perkembangan yang sangat pesat di Korsel dalam lima tahun terakhir. Tidak hanya teknologi yang semakin maju, tetapi saya juga merasakan pengalaman langsung di bandara, hotel, dan transportasi publik, terutama penggunaan sepeda listrik yang sangat banyak.

Di Indonesia, terutama di Jakarta, memang ada sepeda listrik serupa. Akan tetapi seringkali kurang terawat dan tidak berfungsi dengan baik.

Dalam perjalanan kali ini, saya bersama siswa-siswi, guru, dan orang tua dari Sekolah Nasional KPS Balikpapan, mengikuti program Immersion Week yang difasilitasi oleh Sejong International Center dan IES Foundation yang bertujuan mengunjungi kampus-kampus di Korsel, menjajaki industri, berinteraksi dengan pemerintah daerah, belajar budaya Korsel, serta menginisiasi program sister school dengan salah satu sekolah di Daejeon.

Suasana kunjungan pelajar Indonesia di Daejeon Korea SelatanFoto: Suasana kunjungan pelajar Indonesia di Daejeon Korea Selatan (Dokumentasi pribadi)

Cuaca musim gugur yang sejuk menjadikan waktu ini sangat ideal untuk berkunjung ke Korsel. Kami juga mendapat sambutan yang sangat hangat dan ramah dari masyarakat Korsel. Meskipun bahasa bisa menjadi kendala, banyak warga Korsel yang sudah fasih berbahasa Inggris, dan sebagian besar peserta di rombongan kami juga sudah familiar dengan bahasa Korsel, mungkin karena pengaruh K-POP yang sudah sangat populer di Indonesia.

Daejeon, yang berpenduduk sekitar 1,5 juta jiwa dan dikenal sebagai kota pendidikan di Korea, kini mengalami transformasi yang signifikan. Internasionalisasi terasa sangat kuat di sini.

Hwang Kyung-ah selaku Wakil Ketua Daejeon Metropolitan City, yang menyambut kami, menjelaskan bahwa posisi strategis Daejeon di tengah Korsel, ditambah dengan banyaknya pusat riset dan industri, menjadikan kota ini tujuan bagi para pelajar, peneliti, dan akademisi, baik untuk belajar, konferensi, seminar, maupun pekerjaan.

Suasana STEM sangat terasa di Daejeon. Selama di sini, kami berkesempatan mengunjungi Endicott College, Universitas Woosong dengan program studi AI, Data Science, dan Cognitive Science, serta KAIST (Korea Advanced Institute of Science and Technology), salah satu universitas terbaik Korsel di bidang sains dan teknologi.

Kami juga mengunjungi Korea Broadcasting System (KBS), ASEAN Korea Center, Gongju Cultural Centre, dan K-Pop World Academy.

Model kawasan seperti Silicon Valley ini sebenarnya sangat menarik untuk diterapkan dan dikembangkan di Indonesia, terutama dalam rangka mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Hal ini juga untuk menggairahkan iklim STEM di Indonesia yang masih rendah berdasarkan peringkat PISA (Programme for International Student Assessment) yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

PISA adalah suatu studi untuk mengevaluasi sistem pendidikan yang diikuti oleh lebih dari 70 negara di seluruh dunia. Setiap tiga tahun, murid-murid berusia 15 tahun dari sekolah-sekolah yang dipilih secara acak, menempuh tes dalam mata pelajaran utama yaitu membaca, matematika dan sains. Saat ini Indonesia berada di peringkat 63 dan Korsel di peringkat 6 dari 70 negara.

Konsep pembangunan Silicon Valley di Indonesia sendiri sudah dimulai, yakni di Bukit Algoritma, Sukabumi, Jawa Barat. Namun, hingga kini, perkembangan proyek ini seolah terhenti dan tidak lagi terdengar beritanya.

Jika STEM menjadi prioritas dalam pendidikan Indonesia dalam lima tahun ke depan, mungkin sudah saatnya kita kembali meninjau pembangunan kawasan Silicon Valley di Indonesia.

Pemerintah perlu serius dalam mewujudkan pembangunan ini dengan melibatkan industri, lembaga penelitian, akademisi, dan berbagai pihak yang tertarik untuk mengembangkan kawasan ini. Melalui kerja sama yang solid, tentu hal ini bisa terwujud.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation