Krisis Kepemilikan Finansial, Uang di Bawah Bantal ke Era Pembekuan

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Mukadimah
Fenomena pemblokiran rekening dormant (rekening tidak aktif dalam jangka waktu tertentu) di perbankan nasional mencuat menjadi isu strategis belakangan ini. Saat bersamaan juga mengemuka isu terkait tanah terlantar atau nganggur disita negara dan diberikan ke bank tanah.
Berdasarkan data PPATK, lebih dari 28.000 rekening teridentifikasi hasil jual beli untuk deposit perjudian daring, dan lebih dari 31 juta rekening dormant dengan nilai dana mencapai Rp6 triliun. Sementara itu, menurut Menteri ATR/Kepala BPN, terdapat sekitar 1,4 juta hektare lahan di Indonesia yang berstatus sebagai tanah terlantar.
Rekening dormant sempat diblokir secara temporer, sementara tanah terlantar bisa dicaplok negara. Keduanya punya alasan dengan kesimpulan serupa, mengurangi mudharat dan memberikan mashalat yang lebih besar. Pemblokiran dimaksudkan sebagai bagian dari upaya mencegah tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan pendanaan terorisme.
Perihal pengambilalihan tanah nganggur ke bank tanah dapat digunakan sebagai tanah cadangan untuk negara yang bisa dipakai guna ketahanan pangan, energi, hilirisasi, dan lainnya. Semua hal tersebut, tentunya berdasarkan aturan-aturan yang berlaku dan seharusnya tidak dilakukan secara semena-mena atau sembarangan.
Selanjutnya, tulisan ini akan lebih membahas mengenai rekening dormant, terutama di bank syariah, dikaitkan dengan perspektif ihya al-mawat. Konsep ihya al-mawat relevan dengan bank syariah karena hukum Islam menjadi dasar dan juga melekat pada operasional bank syariah
Sekilas tentang Ihya al-mawat
Istilah ihya al-mawat berasal dari bahasa arab. "ihya" terjemahnya "menghidupkan", sementara "mawat" berarti tidak terpakai atau mati. Sehingga ihya al-mawat sederhananya bermakna menghidupkan yang tidak terpakai.
Ihya al-mawat merupakan konsep hukum Islam atau syariah yang dimaksudkan pada tindakan menghidupkan atau memanfaatkan sesuatu yang terbengkalai atau tidak digunakan sehingga menjadi lebih produktif. Lazimnya, memang mengacu pada lahan. Tetapi secara umum berlaku untuk semua sumber daya yang tersedia agar lebih optimal untuk kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
Ibn Taymiyyah mendukung Ihya al-mawat sebagai kontribusi terhadap kemaslahatan umat. Sementara Yusuf Qardawi menyatakan ihya al-mawat sebagai salah satu cara yang efektif untuk mengatasi masalah kelangkaan lahan dan ketahanan pangan di berbagai negara muslim.
Sebagaimana hukum syariah lainnya, implementasi ihya al-mawat ini juga memiliki syarat-syarat, tahapan dan aturan serta adanya otoritas yang berwenang untuk memastikan tercapainya manfaat yang lebih besar sekaligus menghindari konflik sosial.
Isu tentang Rekening Dormant
PPATK menilai rekening dormant rawan disalahgunakan menjadi "wadah" tindak kejahatan, termasuk penipuan daring, perdagangan narkotika, hingga kejahatan siber. Oleh karena itu, PPATK-berdasarkan kewenangan UU Nomor 8 Tahun 2010-menghentikan sementara transaksi rekening dormant, sambil tetap memberikan hak bagi pemilik sah untuk reaktivasi.
Merespons kebijakan PPATK tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan akan meninjau ulang aturan terkait pengelolaan rekening, terutama rekening pasif atau dormant di perbankan nasional. Peninjauan ini bertujuan menjaga stabilitas sistem keuangan, memperjelas dan melindungi hak nasabah dan bank, serta mempertegas peran bank dalam memitigasi risiko rekening dormant.
OJK meminta perbankan untuk lebih waspada terhadap potensi penyalahgunaan rekening dormant dan meningkatkan efektivitas pengawasan, terutama dalam menangani praktik jual beli rekening. Selama ini, kebijakan rekening dormant diatur dalam kebijakan internal bank dengan acuan prinsip kehati-hatian dan regulasi perlindungan konsumen, seperti UU Perlindungan Konsumen dan POJK Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Langkah yang dilakukan PPATK dan OJK ini sejalan dengan tujuan menjaga integritas dan transparansi sistem keuangan nasional, melindungi kepentingan publik, serta mendukung program pemerintah memberantas judi online dan pencucian uang.
Namun tentu saja kebijakan pemblokiran rekening dormant menuai pro dan kontra yang membuka peluang perbaikan bagi industri perbankan terutama perbankan syariah untuk memitigasi risiko penyalahgunaan rekening dan menciptakan strategi diferensiasi bank syariah untuk meningkatkan customer value dari sisi pengelolaan rekening.
Secara umum kebijakan PPATK untuk membekukan rekening pasif ini ditujukan untuk; mencegah penyalahgunaan rekening untuk tindak pidana, meningkatkan good governance dan kepercayaan publik dan menertibkan rekening pasif, termasuk rekening penerima bansos yang tidak dimanfaatkan sehingga dana bisa lebih produktif.
Saat PPATK membuka ruang reaktivasi oleh pemilik sah rekening, hal ini sejatinya sebangun dengan prinsip ihya al-mawat, menghidupkan lagi yang terbengkalai, sesuatu yang seperti mati.
Tetapi, nasabah dan beberapa pihak lain stakeholder perbankan termasuk para pengamat dan ekonom melihat bahwa kebijakan tersebut membawa dampak negatif, yakni: (1) Memukul rata rekening dormant tanpa seleksi yang mendalam berpotensi merugikan nasabah yang tidak terkait tindak pidana. (2) Menurunkan kepercayaan masyarakat untuk menabung, khususnya dana cadangan atau darurat. (3) Merepotkan perbankan syariah, yang harus menghadapi keluhan nasabah. (4) Potensi penurunan dana pihak ketiga (DPK).
Motif Nasabah Memegang Uang dan Transaksi di Bank Syariah
Menurut teori klasik (Keynes, 1936) dan diperluas teori manajemen likuiditas modern, nasabah menyimpan uang di bank karena tiga motif utama; (1) motif transaksi untuk kebutuhan transaksi rutin, belanja harian (2) motif berjaga-jaga untuk dana cadangan dan darurat (3) motif spekulasi, memanfaatkan peluang investasi.
Jenis DPK (Dana Pihak Ketiga) seperti giro, tabungan, dan deposito secara tradisional mencerminkan motif tersebut: Produk giro untuk dominan motif transaksi dengan ciri frekuensi transaksi tinggi dengan saldo fluktuatif, tabungan untuk kombinasi motif transaksi dan berjaga-jaga, terakhir produk deposito cenderung untuk motif spekulasi untuk mencari return lebih tinggi.
Implikasi dari berbagai motif nasabah untuk memanfaatkan produk bank, nasabah dengan dominan motif berjaga-jaga cenderung berisiko menciptakan rekening dormant, karena uang hanya "disimpan diam" bukan untuk aktif transaksi. Hal yang menarik di bank syariah, nasabah punya pola khas motif menyimpan, yakni banyak nasabah tabungan di bank syariah berasal dari segmentasi loyalis religius atau yang dikenal sebagai segmen conformist.
Segmen ini menjadikan kepatuhan syariah sebagai syarat mutlak, dan memiliki porsi cukup besar yakni sekitar 29 persen dari keseluruhan nasabah bank syariah. Nasabah dari segmen conformist yang kebanyakan ASN, nasabah haji/umrah, lembaga pendidikan Islam, rumah sakit Islam, BMT dan lembaga keuangan syariah lainnya, serta pesantren cenderung membuka tabungan demi "niat" (niat menabung, umrah, haji dan lainnya), bukan transaksi harian.
Data empiris di banyak bank nasional (konvensional maupun syariah) menunjukkan kondisi Pareto sekitar 20% nasabah menguasai lebih dari 80% dana tabungan. Pemilik saldo besar umumnya dari sisi demografi berusia lebih dari 40 tahun, profesional, ASN senior, pebisnis dan cenderung menempatkan dana untuk jaga likuiditas dan prestise sosial.
Akibatnya, perilaku transaksi nasabah bank syariah cenderung memiliki volume transaksi lebih rendah dibanding konvensional. Saldo tabungan sering pasif, dormant, terutama kalau tabungan hanya disiapkan untuk tujuan tertentu (haji, wakaf, dan keperluan terkait ibadah lainnya).
Pola ini makin kuat karena di bank syariah banyak nasabah institusional (lembaga zakat, pesantren, BMT) menaruh dana besar tapi jarang digunakan untuk transaksi ritel. Akibatnya proporsi rekening dormant di segmen high-balance juga cukup tinggi.
Dengan demikian, bank syariah perlu memahami motif nasabah (bukan hanya memaksa transaksi, apalagi jika hanya konsumtif) karena terdapat motif nasabah syariah memang menyimpan demi tujuan religius bukan sekadar belanja.
Oleh karena itu bank syariah perlu mendesain produk dengan dukungan digital journey yang "menciptakan" aktivitas terkait kesyariahan, rekening tetap hidup saat bersamaan nasabah tetap merasa sesuai niat tujuan syariahnya (purpose-based). Dengan risk-based approach, dormant account bisa dikurangi tanpa mengorbankan nasabah yang memang punya perilaku tabungan pasif tapi sah dan legitimate.
Antisipasi dan Strategi Bank Syariah
Secara umum bagi bank syariah, peningkatan dormant account akan mengakibatkan peningkatan risiko operasional dan IT. Rekening dormant tetap butuh host capacity dan pemeliharaan data yang menjadi sumber biaya operasional bank.
Data rekening nasabah tetap harus disimpan dan dikelola serta tetap "dihitung" sebagai record sehingga mempengaruhi database storage, backup, disaster recovery dan lainnya. Selain itu rekening dormant juga harus masuk tetap masuk pemeliharaan data KYC, anti-fraud monitoring, pemantauan AML. Peningkatan volume dormant memperbesar beban sistem compliance dan monitoring.
Dari sisi IT karena jarang diawasi pemilik asli, rekening dormant juga rawan diambilalih pihak lain (identity theft). Akibatnya sistem IT bank syariah jadi rentan overload. Konsekuensinya rekening dormant yang disalahgunakan bisa jadi celah reputasi negatif, padahal bank syariah membuat differensiasi produk dan layanannya sebagai bank yang amanah.
Dengan demikian dari sudut risiko operasional dan IT, rekening dormant bukan hanya semata-mata rekening "tidak aktif" tetapi "biaya diam-diam" yang bisa memperbesar risiko fraud dan reputasi.
AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) dan IFSB (Islamic Financial Services Board) tidak membuat standar spesifik soal dormant account. Namun, keduanya mewajibkan bank syariah menerapkan prinsip Know Your Customer (KYC) dan memantau rekening dormant untuk mencegah penyalahgunaan rekening sesuai prinsip syariah dan transparansi.
Mengacu ke praktik bank syariah global seperti Al Rajhi Bank, Dubai Islamic Bank, dan Maybank Islamic menunjukkan bahwa bagi mereka rekening dormant juga menjadi indikasi kualitas relationship antara nasabah dengan bank syariah. Oleh karena itu kebijakan pengelolaan rekening dormant tidak hanya sekadar soal menghapus rekening pasif, melainkan bagaimana memadukan kepatuhan, perlindungan nasabah, dan inovasi digital.
Pendekatan risk-based dan purpose-based menjadi kunci: rekening dormant untuk tujuan khusus seperti haji, wakaf, pendidikan, atau rekening lembaga keagamaan tidak dipukul rata, melainkan dimonitor secara khusus sesuai pola transaksi musiman dan profil risiko. Di saat yang sama, digitalisasi seperti auto-transfer dalam nominal kecil, reminder berkala, hingga aktivasi ulang via mobile banking diterapkan agar rekening tetap tercatat aktif meskipun frekuensi transaksi rendah.
Bagi bank syariah nasional, langkah ini menjadi momentum penting untuk memperkuat pendekatan rekening dormant berbasis risk-based dan purpose-based strategy, sebagaimana dilakukan beberapa bank syariah global. Rekening dormant tidak boleh hanya dipandang sebagai data pasif yang diblokir, tetapi sebagai refleksi perilaku dan motif nasabah syariah.
Sejalan dengan konsep ihya al-mawat, Bank dapat merancang produk dan fitur yang secara otomatis menjaga rekening tetap hidup: misalnya debit rutin untuk sedekah, investasi mikro sukuk, atau integrasi dengan platform zakat dan wakaf digital.
Pendekatan ini bukan hanya menjaga rasio rekening dormant tetap rendah, tetapi juga memperkuat positioning bank syariah sebagai lembaga keuangan yang amanah, inklusif, maslahat, dan relevan dengan kebutuhan spiritual serta digital generasi muslim masa kini.
Dengan strategi tersebut bank syariah nasional dapat merespons kebijakan PPATK dan OJK bukan hanya dengan memperketat kepatuhan, tetapi juga dengan membangun model bisnis yang lebih engaging: menjaga rekening tetap aktif, memenuhi motif spiritual dan sosial nasabah, sekaligus mencegah risiko operasional dan reputasi.
Isu rekening dormant sejatinya bukan sekadar urusan teknis operasional, tetapi juga cerminan seberapa dalam pemahaman bank terhadap perilaku, nilai, dan kebutuhan nasabahnya. Bagi bank syariah isu rekening dorman adalah peluang strategis untuk merumuskan ulang ultimate purpose relasi dengan nasabah, bukan hanya sebagai penyedia layanan transaksi, tetapi juga sebagai mitra dalam perjalanan kehidupan keuangan nasabah yang sesuai nilai syariah.
Pendekatan berbasis data, spiritual purpose, dan digital experience akan menjadi fondasi baru dalam pengelolaan rekening dormant: tidak hanya untuk meminimalkan risiko, tetapi juga memperkuat loyalitas dan memperluas kebermanfaatan sosial bank syariah di era transformasi keuangan yang semakin kompleks.
Bahkan, bank syariah dapat menjadi contoh terdepan penerapan kebijakan saat konsep ihya al-mawat dilakukan secara komprehensif. Ketika ruang reaktivasi sudah diberikan, strategi risk-based dan purpose based dijalankan, lalu masih terdapat rekening dormant, maka bank syariah dapat menyerahkan rekening dan dananya kepada pemerintah untuk keperluan negara demi keadilan sosial.
Masih terdapatnya pro-kontra terhadap kebijakan pemblokiran, pembekuan, bahkan (jika diperlukan) penyerahan atau pengambil alihan oleh negara (sebagaimana tanah) merupakan hal yang lumrah. Artinya masih diperlukan kesepahaman dan kesepakatan otoritas yang berwenang terkait syarat, tahapan, dan aturan yang diperlukan untuk pelaksanaannya.
Sebagaimana disebut di atas, implementasi ihya al-mawat tidak mungkin semena-mena dan memiliki syarat-syarat, tahapan dan aturan serta adanya otoritas yang berwenang untuk memastikan tercapainya manfaat yang lebih besar sekaligus menghindari konflik sosial.