
Praktisi Perbankan dan Pemerhati Ekonomi. Saat ini menjabat sebagai Senior Risk Manager di Bank Persero. Sebelumnya pernah menjadi Manager Corporate Communication dan Economist di Bank yang sama.
Profil SelengkapnyaLesson Learned: Kolapsnya Silicon Valley Bank

Bertambah lagi contoh real untuk study cases pentingnya penerapan Risk Management yang baik dan tidak hanya nice to have atau formalitas keberadaanya di sebuah bank. Kali ini berasal dari Silicon Valley Bank (SVB) yang merupakan bank terbesar ke-16 di Amerika Serikat (AS) telah beroperasi lebih sekitar 40 tahun, dan masuk list Forbes best banks selama 5 tahun terakhir.
Segmen bisnis yang dilayani SVB kebanyakan adalah startups dan venture-capital sehingga SVB turut menikmati kenaikan simpanan yang luar biasa seiring booming venture market selama pandemi sehingga simpanan naik dari $60 miliar menjadi $200 miliar.
Sebenarnya Struktur aset SVB mayoritas di government bonds (US Treasuries/UST), sehingga secara credit risk rendah. Mayoritas UST ini memiliki tenor panjang sehingga harga atau nilai nya lebih sensitive terhadap perubahan suku bunga. Selama 2020-2021 tidak ada masalah karena suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR) rendah sekitar 0%-0,25%. Namun sejak pertengahan 2022 The Fed menaikkan FFR menjadi sekitar 4,75% sehingga nilai pasar UST terus turun akibatnya Unrealised loss terjadi bonds yang dipegang SVB.
Sementara itu, Market Venture mengalami winter akibat tren kenaikan suku bunga sehingga banyak deal atau IPO yang tertunda. Akibatnya banyak startup yang menarik dana mereka dari SVB untuk memenuhi dana operasionalnya. Lalu ditambah dengan komentar atau persepsi negatif dari beberapa nasabah, diinformasikan bahwa dalam 48 jam terjadi penarikan dana besar-besaran mencapai US$42 M atau Rp 650 T.
Karena kondisi Likuiditas tidak baik, sementara lebih dari 50% asetnya adalah UST atau bonds yang sedang mengalami unrealised loss, maka untuk mendapatkan dana, SVB terpaksa menjual UST sehingga men-realised loss (Rp 27,8 T) dan modal tertekan sehingga butuh suntikan dana. Namun gagal meng-grab dana.
Lesson Learned
Dari penjelasan di atas dapat beberapa point lesson learned bagi pelaku industri dalam, stakehodler, ataupun regulator, yaitu: Pertama, Fungsi dari Market & Liquidity Risk Management dan Aset & Liabilities Management (ALM) tidak berjalan baik sehingga terjadi mismatch atau financing gap antara Aset dan liabilities (dana simpanan) serta besarnya unrealised loss (Rp 27,8 T).
Kedua, dana startup dan venture-capital sangat sensitif terhadap suku bunga dan cenderung short term, namun asset SBV tidak didiversifikasi cukup baik dari sisi tenor atau produknya. Dengan demikian, SVB ter-ekspose strategic risk yang cukup tinggi karena segmen nasabahnya terkonsentrasi dari startup dan Venture Capital. Terlihat sebagian besar ditaruh di UST atau Bonds dan tidak diantisipasi dengan reprofilling tenor untuk menurunkan unrealised loss.
Ketiga, Fungsi Liquidity Risk Management tidak berjalan baik yang terlihat dari NSFR (Net Stable Funding Ratio) dan LCR (Liquidity Coverage Ratio) sangat rendah, jauh di bawah 100%, tidak berjalannya Contingency Funding Plan (CFP), serta tidak berfungsinya Manajemen Suku Bunga (Interest Rate Management). Akibatnya SVB tidak dapat mengantisipasi kebutuhan penarikan dana nasabah yang besar dan butuh menjual UST sehingga men-realised loss.
Keempat, tidak mampu berkomunikasi dengan baik dengan internal maupun investor dan deposan sehingga terdampak Risiko Reputasi. SBV seperti tidak dapat mengantisipasi, komentar, publikasi atau persepsi negatif terhadap kegiatan usaha Bank baik melalui social media maupun digital communication lainnya.
Kondisi Perbankan Domestik
Pada saat ini, kondisi perbankan Indonesia menunjukkan kinerja likuiditas yang baik antara lain Alat Likuid (AL) terhadap Non Core Deposit (NCD) atau AL/NCD dan Alat Likuid (AL) terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) atau AL/DPK di atas threshold yakni sebesar 129,64% dan 29,13%. Hal ini tidak lepas dari peran Regulator, yaitu OJK yang salah satunya semua bank wajib memonitor rasio likuiditas, seperti LCR dan NSFR, lalu melaporkannya ke OJK Berdasarkan laporan likuiditas tersebut, regulator di Indonesia (Bank Indonesia/BI dan OJK) dapat aktif memonitor aktivitas treasury antar bank serta berkoordinasi jika ada kesulitan likuiditas yang dialami bank Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti (KBMI) 3 ke atas yang kemungkinan akan berdampak kepada bank lain.
BI dapat menyediakan fasilitas Repo, sehingga bank tersebut tidak perlu menjual portfolio government bank nya. Berbeda dengan Indonesia, pemenuhan rasio likuiditas, seperti LCR dan NSFR di Amerika Serikat (AS) hanya berlaku bagi bank dengan aset diatas $50 miliar, sehingga SVB tidak wajib.
Beberapa hal yang bisa dilakuan Bankir:
Dari kondisi di atas dapat disimpulkan bahwa SVB tidak dapat mengantisipasi 5 risiko, yaitu Strategi, Pasar, Likuiditas, Reputasi, serta Kepatuhan.
Beberapa hal yang dapat dilakukan bankir antara lain:
Pertama, menjaga diversifikasi portofolio aset dengan melakukan beberapa hal yaitu:
1. Menjaga share Aset di Surat Utang (Negara maupun korporasi) dan Kredit.
2. Memastikan kredit tumbuh di segmen/sektor high yield dan kualitas yang baik sehingga tidak mengganggu Cash In dari payment bunga atau pokok,
3. Melakukan Reprofiling surat berharga agar menghasilkan capital gain, mempertahankan yield portofolio di level, dan menyeimbangkan kerugian mtm.
4. Meningkatkan manajemen suku bunga untuk mengelola risiko suku bunga dengan hedge atau menyesuaikan suku bunga pada aset dan liabilitas, seperti Interest Rate Swap, Interest Rate Swap, dan Interest Rate Floor.
Kedua, meningkatkan manajemen likuiditas dimana hal yang dapat dilakukan dengan cara menjaga level LCR & NSFR di level Low to Moderate. Selain itu, Contingency Funding Plan (CFP) harus diperbaharui secara teratur untuk memastikan relevansi dan efektivitasnya dalam mengatasi situasi darurat likuiditas yang baru atau yang berubah seiring waktu.
Ketiga, menjaga Kepatuhan terhadap peraturan yaitu memastikan tingkat kecukupan modal yang memadai dan memperhatikan batas-batas konsentrasi risiko. Saat ini secara ketentuan Basel minimum Modal perbankan bervariasi antara 8% - 17%, tergantung dengan size dari bank tersebut. Selain dari Basel terdapat beberapa tambahan modal sesuai dengan basel III yaitu Capital Conservation Buffer (2,5%), Capital Surcharge (1% - 2,5%), dan Counter Cyclical Buffer (0% - 2,5%).
Keempat, membuat Crisis Communication Management (CCM) sehingga saat situasi krisis, informasi yang disampaikan oleh bank kepada pemangku kepentingan (nasabah, investor, regulator, dan masyarakat umum) dapat akurat, jelas, dan konsisten. Dengan demikian dapat meminimalkan spekulasi dan kebingungan yang mungkin muncul.
CCM yang dibuat juga harus applicable dan best practice seperti: kejelasan protokol komunikasi krisis, siapa yang masuk menjadi Tim CCM misalnya karena melekat jabatan atau ex-officio yang berasal dari Bidang Finance, Risk Management, Corporate Communication, Investor Relation, dan lainnya, terakhir yang palin penting juga adalah menunjuk siapa yang menjadi spokesperson yang mengeluarkan informasi resmi dari bank.
Semoga dengan bertambahnya study cases pentingnya penerapan Risk Management dapat mendorong penerapan Risk Management yang baik sehingga dapat mencegah terulangnya kegagalan perbankan, khususnya di Indonesia.